Perempuan di Blok F
SUDAH pukul lima pagi. Ray dan Dirga sudah bangun dan pergi ke masjid untuk solat Subuh berjamaah. Malahan, terlebih dahulu mandi. Meski udara dingin menggigit kulit juga air yang nyaris seperti es beku yang baru mencair di lemari pendingin, tak menyurutkan mereka untuk tak jadi mandi.
Kakek Rahmat sudah menyambut depan pintu rumahnya ketika dilihtnya Ray dan Dirga baru kembali dari masjid. Lalu berdiri depan teras rumah yang sempit. Laki-laki tua itu memersilahkan kedua remaja teman cucunya untuk menikmati air minum yang baru dididihkan di atas wajan. Menawarkan apakah Ray dan Dirga hendak minum teh manis atau kopi. Ray memilih teh tawar. Dirga ingin teh manis tapi tak terlalu banyak gulanya. Neneknya Dani tak kalah ramah. Membawa nampan berisi penganan, ulen goreng dan bala-bala. Lalu ditaruh di atas meja.
Dirga baru saja duduk di sofa. Ray masih berdiri depan pintu depan. Ia teringat Dani dan Fian yang ketika ia turun dari ruang atas, kedua temannya itu belum bangun. Berulangkali Ray membangunkan mereka, tapi tubuhnya nyaris tak bergerak. Saking pulasnya. Biasanya, sepulas apapun, jika waktunya solat Subuh, mereka mau bangun.
Ray sedikit curiga. Semalam, Dani dan Fian tiba hampir larut. Langsung masuk kamar dan tidur. Tanpa berkata-kata sepatah kata pun. Dan Ray juga Dirga yang sempat terbangun karena kedatangan mereka, tak sempat bertanya apa-apa.
“Kakek tak melihat Dani dan…” ucapan kakek Rahmat menggantung.
“Fian,” Dirga yang menjawab.
Kakek Rahmat mengangguk. “Ya, sama Fian. Ke mana mereka. Atau langsung jalan-jalan pagi?”
Ray dan Dirga saling pandang. Semalam, kakek Rahmat tak tahu mereka pulang larut. Usai Ray dan Dirga membantu mengiris kubis dan wortol, kakek Rahmat menyuruh kedua teman cucunya itu segera istirahat di kamar ruang atas.
“Mmmm, mereka belum bangun, Kek,” ucap Ray bingung.
“Astaghfirullah, jadi mereka tak solat Subuh?” kakek Rahmat tampak kaget. Ray menceritakan yang sebenarnya. Jika kedua temannya itu semalam pulang larut dan tadi kala dibangunkan, seperti menempel di tempat tidur. Dan itu hal yang tak biasa. Ray curiga, jangan-jangan ada hubungan dnegan kepergian mereka ke blok F. Bukan tak mungkin, kedua temannya itu melintasi rumah angker yang diceritakan kakek Rahmat. Lalu bersua penampakan.
“Ray coba bangunkan lagi, ya Kek?” tubuh Ray bergerak. Lalu bergegas ke luar rumah. Naik tangga dari arah luar, yang menghubungkan ke ruang atas. Kemudian membuka pintu ruang atas. Masuk kamar. Mendapat Dani dan Fian yang masih tergolek pulas. Ray mengguncang-guncang tangan mereka. Bergantian. Tangan Dani lalu Fian. Namun, yang dibangunkan, seperti tak merasa tengah ada yang membangunkan. Diam. Meski tubuhnya bergerak tetap tak membuka matanya.
Ray geleng-geleng kepala. Tubuhnya sesaat bangkit. Ke teras. Memanggil Dirga dan memintanya ke atas. Tak berapa lama, Dirga muncul. Malah bersama kakek Rahmat. Tampak kakeknya Dani itu sedikit cemas. Dani dibangunkan. Juga Fian. Tak ada hasil. Lalu tubuh kedua remaja itu diguncang-guncangkan lagi. Masih sama. Kakek Rahmat meraba d**a mereka. Dengan kekhawatiran yang sangat tinggi. Ia bernapas lega ketika yang dikhawatirkan tidak terjadi. Napas Dani dan Fian normal. Detaknya jantungnya beraturan. Nadi-nadi mereka disentuh. Berdenyut. Kakek Rahmat merasa tenang.
“Aneh, ya Kek…” ucap Ray.
Kakek Rahmat melirik Ray. “Semalam mereka berdua ke blok F.”
“Mungkinkah melintas rumah itu?” tanya Ray hati-hati.
“Mungkin saja, Ray.”
“Posisi rumah itu strategis?”
“Menjorok, Ray. Malah jarang dilalaui banyak orang. Sebelumnya, banyak yang suka lewat situ, tapi semenjak banyak yang pernah melihat penampakan perempuan misterius itu, orang-orang jadi enggan lewat situ. Jangankan malam hari, siang pun pada enggan,” jelas kakek Rahmat.
“Kalau kakek sendiri, suka ke situ kalau siang hari?” Dirga bertanya.
“Suka. Malam juga suka. Kalau kebetulan mau mengantarkan yang memesan gorengan. Malah jam dua belas juga pernah beberapa kali lewat. Tapi, alhamdulillah, kakek tak pernah lihat seperti yang orang-orang bilang.”
“Tapi kakek… percaya?” tanya Dirga lagi.
“Percaya. Tapi tidak terpengaruh.”
“Tidak takut juga, ya kalau Kakek…”
“Ngapain pake takut segala?”
Ray mendekati kakek Rahmat. “Kek, terus gimana sekarang dengan Dani dan Fian? Apa yang harus kita lakukan?”
Kakek Rahmat mendesah terlebih dahulu. Lalu berpikir sejenak. “Pernah ada yang seperti ini. Remaja juga. Ya, sebaya kalian. Tiga orang. Jalan-jalan malam hari dan lewat blok F. Lalu berhenti depan rumah itu. Melihat perempuan misterius itu. Ketiga remaja yang lagi senang-senangnya begadang mau diajak mampir oleh itu perempuan. Disuruh masuk. Disuguhi berbagai makanan dan minuamn yang enak. Lalu pulangnya, setelah di rumah mereka… mereka tertidur lama sekali, tak bangun-bangun.”
“Duh, gimana kalau Dani dan Fian kayak mereka, nggak bangun-bangun!” Dirga mendadak gelisah.
“Jangan bicara sembarangan, Dir!” seru Ray tak suka. “Harusnya kamu berdoa, agar kedua teman kita segera bangun.”
Tubuh kakek Rahmat bangkit. “Kakek mau ke rumah Bah Wirya! Minta air! Jagain Dani dan Fian, jangan kalian tinggalkan sampai kakek dan Bah Wirya datang!”
Pukul sepuluh, Dani dan Fian baru bisa terbangun setelah mendapat pengobatan dari Bah Wirya. Tadinya, kakek Rahmat hanya ingin meminta air putih, tapi Bah Wirya bersikeras untuk menengok Dani dan Fian langsung. Alhamdulillah, setelah Bah Wirya memberi air yang sudah diberi doa-doa pengantar menuju kesembuhan. Tersebab, Dani dan Fian dianggap sakit semenjak semalam, sekembalinya dari berjalan-jalan.
Menjelang siang, Dani dan Fian baru biasa diajak berbincang-bincang usai makan siang. Bah Wirya sudah pulang ke rumahnya di Pasirkampung.
***
Dani termenung depan beranda ruang atas. Sendirian. Ia tak bisa melupakan kejadian tadi malam bersama Fian. Usai menyimpan motor-motor di pekarangan Vila aling, ia mengajak Fian untuk mencari angina malam. Tanpa memberitahu pada Ray dan Dirga apalagi pamit pada kakek dan neneknya.
Mereka berdua berjalan ke arah timur, masuk pintu gerbang perumahan tertua di situ. Blok demi blok terdekat dilaluinya. Sembari ngobrol, tak terasa kaki-kaki mereka berbelok ke suatu blok yang sepi. Blok F. Rumah-rumah yang tampak sepi. Seperti tak berpenghuni. Mereka terus berjalan. Namun, ketika hendak membalikkan tubuh untuk kembali ke jalan semula yang bisa menuju rumah kakak Rahmat, seperti ada yang menarik kaki-kaki mereka untuk terus melangkah.
Tak ada seorang pun yang bersua mereka. Padahal, masih pukul sembilan belas lebih beberapa menit. Hingga, keduanya berhenti depan sebuah rumah yang tampak bagus. Dani dan Fian terpana dengan keindahan rumah itu. Tampak beda dari rumah-rumah lainnnya yang tadi dilintasinya. Bahakan dari smeua rumah yanga da komplek perumahan ini.
Kala Dani dan Fian tengah berdecak merasakan kekaguman sembari memanjakan matanya dengan manatapi bunga-bunga cantik di taman dekat kolam kecil yang ainya jernih, pintu rumah itu terkuak. Sesosok perempuan setengah baya. Tersenyum pada Dani dan Fian. Perempuan itu berambut panjang, hitam dan tersisir rapi. Pakaiannya, baju tidur berwarna putih. Lalu menyapa Dani dan Fian dengan sangat ramah. Suaranya merdu mendayu-dayu.
Tentu saja, kedua remaja itu senang dengan perlakuan perempuan yang meski baru pertama kali dilihatnya tapi merasa familiar. Apalagi, ketika perempuan itu meminta Dani dan Fian membuka pintu pagar. Tak menunggu hitungan menit, Dani dan Fian sudah berada di dalam rumah itu. Duduk di atas sofa beludru yang bulunya panjang. Berbantal besar dan empuk. Di atas meja yang panjang, tergelar aneka makanan dna minuman yang tampak lezat dan menggugah selera. Fian tak sungkan melahap satu-persatu. Dani tak ketinggalan. Namun, perut mereka tak dirasa kenyang. Malah terasa lapar terus. Perempuan itu terus mengajaknya berceloteh. Sesekali, ia mendongeng, cerita yang biasa dibacakan seorang ibu untuk anak-anaknya menjelang tidur mendekap malam.
Kala Dani dan Fian hendak pamit, perempuan itu melarangnya. Malah, meminta menginap. Namun, Dani menolak halus. Perempuan itu tampak kecewa. Dani membujuknya agar percaya jika dirinya esok malam akan kembali. Dan menemani si perempuan itu.
Dani dan Fian pulang tergesa-gesa. Mereka tiba di rumah kakek Rahmat, lewat pukul dua belas malam. Lalu, mereka langsung terlelap. Bermimpi bersua perempaun tadi. Lalu mereka dimanjakan dengan dongeng sebelum tidur. Disuapin makanan yang sangat lezat. Dibuatkan minuman yang nikmat tiada tara. Melebihi minuman paling nikmat yang ada di atas dunia.
Kedua remaja yang merasa tengah dibuai dalam dekapan perempuan setengah baya yang baik seperti bidadari, enggan membuka matanya dan ingin terus tidur. Tak disadarinya ketika kedua temannya tak henti membangunkan. Bahkan, tak peduli ketika tangan kakek Rahmat mengelus. Ketika Bah Wirya memercikkan air satu botol di wajah dan tubuh mereka berdua, barulah mereka terjaga.
Pintu depan berbunyi. Fian mendekati Dani yang masih berdiri mematung depan pagar kayu. “Dan…”
Kepala Dani menoleh. Lalu berucap. “Kamu ingat dengan kejadian semalam?”
Fian mengangguk. “Tentu saja. Perempuan baik yang memanjakan kita.”
“Kita berjanji akan kembali ke rumah itu. Nanti malam.”
“Ya, nanti malam.”
“Tapi, aku nggak mau menunggu malam. Terlalu lama.”
“Kenapa kamu jadi nggak sabaran gitu?” Fian heran. Dani tak menjawab. Tubuhnya bergerak. Menuruni tangga ke luar. Turun. Lalu masuk ke dalam pekarangan Vila Aling. Berjalan menuju tempat menyimpan motor. Menghidupkan motor miliknya. Tak berapa lama, motor melaju ke arah barat. Menelusuri jalanan jelek yang bolong-bolong. Melintasi lahan-lahan yang ditanami sayuran. Kubis, wortol, dan labu siam. Sesekali, melintasi vila demi vila yang di mata Dani, tampak sangat angker. Pikirannya tetap terpusat pada rumah semalam yang begitu indah. Juga pemiliknya, seseorang yang baik. Layaknya seorang ibu yang menyayangi anak-anaknya. Dani ingin segera bersua perempuan itu lagi. Ia tak sabar menanti malam hari.
Motornya tiba di perkampungan. Sejenak, motornya berhenti. Lalu, kembali melaju pelan. Menuju arah pulang. Di depan sebuah pekarangan yang luas, motornya kembali berhenti. Matanya melirik pada bangunan besar dan tinggi. Gedong Imla, begitu orang-orang menyebutnya. Sebuah vila rusak dan angker yang pernah diceritakan oleh neneknya. Mengenai seorang penjual tahu bulat yang pernah melihat makhluk tanpa badan. Atau seorang penjual baso yang dicegat tiga laki-laki yang hendak memborong 100 mangkok baso—yang ternyata pembeli itu bukan manusia. Bulu kuduk Dani sesaat merinding teringat itu. Langsung menancap gas. Motor sengaja dibelokkan ke jalan lain. Bukan menuju arah ke rumah kakeknya. Namun ke jalan berbeda. Melintasi rumah-rumah penduduk. Lalu kebun kubis. Lalu vila-vila. Lalu vihara. Lalu masjid. Lalu warung. Lalu lapangan. Lalu pintu gerbang perumahan bagian belakang. Bagian depannya dari arah rumah kakeknya.
Motornya terus melaju. Dari satu blok ke blok lainnya. Ia terus mencari letak blok F. Berputar-putar. Tak masalah kehabisan bensin. Ia tetap mencari-cari blok yang hendak dituju. Tak peduli kepala sedikit pening.
Hatinya nyaris bersorak. Matanya melihat papan bertuliskan blok F. Mulutnya terkuak sedikit. Bibir mengulas senyum. Lalu mencari rumah yang semalam disinggahi. Tak juga ditemukan. Yang mana? Pikirnya mendadak resah. Ingin menelepon Fian untuk menanyakan tepat rumah itu di mana, tapi gawainya ketinggalan di rumah kakeknya. Ia pun tak mungkin kembali dulu ke rumah mengambil gawai.
Dadanya berdegup ketika melihat sebuah rumah yang rusak tak terawatt. Ia snagat yakin semalam berhenti di rumah ini dan bersua perempuan setengah baya yang berbaju putih. Rambut perempuan itu panjang dan hitam. Ia sangat ingat. Ia yakin berhenti di depan rumah ini. Namun, ia heran dengan kondisi rumah yang jauh berbeda dengan yang dilihatnya semalam. Pekarangan rumah ini, berserakan sampah. Rumput-rumput liar tumbuh. Bahkan, di sebagian halaman, ada tumbuhan ubi jalar, labu siam, dan tomat. Juga tumbuhan lainnya. Siapa yang sudah menanam tumbuhan di pekarangan yang tak terawat ini? Pikirnya lagi. Ia teringat kakeknya yang hobi sekali menanam sayuran. Sayang sekali, tak punya lahan. Sekitar sini sudah jarang yang bisa bertanam di depan rumahnya. Kebanyakan tak punya halaman rumah. Rumahnya pun sempit-sempit. Jika di perumahan, masih mending, ada halamannya meski tak begitu luas. Bisa dimanfaatkan.
Mata Dani mengarah ke rumah itu. Catnya sudah mengelupas. Atapnya tampak banyak yang bocor. Pintu kayu dan jendela pun mengelupas catnya. Bahkan berbelah-belah. Jendela kaca yang kusam, kotor, dan berdebu. Namun, masih bertirai. Matanya melihat yang bergerak-gerak di balik tirai itu. Sepasang tangan yang keriput. Lalu, seraut wajah perempuan tengah mengawasinya. Perempuan….***