Siapa Gadis Berbaju Merah?

1999 Kata
Siapa Gadis Berbaju Merah? HUJAN mengguyur bumi semenjak siang. Sesaat sempat reda. Namun, langit kembali memuntahkan air yang dahsyat. Suara kilat dan halilintar bersahut-sahutan. Tak banyak yang dilakukan Indah di rumah. Selain memasak, beres-beres, dan di sela-sela waktu, ia mulai banyak membaca buku-buku pelajaran. Tak lama lagi, ia akan mengikuti paket C. Bunda Dewi sudah mendaftarkannya di kelompok belajar terdekat. Usai solat Asar, ia duduk termangu di dalam rumah. Di balik jedela, tatapannya ke luar. Memandangi cucuran air hujan yang turun nyaris tiada henti. Sepertinya, ada banjir di beberapa tempat, begitu menurut perkiraannya. Indah sendirian saja di rumah. Semenjak pagi, Bunda Dewi sudah pergi ke sekolah tempatnya menjadi guru. Perempuan itu tengah banyak kesibukan. Bukan hanya urusan di sekolahnya. Akan tetapi yang lain. Suka berbisnis juga dengan sesama teman perempuannya. Sesekali, ia pun suka berkumpul dengan teman semasa sekolahnya dulu. Pulang sore bahkan setelah langit gelap. Terkadang, Bunda Dewi langsung pulang ke rumahnya yang di Cibiru. Dan meninggalkan Indah sendirian. Sesekali, Bunda Dewi minta Ray dan teman-temannya untuk menjaga rumah sekaligus menemani Indah. Atau jika lagi ada Cika, maka Cikalah yang bertugas menemani Indah. Sementara Indah sendiri, ia sudah terbiasa di rumah tanpa siapa-siapa. Sudah terbiasa mendengar suara-suara aneh. Bahkan sudah terbiasa melihat sosok-sosok ganjil. Yang melintas, yang melayang, atau yang melesat seperti kilat. Wujud yang berbeda-beda. Namun, yang paling kerap dilihatnya, sosok gadis berbaju merah. Rambutnya dikepang satu ke belakang. Kedua kakinya mengenakan sandal jepit. Langkah-langkah kaki bersandal itu acap terdengar. Berjalan-jalan di beranda, atau lorong yang menghubungkan ke ruang belakang. Di lain waktu, Indah pun melihat wujudnya berkelebat. Atau tengah menatapnya dari balik jendela luar rumah. “Aku tak boleh jadi gadis penakut,” ucap Indah menguatkan hatinya. Bukunya ditutup. Lalu mengambil dari atas meja, buku satunya lagi. Ia rajin sekali belajar. Ia memang bertekat harus mempersiapkan untuk mengikuti kelompok belajar bersama dengan teman-teman lainnya yang nasibnya sama dengannya. Sempat putus sekolah. Ada secercah harapan di kepalanya akan masa depan yang gemilang. Beruntung di sini ada Bunda Dewi yang selalu menyemangatinya. Juga Ray dan Dani yang rajin mengajaknya berbincang. Derit pintu terdengar. Kepala Indah terangkat. Pandangannya ke pintu yang menuju ruang belakang. Pintu manakah yang berderit? Pikirnya seraya menyimpan buku di atas kursi. Tubuhnya beranjak. Melangkah dengan cepat ke ruang belakang. Ia mendengar bunyi pintu dari arah belakang dengan jelas. Yakin dengan pendengarannya yang tak salah. Meski di luar hujan deras. Antara pintu dapur atau pintu kamar mandi. Tatapnya memusat ke pintu kamar mandi. Kakinya melangkah pelan. Dicoba mendorongnya. Tertahan. Seperti ada yang menahannya. Atau ada yang menguncinya dari dalam. Siapa? Pikirnya lagi seraya berusaha membuang pikiran buruk. Ia harus menganggap hal yang biasa. Tak ada niat mengetuk pintu kamar mandi apalagi memanggil ‘seseorang’ yang mungkin berada di dalam. Seseorang? Ia jadi geli sendiri menyebut ‘seseorang’ pada makhluk halus. Tubuhnya berbalik. Melangkah. Baru saja tiba di ambang pintu dapur, telinganya menangkap suara dari kamar mandi. Suara air diguyur yang tak lama sebuah benda terdengar disimpan di atas bak. Seperti bunyi sebuah gayung, begitu yang terlintas di benak Indah. Ia tak memedulikannya. Kakinya kembali melangkah. Menuju kursi yang sebelumnya ia duduki. Baru saja bokongnya jatuh di atas kursi, kupingnya menangkap suara langkah kaki bersendal jepit di teras depan. Hujan mulai mereda. Langkah itu terdengar jelas. Sandal yang basah, bunyinya berbeda. Dihelanya napas. Ia harus kuat, begitu tekatnya. Diambilnya buku tadi. Dibukanya. Mencoba mencerna kalimat demi kalimat dalam buku itu. Berusaha memahaminya. Berkonsentrasi penuh. Ia ingin menjadi gadis yang cerdas seperti Bunda Dewi. Srek srek srek. Suara sandal jepit diseret. Keciplak keciplak. Serupa terkena air. Kepala Indah bertahan untuk tak menoleh. Tetap terpusat pada buku. Langkah kaki itu berhenti dekat pintu depan. Tak jauh dari jendela kaca. Entahlah, Indah tiba-tiba menjadi penasaran. Dari ruang keluarga, untuk melihat ke arah jendela depan itu mudah, lantaran pintu pembatas ruang tamu dan ruang tengah, sangat lebar. Hingga dari tadi juga, ia bisa menyaksikan cucuran air hujan dari atap rumah bagian depan. Yang jatuh ke tanah. Meski, proses jatuh ke tanahnya tak bisa terlihat. Namun, untuk melihat atap depan, sudah jelas bisa. Apalagi sekadar pintu depan, jendela depan, dan yang berdiri depan jendela depan. Serupa orang yang tengah mengintai dari luar. Mengintai dirinya yang tengah sendirian di dalam rumah. Kepala Indah pun menoleh sedikit. Dadanya berdegup keras melihat soosk yang berdiri di luar. Wajah itu menempel di kaca. Wajah seorang gadis dengan tatapan dingin. Wajah putih yang sangat pucat. Taka da gurat berseri. Tanpa senyuman di bibirnya sedikit pun. Kaku. Datar. Rambutnya tak terlihat lantaran dikepang satu ke belakang. Dan bajunya masih baju yang sama. Merah. Kepala Indah gegas ditarik lagi ke depan. Lalu tertumpu pada buku yang terbuka halamannya. Hendak melanjutkan bacaan tadi. Namun tak berhasil. Ia menjadi tidak konsentrasi. Sesaat telepon berbunyi, dari gawainya yang tergeletak di atas meja. Diangkatnya lalu ditempelkan di telinga. Ibunya yang menelepon. Selalu begitu, ibunya selalu menelepon ketika rindu pada Indah. “Indah kamu baik-baik saja?” tampak suara ibunya cemas. “Alhamdulllah, Bu…” “Indah masih solat kan?” “Ya, Ibuuu… kenapa tanya itu? Itu kan kewajiban umat Islam. Solat. Apalagi yang fardlu. Kalau yang sunat, ya Indah masih sesekali. Semisal solat dluha. Atau solat rawatib. Tapi kalau solat tahajud, karena harus bangun malam… Indah masih sulit, Bu.” “Syukurlah, Nak. Utamakan yang wajib. Tapi yang sunat juga dicoba lagi. Ibu hanya takut, kamu lupa kewajibanmu. Solat itu tiang agama.” “Nggak mungkin, Bu. Lagipula di sini, Indah bergaul sama yang solatnya rajin-rajin. Apalagi Bunda Dewi.” “Alhamdulillah. O ya, Nak… kalau di sini, kamu kan rajin solat tahajud, kenapa sekarang jadi jarang? Apa kamu terlalu pulas tidur dan sulit bangun tengah malam?” “Ngg… nggak, Bu, Indah sering ko bangun tengah malam.” “Lalu masalahnya apa?” Indah tak berani menuturkan alasannya. Jika saban bangun tengah malam, itu lantaran terjaga karena terusik makhluk tak kasat mata. Baik suara maupun wujudnya. Dan mengakibatkan ia enggan pergi ke kamar mandi jika malam-malam. Lantaran berulangkali, ia mendapati pintu kamar mandi terkunci dari dalam sementara di dalam tak ada siapa-siapa. Hanya suara air yang diguyur atau suara gayung yang ditaruh di atas bak mandi. “Ng… mungkin banyak godaan, Bu.” “Godaan apa?” “Yaaa, godaan…malas bangun.” “Susah bangun?” “Nggak juga, Bu. Suka terbangun. Tadi kan Indah bilang gitu. Kalu bangun malam ya sering. Tapi ke kamar mandi itu ko malas banget.” “Katamu… di kamar di situ, ada kamar mandi di dalam?” “Hanya di kamarnya Bunda Dewi. Di kamar tempat Indah tidur, nggak ada.” “Oh. Jauh ya… jarak dari kamar yang kamu tempati untuk ke kamar mandi…sekadar ambil air wudlu?” “Iya, Bu. Lumayan. Rumahnya besar. Penghuni hanya Bunda Dewi dan Indah. Mana banyak ruangannya lagi.” “Jadi maslahnya kamu enggan ke kamar mandi pada malam hari itu, karena jauh?” “Ya, Bu. Juga agak-agak gimana,” ucap Indah ragu. “Agak-agak gimana… gimana maksudmu?” “Agak takut, Bu.” “Kamu kurang berani?” “Ya, Bu.” “Tapi kalau kamu lagi di kampung sini, suka berani ke jamban umum dekat kebun Haji Jamhur.” “Hehehe,” Indah mencoba berseloroh ringan, itung-itung melenyapkan rasa tak nyaman setelah melihat sosok gadis berbaju merah tadi yang mengintip dari jendela. “Entahlah, kalau di kampung sendiri, Indah berani, ya?” “Ya, kamu cukup pemberani sebagai seorang gadis.” Indah terdiam sesaat. “Apa kamu takut di situ?” “Takut? Takut apa, Bu?” “Mmm, nggak usah dibahas, ya… Ibu ko mendadak khawatir, kamu menjadi gadis penakut setelah berada di kota.” “Tidak. Tennag saja, Bu. Godaan itu selalu ada tapi Indah mampu bertahan.” “Rajin mengaji ya, Nak?” “InsyaAllah, Bu. Habis solat magrib, rutin mengaji.” “Syukurlah. Sudah sore.” “Ya, di sini baru reda.” “Hujan juga?” “Ya.” “Sama.” “Hujan juga, Bu?” “Ya. Indah, kamu sekarang lagi sendirian di rumah?” Indah tak langsung menjawab. Ia tak mau menciptakan kecemasan di hati ibunya. Akhirnya, ia terpaksa berdusta dengan mengatakan tidak. Suara ibunya tampak senang. Hingga menutup telepon. Mengakhiri perbincangan. Tubuhnya beranjak ke ruang belakang. Menuju kamar mandi. Didorongnya pintu dengan hati-hati. Sebelum masuk, terlebih dahulu menyalakan lampu. Ia pun berwudlu dengan khusuk. Keluar dari kamar mandi, ia menyalakan lampu ruangan-ruangan lain. Termasuk lampu teras. Solat magrib di kamarnya. Usai solat, ia mengaji. Hingga beberapa halaman. Hatinya tenang. Dilanjut dengan berzikir. Sembari menunggu tiba wkatu solat Isya. Ia menahan diri agar tak batal tersebab malas pergi ke kamar mandi lagi. Perutnya dirasa agak lapar. Ia pun menahannya. Namun, usai solat Isya, perutnya tak bisa diajak kompromi. Dilepas mukenanya, dilipat. Dimasukkan ke dalam lemari. Menuju dapur. Menghangatkan teman nasi. Bunda Dewi belum juga kembali. Indah menunggu-nunggu dengan perasaan tak karuan. Bahkan kala makan sendirian di meja makan, hatinya mendadak resah. Teringat Bunda Dewi. Ia tak berani menelepon perempuan itu, apalagi sekadar menanyakan hendak pulang jam berapa. Indah sangat menghormati perempuan itu. Tangannya dibasuh. Membersihkan makanan yang menempel di jemari kanannya. Bekas makan malam. Dicucinya piring bekas makannya. Juga dengan gelasnya. Di luar rumah, tak terdengar hujan. Namun, ada gerimis yang turun. Suara gagak hitam bersahutan. Dan Indah sudah menganggapnya biasa. Tak setakut seperti kala pertama datang ke rumah ini. Dadanya terperajat ketika mendengar suara pintu dapur berderit. Lalu terkuak sedikit. Gegas mengeringkan tangan dengan lap yang tergantung dekat rak piring. Langkahnya cepat menguakkan pintu yang sudah terkuak sedikit. Lalu menuju ruang tengah. Duduk di sana. Seraya mengatur napas. Dari ruang tamu, terdengar bunyi kursi yang bergeser. Berulangkali. Dadanya berdegup kencang. Keringat mulai membasahi tubuh. Ia tak mau menolehkan kepala ke ruang itu. Hingga bunyi kursi yang bergeser lenyap tapi berganti dengan suara tirai. Seperti ada yang menyingkapkan. Bunyi penjepit tirai begitu nyaring memecah sunyi. Dadanya dagdigdug. Dipejamkan mata sembari mencoba berdoa. Sepi. Tak ada bunyi-bunyian yang aneh. Dibukanya mata. Napasnya beraturan kini. Dadanya tidak berdegup lagi. Tak ada yang dilakukannya selain termenung. Ia terus berdoa agar Bunda Dewi segera kembali. Termenung lagi. Tak ada niat menyalakan televisi. Sekadar menemaninya dalam sepi. Atau mmebuka kembali buku-buku pelajaran. Pikirannya terpusat pada Bunda Dewi. Suara burung gagak hitam bersahutan lagi. Indah bertahan dalam diam. Menunggu dan menunggu. Ia harap, Bunda Dewi tengah menuju ke rumah ini. Lalu, bunyi pintu pagar memecah sunyi. Sangat mengagetkan Indah yang tengah asyik termenung. Dadanya benar-benar terperanjat. Tak sadar, bibirnya bergerak lalu teriak keras. Menjerit. Memecah malam. Ia merasakan makhluk-makhluk tak kasat mata tengah mengepungnya. Hendak mencekiknya. Matanya terus dipejamkan sembari teriak-teriak. Baru merasakan ketakutan yang sangat, meski sebelumnya ia mampu bertahan. Suara pintu depan terkuak. Seseorang masuk dan menghampiri Indah yang masih menjerit-jerit. Didekapnya gadis itu. “Kamu kenapa, Indah?” Mata Indah terkuak lebar. Di hadapannya, seseorang tengah mendekapnya. Namun, dekapan itu mendadak dilepaskan oleh orang yang tadi mendekapnya. Indah malu. Begitu pun yang sudah mendekap. “Maafkan aku,” ucap Ray lalu segera duduk. Indah meneguk air putih yang sudah ada di aatas meja semenjak sore. Dan masih penuh isinya karena belum diminum. Ia pun duduk tak jauh dari Ray. namun tidak berdekatan. Ray benar-benar menyesal mengapa harus memeluk Indah. Baru pertama kali dalam hidupnya, ia memeluk tubuh seorang gadis dan itu pada Indah. Pada kedua adiknya saja tak pernah kecuali saat mereka masih kecil. “Kenapa tadi kamu menjerit-jerit?” Ray menatap Indah. “Ng…” Indah belum berani mengungkapkannya. Di sisi lain, ia senang dengan kedatangan Ray yang secara tiba-tiba. “Okelah, mungkin kamu perlu menenangkan diri dulu. Ada hal buruk, ya?” Indah mengangguk. “Aku ditelepon Bunda Dewi, disuruh ke sini, menemani kamu. Tapi Bunda Dewi lagi di jalan menuju ke sini. Mungkin tak lama lagi sampai. Motorku banya kempes di depan. Jadinya, aku tadi jalan kaki ke sini.” “Ouh,” ucap Indah. Pantas tak terdengar suara motor, tiba-tiba pintu pagar berbunyi. Kontan Indah teriak. Ray masuk pintu depan karena belum dikunci lantaran Indah masih menunggu Bunda Dewi.***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN