Vila-vila Angker

2298 Kata
Vila-vila Angker PAGI-pagi sekali, Ray sudah menerima telepon dari Wak Dulah. Lelaki tua itu mengabarkan jika dirinya masih berada di Bandung. Bahkan, Wak Dulah meminta Ray menemuinya. Di rumah Haji Jajuli. Rumah yang ditempati di kota. Bukan rumah Haji Jajuli yang dikontrakan pada Bu Sri dan Pak Rahman. “Abah kasih tahu alamatnya, ya? Biar kamu tak kesulitan mencarinya, jadi bisa cepet datang ke sini,” ucap Wak Dulah dengan antusias. “Nggak, Wak. Maaf, Ray nggak lagi di rumah.” “Kamu berada di mana sekarang?” “Di Cipanas, Wak.” “Cipanas Cianjur?” “Ya, Wak.” “Ngapain kamu di sana?” “Di rumah kakek dan neneknya Dani, teman Ray yang mau ikut liburan ke Banjarnegara. Juga Fian dan Dirga turut serta.” “Kalian kan jadi mau ikut Abah?” “Ya, Wak. Tapi beberapa hari lagi kan? Sampai urusan Wak Dulah sama Pak Haji Jajuli beres,” ucap Ray mencoba menyimpulkan. “Abah lagi nggak ada urusan sama Haji Jajuli. Cuma menginap di sana,” jelas Wa Dulah. Ia pun menceritakan tengah dibutuhkan keberadaannya oleh seseorang yang tinggal di sekitar salah satu terminal yang berada di kota Bandung. Karena katanya, orang tersebut sudah empat tahun mencari-cari keberadaan Wak Dulah untuk mendalami ilmu yang dikehendakinya. Bahkan, orang tersebut sudah habis belasan juta rupiah demi bertemu Wak Dulah. Dan baru minggu ini, keinginannya terlaksana. Wak Dulah dengan rinci menuturkan pada Ray. Ray pun berusaha memahami. Di sudut hati, ia merasa bangga dengan sikap Wak Dulah yang begitu terbuka pada Ray. Padahal, urusan Wak Dulah dengan urusan orang yang dimaksud, itu bukan urusan Ray. Itu pun urusan yang sangat besar, tentu berhubungan dengan ilmu-ilmu yang didalami Wak Dulah. Kendati urusan seperti apanya, Ray pun tak tahu jelas karena Wak Dulah pun tak menyebutkannya secara khusus. Ray pun tak bertanya lebih jauh. “Ray, kamu beri alamat rumah keluarga temanmu di Cipanas, ya?” ucap Wak Dulah. “Rumah siapa?” “Rumah dimana kamu sekarang ada di situ.” “Oh, rumah kakek dan neneknya Dani.” “Ya!” “Hmmm, untuk apa, Wak?” “Nanti… mungkin Abah mau suruh orang buat menjemputmu. Biar Abah nunggu di Bandung. Jadi… kita sekalian pergi ke Banjarnegara.” “Tapi, Wak…” Ray bingung dan tak tahu jelas alamat rumah kakek Rahmat. Mau bertanya pada Dani, temannya itu tengah pergi ke rumah saudara misannya. “Baiklah, jika kamu nggak bisa bilang alamatnya,” Wak Dulah seperti membaca apa yang ada di pikiran Ray. “Ya, Wak, mungkin nanti Ray tanya dulu,” ucap Ray ragu. “Meski kamu nggak bilang dimana alamat rumah yang kini kamu dan teman-temanmu tinggal… tapi Abah tahu, ko. Rumah itu berada di belokan jalan. Depan sebuah masjid dan vila angker,” jelas Wak Dulah membuat Ray terperanjat, kaget. Wak Dulah tahu alamatnya padahal Ray belum memberikannya. “Wak ko tahu?” Ray dibuat benar-benar heran oleh adik mendiang kakeknya itu. Wak Dulah menjawab dengan tertawa keras. “Tapi, itu benar, Wak.” “Baiklah, kamu nikmati saja liburan beberapa lagi di situ ya, nanti ada yang menjemputmu, tunggu saja!” “Tapi… gimana dengan teman-teman Ray? Dani, Fian, dan Dirga?” Ray bingung. “Lho, ya sama mereka lah!” seru Wak Dulah. “Mereka bisa ikut?” Ray penuh harap. “Iya, Ray! Kan seperti rencanamu semula! Tadi juga Abah bilang… kamu sama teman-temanmu!” tegas Wak Dulah. “Alhamdulillah, Wak, terima kasih banyak, ya!” “Nggak usah bilang terima kasih, sebab Abah pun ingin kamu senang bisa liburan bersama teman-temanmu!” ucap Wak Dulah membuat Ray girang. Perbincangan mereka pun berakhir. Ray menemui teman-temannya yang sudah berkumpul di ruang tamu rumah kakek Rahmat. Tengah menikmati aneka gorengan renyah buatan neneknya Dani. Ditemani teh manis yang mengepul, masing-masing satu gelas besar. Ray menyampaikan ucapan Wak Dulah pada ketiga temannya yang ditanggapi mereka dengan girang. Malah, Fian yang paling antusias dan semangat. Ray sebenarnya masih ingin liburan juga di sini. Kawasan yang sangat menawan. Cocok untuk tempat liburan. Meski, semalam ia mengalami peristiwa yang aneh di Vila Aling. Ketika menyimpan kedua motor di sana sendirian. Suara perempuan yang menangis dengan lirih berhasil membuat bulu kuduknya merinding. Namun, semalam ia berusaha tenang. Pun berjalan dengan santai ketika meninggalkan vila. Tidak lari terbiri-b***t apalagi sampai menjerit-jerit seperti yang suka dilakukan Fian jika lewat rumah Haji Jajuli yang berada di kampungnya. Bahkan, ketika ketiga temannya muncul sepulang dari rumah saudara Dani, mulut Ray bungkam. Tak cerita apa pun meski Dani seperti memancing Ray untuk bicara setelah tahu Ray yang mengamankan kedua motor di halaman vila. “Bagaimana kalau hari ini kita jalan-jalan?” ajak Dani. “Boleh, dengan senang hati,” tanggap Fian yang diiyakan oleh Dirga. “Mandi dulu…” ucap Ray. “Apa jalan-jalan pagi dulu?” Dani menatapnya. “Pagi ini nggak jalan-jalan. Mending mandi terus kita langsung jalan-jalan pakai motor!” “Setujuuuuu!” seru Dirga hampir bersamaan dengan Fian. “Oke!” kata Dani. Neneknya Dani datang dengan nampan warna hijau muda di tangan. Lalu menyimpan empat mangkok bergambar ayam jago berisi bubur ayam, bertabur kerupuk dan sedikit bawang goreng di atasnya. Lidah Fian seperti biasa ngiller dan tampak tak sabar ingin segera mencicipi. “Nenek ini ko selalu repot-repot, Ray sama teman-teman jadi malu nih,” ucap Ray dengan sikap penuh hormat. Neneknya Dani mengulas senyum. “Sama sekali nenek tak merasa direpotkan. Justru senang dengan kedatangan kalian. Kalau bisa mah, yang lama liburannya di sini, ya?” “Maunya gitu, Nek…” Dani yang menjawab. “Tapi beberapa hari lagi, kami mau ke Banjarnegara.” “Banjarnegara?” tanya neneknya Dani. “Di mana itu?’ Dani tersenyum. “Di Jawa Tengah, Nek.” “Jauh…” komentar neneknya Dani. “Sama siapa kalian ke sana dan naik apa?” Dani menjelaskan. Neneknya Dani tampak menyesal karena cucunya tak bisa lama menghabiskan waktu liburan. Padahal, ia masih kangen dan ingin cucu yang jarang dilihatnya itu bisa berlama-lama. Tak masalah membawa teman banyak. Justru, rumahnya jadi tak sepi. Namun, Dani berjanji akan datang lagi bersama teman-temannya karena di kelas tiga semester akhir, banyak hari libur jika sudah ujian demi ujian akhir dijalani. Neneknya Dani pun tampak senang setelah cucunya berjanji. Dani dan ketiga temannya makan bubur ayam dengan lahap. Racikan sayur ayam campur irisan kentang begitu terasa nikmat di lidah. Nenek Rahmi terkadang jualan bubur ayam tapi tidak setiap hari. Ini juga baru dua hari berjalan. Jadi, Ray dan teman-temannya baru mencicipi dalam dua hari. Lumayan laris. Meski pembelinya kaum pribumi dengan harga beli normal. Tak berapa lama, bubur ayam yang dijual neneknya Dani habis tak bersisa. Usai mandi dan berganti pakaian, Ray, Fian, Dirga dan Dani duduk-duduk kembali dengan santai di ruang tamu. Kakek Rahmat ikut berkumpul karena sudah tak ada pekerjaan. Di warung sudah jarang pengunjung karena makanan yang dijual sudah habis semua. Kecuali barang keperluan lainnya masih tersedia dan tetap ada pengunjung meski jarang-jarang. Kata kakek Rahmat pun, tak seperti ketika masih ramai pendatang yang menghabiskan masa liburan di sini. Banyak vila yang kosong dibiarkan pemiliknya. Malah penjaga vila sudah banyak yang tak mendapat gaji. “Kalau Vila Aling gimana, Kek… penjaganya nggak mendapat gaji pula?” tanya Dani. “Masih, tapi tak besar. Lagipula, si Ali jaganya juga tak penuh. Dia tak mau menginap. Hanya datang siang hari dan pulang sebelum sore. Malah, lampu luar kadang seringnya dibiarkan gelap. Dia tak sempat datang lagi untuk menyalakan lampu luar. Atau mungkin merasa malas.” “Iya, Kek gelap banget,” Ray nimbrung. “Dalam vila juga gelap,” Dani melirik Ray. “Mungkin lantaran gajinya kecil, si Ali jadi kurang semangat jaga. Apalagi malam.” “Saban malam… nggak ada yang mau tidur di dalam vila itu?” selidik Ray. “Ya, nggak ada yang mau. Si Ali jua pernah ajak teman-temnanya tapi tidak ada yang mau. Sementara, si Alinya tak mau sendirian tidur di sana.” “Kenapa tuh, Kek?” Ray menatap kekek Rahmat. “Padahal kan berkumpul dengan teman-teman apalagi di vila yang sebesar itu menyenangkan. Ini kan enak, vilanya gratis, nggak perlu sewa kayak di vila lain.” “Si Ali penakut juga,” kata kakek Rahmat. “Vilanya angker,” Fian baru buka mulut. “Dan seram juga,” Dirga melengkapi. “Dulu tidak begitu…” kata kakek Rahmat. “Semenjak Bah Ali dan Umi Rahmi meninggal… vila sering kosong, dari situ orang-orang menganggap Vila Aling itu angker dan seram.” “Kakek sendiri gimana?” tanya Fian. Kakek Rahmat tersenyum simpul. “Orang-orang bilang banyak penampakan di vila itu.” “Contohnya?” Fian ingin tahu. “Ya, banyak pokoknya. Salah satunya ada yang pernah mendengar suara deheman dari dalam. Dan juga suara perempuan menangis dengan lirih…” Kakek Rahmat berhenti bicara. Ray terperanjat. Begitu juga dengan Dani, Fian, dan Dirga. “Kalau penampakannya… apa tuh, Kek?” tanya Ray. “Yang pernah kakek bilang… melihat sosok-sosok yang mirip dengan mendiang Bah Jali dan Umi Rahmi tengah mengobrol.” “Benarkah cerita itu, Kek?” Ray penasaran. “Kakek tidak tahu, hanya cerita orang-orang.” “Kakek… takut?” tanya Dirga polos. Kakek Rahmat tertawa. “Tidak ada orang yang mati karena bertemu hantu. Apalagi hanya sebatas mendengar suara deheman dan tangisan.” “Benar,” Ray membenarkan ucapan kakeknya Dani. “Nggak ada yang mati sih, Kek. Bertemu hantu atau mendengar suara aneh. Tapi, bikin kuduk merinding bahkan bisa ngompol di celana,” ucap Dani diselingi tawa. Teringat pengalaman-pengalaman misteri yang pernah dilewatinya. Kakek Rahmat cukup suka membicarakan yang berhubungan dengan hantu. Mengenai vila-vila yang kosong. Banyak rumor miring bermunculan. Termasuk Vila Aling. Banguan yang lama kosong itu memang pasti ada penghuninya. Makhluk tak kasat mata.” “Asal jangan mengganggu saja, ya Kek?” ucap Ray. Kakek Rahmat mengangguk. “Benar. Gimana kitanya. Biasanya hantu senang sekali mengganggu orang yang penakut.” Ray menahan tawa sembari melirik pada Dani, Dirga, lalu Fian. Dani mesem saja, merasa. Juga Fian. Sementara Dirga, tipikal penakut setengah-setengah. Kadang berani, kadang takut. Namun masih mending daripada teman yang lainnya. Dominan penakut. Nenek Rahmi muncul dan berdiri di ambang pintu dari arah ruang makan. “Kalian suka sekali ngobrol tentang hantu, ya?” “Hanya sesekali, Nek,” ucap Ray. “Tapi… Fian paling doyan bicara soal hantu, padahal paling penakut!” “Dani juga penakut!” Fian tak mau kalah. “Dirga juga!” “Semua penakut!” seru Ray sembari tertawa. Kakek Rahmat pun bisa menebak sikap Ray yang paling berani. Beda dengan cucunya juga kedua teman cucunya. Fian dan Dirga. “Kalau di Pasirkampung… ada vila angker namanya Gedong Imla!” ucap neneknya Dani. “Seru tuh kalau Nenek mau cerita!” Ray tersenyum. Neneknya Dani melangkahkan kaki lalu duduk di kursi bersebelahan dengan suaminya. “Gedong Imla?” dahi Dani berkerut. “Nama penjaga vilanya Pak Imla, makanya disebut Gadung Imla.” “Pasirkampung itu di mana?” Ray ingin tahu. “Kalau dari sini, sekitar sepuluh menit sampai di Pasirkampung. Di situ banyak saudara Dani,” jawab kakek Rahmat. “Nah, Gedong Imla kalau dari sini, sebelum Pasirkampungnya. “Ada cerita apa di situ, Nek?” Ray menatap ke arah istrinya kakek Rahmat. “Vilanya besar?” “Sangat besar. Tapi sekarang sudah rusak karena tak dirawat. Pak Imla sudah jarang datang. Laki-laki itu lebih banyak menghabiskan hari-harinya di ladang, menanam sayuran daripada mengurus dan menjaga vila tanpa gaji.” “Kasihan,” ucap Ray pelan. “Sebelum orang-orang menyebutnya Gedong Imla, dulunya nama vila itu… Vila Arab karena orang Arab pemiliknya. Malah sebelumnya… vila itu milik orang yang berbeda. Orang Belanda. Hingga sempat disebut Vila Walanda,” Nenek Rahmi mulai bercerita. “Nah, sekarang setelah lama vila itu kosong dan rusak… banyak orang yang lewat pada takut.” “Masa siang takut?” Dani menatap neneknya. “Bukan siang. Tapi menjelang malam. Apalagi malam.” “Nah, kalau menejlang malam dan malam… baru Dani percaya, Nek. Apa saja tuh kejadiannya, Nek? Dani suka senang kalau dengar orang cerita yang hantu-hantuan… meski kata Ray Dani penakut, hehehe.” “Sekitar pukul enam sore, ada mobil yang suka jualan tahu bulat… yang suka ada nyanyiannya…” “Ya, Nek. Di Bandung juga ada yang jual tahu bulat pakai mobil dan diiringi laguan,” Ray tertawa ke arah Fian yang doyan makan tahu bulat. “Terus gimana, Nek?” Dani penasaran. “Ketika mobil itu lewat depan Gedong Imla… tiba-tiba ada yang memanggil mau beli. Mobil itu pun berhenti. Lalu menoleh sama yang memanggil. Ternyata, yang memanggilnya itu… manusia tanpa kepala!” “Hiiiiiiih…” Fian tampak ketakutan. Bahunya mengendik. Bulu kuduk Dirga pun merinding. “Nenek! Mana ada manusia tanpa kepala!” Dani tertawa. “Pastinya itu… bukan manusia!” Neneknya Dani tersenyum simpul lalu melanjutkan cerita. “Ada lagi… malam-malam tukang penjual baso mau lewat. Bawa gerobak kan. Lalu, ada tiga orang laki-laki yang meminta berhenti. Mereka dari halaman vila. Lalu menghentikan gerobak. Pesan seratus mangkok baso.” “Hah? Seratus mangkok? Banyak amat! Mau pesta?” tanya Dani. “Sepertinya begitu.” “Lalu?” “Si Amang baso bingung karena hanya ada sepuluh mangkok. Mau pinjam, pinjam sama siapa, orang di situ tak ada rumah lain. Tapi kata tiga laki-laki yang memesan itu bilang… tak apa-apa katanya, biar gantian saja. Terus, si Amang baso melayani dengan riang karena basonya laris karena sebelumnya tak satu pun yang membeli. Jadinya, dagangannya masih banyak. Mereka bertiga makan baso terlebih dahulu. Tapi Amang baso heran kenapa mereka makan baso dengan mangkoknya.” “Hah?” Dani kaget. Fian apalagi. “Ketika diperhatikan dengan saksama, ternyata… ketiga laki-laki itu kakinya tak menginjak tanah!”***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN