Tidur di Kamar Tengah
MEREKA bertiga yakin, jika yang melempari atap pondokan semalam, serupa butiran pasir yang ditaburkan berulangkali, itu bukan ulah manusia. Namun ulah makhluk halus yang mereka duga, pelakunya sama dengan yang juga suka menaburkan butiran pasir ke atap rumah Fian. Tiada lain....
“Mungkinkah jin?” Dani menatap Ray. Sepulang kuliah, Ray dan Dani berbincang. Tak berapa lama, Fian pun tiba dan ikut berbaur. Mereka bertiga berkumpul di kamar Ray. Sekitar pukul tiga.
“Aku yakin,” Ray mengiyakan.
“Jin yang sama dengan jin yang di rumah Haji Jajuli atau rumah Haji Jafar?” desak Dani.
“Sepertinya begitu,” Fian yang menjawab. “Jin yang sama. Jin yang juga suka iseng lemparin batu atau taburin butiran pasir ke atap rumahku. Jin yang pernah menampakkan wujudnya. Berdiri tegak di balik jendela ruang atas rumah Haji Jajuli. Tinggi, hitam, dan besar. Menakutkan. Menyeramkan. Jin yang pernah ganggu kita juga waktu kita menginap di ruang atas itu. Kala Bu Sri dan Pak Rahman masih menetap di sana.”
Ray terdiam, seperti tengah memikirkan sesuatu. Dani pun mengiyakan penjelasan Fian. Lalu diliriknya Ray yang masih terdiam. “Berarti yakin, yang semalaman menaburkan pasir ke atap kamarmu itu, jin yang sama?”
Ray menganggukkan kepala. “Iya.”
“Si Gembel?” Dani meyakinkan.
Ray kembali menganggukkan kepalanya. “Ya. Siapa lagi. Nggak mungkin manusia. Pasti makhluk halus sebangsa jin. Dan yang perilakunya seperti itu, ya si Gembel.”
“Si Gembel yang sama ‘kan?” Dani menatap Ray. “Tapi herannya, ko si Gembel bisa terbang ke sini, hehehe. Padahal sudah saja ya di rumah Haji Jajuli atau rumah Haji Jafar. Giliran patroli di kedua rumah itu. Jangan main-main ke sini. Kita jadi nggak tenang.”
“Karena dia tahu kita berada di sini,” jelas Ray.
“Mengapa dia mengejar kita?” Dan penasaran.
“Lantaran kita tengah membicarakan perihal dia,” Ray menegaskan. Serius.
“Lebih tepat, ngerumpiin dia, ya Ray?” timpal Fian. Ray menganggukkan kepala. Lalu sebelah tangannya merogoh gawai yang berada di saku kanan jaketnya. Diamatinya. Mengecek isi kotak masuk. Kemudian jemarinya lincah mengetik, membalas satu per satu. Tak berapa lama, salah seorang penghuni pondokan mengetuk pintu. Mahasiswa semester atas, kakak tingkat Ray dan Dani. Maulana namanya, orang Indramayu. Ia masuk dan ikut duduk. Kemudian, ia menceritakan kejadian tadi malam yang dialaminya. Ia mendengar ada suara perempuan yang memanggil namanya dari arah luar kamar yang ditempatinya. Ia lalu membukanya lantaran penasaran. Namun, ketika pintu terkuak, ia tak mendapati sesia pun di luar. Padahal jelas suara perempuan itu datangnya dari arah luar. Bahkan nyaris depan pintu, ia sangat yakin. Bukan suara yang datang dari arah jauh. Tersebab jelas. Kejadian itu tepat pukul sebelas malam, ketika penghuni pondokan semua tengah berada dalam kamar masing-masing. Dan sebagian sudah terlelap dibuai mimpi. Maulana pun menyampaikan cerita yang lainnya. Masih kejadian semalam. Teman sebelah kamarnya pun mengalami kejadian aneh. Ketika pukul dua dini hari hendak ke kamar mandi yang berada di bawah, lantaran di kamarnya tak terdapat kamar mandi, lalu di bawah tangga, ia melihat seorang perempuan bergaun putih dengan rambut sebahu, tengah duduk sembari menangis lirih. Ketika disapa, tak menjawab. Hingga akhirnya, niat untuk ke kamar mandi bawah diurungkan lantaran takut, lalu ia kembali ke kamar dengan langkah tergesa-gesa dan menahan diri sesaat untuk tak buang air kecil, sampai menit-menit berikutnya, ia baru berani lagi ke luar. Menuruni tangga dan perempuan tadi tak dilihatnya lagi.
“Aneh-aneh kejadian di pondokan ini, semua mistis,” ucap Dani. “Sebenarnya, kita juga diusik makhluk-makhluk itu, Maulana.”
“Aku sih baru ngalamain tadi malam. Sebelumnya tidak pernah. Padahal, aku menghuni pondokan ini, hampir bersamaan dengan Ray,” kata Maulana.
“Kalau aku, baru ngalamin ketika menjelang malam, di kamar mandi bawah juga... suara yang hihihihi itu, bikinparno,” Fian pun menguak lagi pengalamannya tempo hari. “Itu benar-benar menyeramkan. Seperti di film-film horor. Setelah itu, nggak pernah lagi. Baru tadi malam, ada yang usik lagi... tapi kita lagi bertiga. Kan nginep di kamar ini. Biasa lah... yang usil, sudah kita kenali... Mr. Gembel, hehehe.”
“Huss!” Ray melirik Fian dan memberi kode agar tak menyoal si Gembel. Lantaran, itu beda topik. Si Gembel harus menjadi cerita atau masalah buat yang yang tahu saja, lantaran itu jin kiriman yang datang sesekali. Bukan makhluk halus yang sudah jelas penghuni tetap pondokan ini. Ray yakin, si Gembel tak akan sering mengusiknya di sini, selama mereka bertiga tak banyak membahasnya. Begitu yang terpikir oleh Ray.
“Kalau kamu... gimana, Dan? Ada kejadian aneh yang menimpamu selama menghuni kamar di sini?” tanya Maulana. “Maksusku, kamar kamu. Yang di pojok itu.”
Dani menghela napas berat. Sembari menatap Maulana yang juga tengah menatapnya. “Kalau aku, jangan ditanya lagi. Kejadiannya super heboh.”
“Heboh gimana?” Maulana penasaran.
“Hantu kamar mandi.”
“Hah? Kamar mandi yang mana?”
“Yang ada di dalam kamarku.”
Lalu Dani pun tak kalah, kembali menuturkan lagi pengalaman yang membuat bulu kuduknya nyaris seperti disobek-sobek. Hingga awalnya, ia sempat ingin pergi sejuah mungkin dari sini. Ingin pindah. Mencari pondokan lain yang tak ada hantunya. Namun, pada akhirnya, ia menyerah saja. Ia bertahan. Terlebih setelah Ray berulangkali menguatkannya. Bahkan, Dani masih bertahan di kamarnya. Tak pindah kamar. Dan perihal hantu kamar mandi, kata Dani, sudah tak ada lagi.
“Kamu yakin hantu di kamar mandimu... nggak ada lagi?” tanya Maulana.
Dani mengangguk mantap. “Yakin!”
“Kenapa seyakin itu?”
“Aku nggak pernah diusik lagi, berarti hantu itu sudah minggat!”
Fian meliriknya. “Hey, Dan... nggak usik lagi itu bukan berarti sudah minggat. Bisa saja betah. Mungkin saja... masih menghuni di kamar mandimu... kenapa nggak ada lagi penampakan atau suara? Sepertinya ... menunggu waktu yang pas untuk mengusikmu lagi.”
Dani mendengus. “Nggak ada! Aku yakin nggak ada! Sekali aku bilang udah nggak ada... ya nggak ada!”
Fian mengangkat kedua bahunya. “Okelah, kalau memang hantu kamar mandimu udah minggat, kira-kira minggatnya ke mana, ya?”
“Yang pasti, masih seputar pondokan ini, aku nggak peduli dimana kini hantu itu bersemayam, asal tidak di dalam kamar mandiku,” ucap Dani bersikeras.
“Maulana, laporanmu diterima,” sela Ray sembari menatap Maulana.
“Laporan apa, Ray?” Maulana heran.
Ray mendesah. “Laporan mengenai kejadian yang menimpamu semalam. Yakinlah, mereka nggak akan mengganggumu, kalau dikit-dikit nakut-nakutin, biar saja, abaikan saja. Hantu takut sama yang pemberani. Mereka mencari yang lengah atau penakut.”
“Ouh, iya, semoga saja,” Maulana tersenyum. “Kalian bertiga, kayaknya sedang ada urusan penting, ya... aku ganggu, ya?”
“Nggak ko,” jawab Dani dan Fian hampir bersamaan.
“Kami mau pulang kampung, maksudku aku dan Dani, kebetulan jadwal kuliah untuk besok, ditangguhkan ke lusa, jadi kami pulang lagi sini, lusa pagi. Yang penting, bisa tetap ikut kuliah pagi-pagi dan nggak kesiangan,” jelas Ray.
“Lho, ko cuma kamu dan Dani yang pulang? Kan aku juga mau!” Fian menatap Ray lalu beralih pada Dani yang senyum-senyum senang melihat Fian yang agak berang, merasa tak dianggap.
“Kamu kan ada kuliah esok pagi, Fian. Masa sih mau bolos!” seru Dani.
“Besok kuliahnya sore, masuk pukul tiga, kalau aku ikut, besok aku pulang duluan ke sininya, pokoknya... jam tiga, aku harus sudah ada di kampus, on time... gapapa nggak mampir dulu ke pondokan ini,” kata Fian dengan jelas. Ray mengiyakan dan memperkenankan Fian pulang bersama. Maulana pun pamit hendak menuju kamarnya lagi. Mau beristirahat, katanya.
Menjelang pukul lima sore, Ray, Dani, dan Fian mulai siap-siap hendak pergi. Lalu menghidupkan motor masing-masing. Tak berapa lama, ketiga motor itu meluncur beriringan menyusuri jalanan protokol. Kepulangan mereka ditujukan khusus untuk menemui Bu Sri. Makanya, ketika pukul sembilan belas tiba di kota mereka, mereka pun tak menuju rumah masing-masing meski tak bisa dipungkiri, kerinduan mereka yang membuncah pada keluarga, orang-orang tercintanya. Namun, ada yang lebih penting. Harus bersua Bu Sri terlebih dahulu. Harus. Tak boleh tidak. Ray terutama, begitu mengkhawatirkan Bu Sri.
Ketiga motor itu pun melaju menuju rumah yang dihuni Bu Sri dan Pak Rahman. Rumah saudaranya Haji Jajuli. Tiba di depan rumah itu, sepi. Sekitarnya senyap. Bahkan gelap. Terhalang kebun dan tanah kosong. Tanpa penerangan lampu.
Usai memarkir motor, mereka bertiga pun berjalan ke arah teras rumah. Lalu, Ray yang mengetuk perlahan pintu rumah. Sementara Dani mengucap salam. Hanya berselang lima menit, pintu terkuak, Muncul seraut wajah Bu Sri. Tubuhnya berisi, perutnya mulai terlihat. Ia mengenakan daster warna merah muda yang bermotif serupa pelangi dan titik-tiik hujan. Melihat ketiga remaja yang datang, wajah Bu Sri berseri-seri, tampak kebahagiaan terpancar di wajahnya yang cantik.
“Alhamdulillah, ternyata kalian.... ayo, masuk!” dengan keramahan yang tak dibuat-buat, Bu Sri memersilakan ketiga muridnya yang sekarang sudah menjadi mahasiswa, untuk masuk ke ruangan tamu yang nyaman tapi agak seram. Ray dan kedua temannya pun duduk di atas sofa berwarna abu-abu tua. Ruangan terang setelah Bu Sri menghidupkan sakelar lampu pada dinding.
Dani melarang Bu Sri yang bersikeras untuk ke dalam mengambil minum. Akhirnya, Bu Sri pun patuh sembari tersenyum. Ia rindu Ray, Dani, dan juga Fian. Kalau dengan Dirga, masih suka bersua. Bu Sri pun kembali duduk. Ia bilang, suaminya belum pulang dari kota dan ada kemungkinan tak pulang karena esok pagi suaminya itu harus mengikuti ujian.
Mereka berempat berbincang dengan seru. Mengenai pengalaman Ray dan kedua temannya selama menjadi mahasiswa. Bu Sri begitu menanggapinya dengan antusias. Hingga, Ray balas menanyai kabar Bu Sri juga ingin tahu lebih jelas mengenai Bu Sri yang mengalami kejadian-kejadian aneh seputar makhluk gaib, di antaranya si Gembel dan mesin tik. Bu Sri dengan suka hati, mau menuturkannya. Justru, ia sangat menunggu saat-saat seperti ini.
“Ibu jadi penakut gini, aneh...” ucap Bu Sri pelan.
“Bukan aneh, Bu... itu wajar, manusiawi, tiap orang punya rasa takut. Tapi, kembali lagi pada kita... gimana cara kita menghadapinya, cara kita mengatasinya. Lantaran kita pun percuma dan tak ada gunanya bila membesar-besarkan masalah seperti itu... dunia ghaib, misteri, makhluk tak kasat mata... ada di sekitar kita. Kita harus mampu melawan rasa takut. Kita jangan takut pada mereka, mereka pun makhluk ciptaanNya. Tapi, bedanya... kita makhluk mulia,” jelas Ray. Bu Sri takjub dengan ucapan Ray yang begitu bijak. Belum lama menjadi mahasiswa, tapi sudah mampu berkata-kata layaknya orang yang berilmu tinggi. Bu Sri kagum. Rasa sepi karena suaminya tak pulang, sedikit demi sedikit berubah menjadi ketenangan. Gawainya berdering. Ia menerima telepon dari suaminya. Setelah menutup perbincangan, ia mendesah pelan. Katanya, suaminya benar-benar tak akan pulang meski rencananya akan dipaksakan pulang. Bu Sri tak bisa memaksa, lantaran suaminya terikat kegiatan kuliah. Mau tidak mau, suka tidak suka, ia harus di rumah sendirian. Melewati malam dengan kecemasan. Meski bunyi mesin tik tak pernah datang lagi, tapi ia masih mendengar suara-suara aneh lainnya dari kamar tengah. Atau dari teras depan rumah.
“Bukankah Ibu punya asisten rumah tangga?” tanya Ray. Ia pun tahu itu dari Fian.
“Punya, Ray. Tapi dia di sini siang saja. Dari pagi sampai siang. Terkadang sampai sore. Tapi sekarang jarang sampai sore semenjak ibunya sering sakit-sakitan. Makanya, Ibu bingung, Ray... mau cari lagi asisten rumah tangga yang lain, dia... Tini... tidak mau, masih tetap mau di sini. Ya, Ibu tak tega juga. Serba bingung.”
Ray melirik Dani lalu Fian. Memberi kode sembari saling mengiyakan. Lalu, Ray h bicara pada Bu Sri, “Bu... kalau nggak keberatan, bolehkah malam ini... kami bertiga menginap di rumah ini, menemani Ibu? Pagi-pagi, kami baru pulang ke rumah masing-masing untuk menemui keluarga kami yang menunggu.”
Bu Sri tampak gembira. Kecemasannya berangsur. “Justru Ibu yang ingin meminta tadinya... apalah kalian bertiga bersedia menemani Ibu malam ini di sini?”
Lima belas menit kemudian, mereka berempat sudah berada di ruang makan. Menghadapi meja makan dimana di atasnya sudah tergelar nasi putih dan lauk pauk. Usai makan malam, mereka menuju ruang TV. Berbincang diselingi solat Isya. Lalu kembali berbincang. Hingga pukul sepuluh, baru mereka masuk kamar. Bu Sri ke kamarnya. Ray, Fian, dan Dani tidur di kamar tengah. Lampu dipadamkan. Pulas. Pukul dua belas tepat, telinga mereka mendengar suara mesin tik bergeser. Lalu tiktoktiktok.***