Pondok Berhantu
“CIK...” Dani berdiri di ambang pintu kamar Cika. Gadis yang tengah membereskan tempat tidurnya itu, menoleh. Lau tersenyum dan menghampiri Dani.
“Ray... mana?” tanya Cika.
“Sama Angga. Diajak ke pondokan temannya.”
“Kamu nggak ikut, kenapa?”
“Malas...” Dani mengulum senyum sembari menatap wajah cantik di hadapannya. “Nggak ada jadwal kuliah?”
“Ada. Sore. Pukul tiga mulainya,” jawab Cika. Ia melirik jam di dinding. Pukul sepuluh tepat. “Masuk, yu?”
Dani mengangguk. Hatinya girang ada kesempatan bisa berduaan dengan Cika. Mumpung Ray lagi tak ada, pikirnya. Sudah tiga hari, ia dan Ray menginap di pondokan ini. Ada beberapa kamar yang kosong. Dan induk semangnya, sangat baik hingga memperbolehkan tamu, baik itu teman atau saudara penghuni pondokan ini, semisal yang mau menginap selama tidak lama-lama. Dani dan Ray menikmati menginap di sini. Para penghuninya baik dan ramah. Hingga ia pun betah dan ingin tinggal lebih lama. Namun, ia sadar, ia bukan penghuni tetap. Dan hanya sekadar berkunjung, Angga, salah satu penghuni kamar di sini, menjelaskan pada Dani dan Ray kemarin sore, induk semang memang sengaja memasang strategi untuk menarik calon penghuni kamar tetap dengan cara sesekali memperbolehkan menginap di sini. Dani dan Ray suka kalau bisa lama di sini lantaran fasilitasnya cukup lengkap. Dalam kamar, sudah tersedia perabotan yang penting seperti tempat tidur lengkap dengan kasur busa super empuk, bantal, dan guling. Juga ada lemari pakaian dan meja kursi belajar. Di sini pun, ada dapur umum bagi mahasiswa yang ingin sesekali memasak atau sekadar merebus mi. Kamar mandi umum di bagian pojok, ada beberapa sehingga tak perlu sering banyak yang mengantri. Terkecuali di pagi hari dimana jadwal kuliah yang sama.
“Ayo!” ajak Cika melihat Dani yang malah melongo padahal sebelumnya sudah mengiyakan. Dani melepas sepatunya. Lalu masuk dan duduk di atas karpet. Cika pun duduk. Tak jauh dari Dani.
“Rencanamu sama Ray, gimana?”
“Rencana yang mana?”
Cika mendecak. “Kan kalian mau kuliah sekitar sini. Makanya survei dulu ke sini dalam beberapa hari ini!”
“Ouh, aku belum ngobrol lagi sama Ray.”
“Ajak ngobrol lagi, biar jelas tujuan kalian ke depannya.”
“Ray nggak bilang sama kamu, Cik?”
Cika menggeleng. “Nggak. Mm, mungkin belum, bukannya nggak. Tambah, akunya kan sibuk kuliah. Pulang kadang nggak ketemu dia. Juga kamu. Tapi syukurlah, kalian bisa menyesuaikan di sini makanya kalian betah, ya? Ayo, ngaku betah ya di sini?”
Dani tersenyum simpul lalu mengangguk. “Ya, terutama karena ada... kamu, Cik.”
“Hemmmm... masa ah?” Cika lalu tertawa renyah. Dikibaskan rambut sebahunya. Dani menatapnya takjub.
“Iyyaaa!”
“Berarti, kalau kalian sepakat kuliah di daerah sini, kos juga mau kan ya di sini, yakin, ya? Tante Mirna, induk semang yang gendut tapi baik itu... pasti senang kalau denger kalian mau kos di sini,” ucap Cika terkesan ikut mempromosikan. Lantaran memang, pondokan yang berkamar tiga puluh enam ini, hanya dihuni setengahnya. Yang setengahnya, kosong. Bukannya tidak ada yang minta. Biaya sewa per bulan tak begitu mahal. Banyak yang lebih mahal. Namun, terkadang, banyak penghuni di sini yang tiba-tiba memutuskan pindah tempat kos lantaran takut dengan sesuatu yang berbau mistis. Ataupun dunia hantu. Konon, di pondokan ini, acap penampakan makhluk tak kasat mata. Bahkan ada penunggunya. Itu yang membuat orang urung tinggal di sini meski yang bertugas menjadi induk semang di sini selalu menebar pesona dengan sikap dan budi bahasa yang baik dan memikat. Rumor adanya hantu lebih kuat ketimbang kredibilitas seorang induk semang.
Dani mendesah sesaat. Lalu, “Ya, kuakui, di sini betah, tapi kalau untuk menetap, maksudnya menghuni ... dengan kata lain, kos, ya... aku harus pikir-pikir dulu, Cik.”
“Pikir-pikir dulu apanya?” Cika menatap Dani. “Kemahalan buatmu?”
Dani terdiam dulu.
“Menurutku tidak, ko Dan. Coba kamu cari kosan lain... banyak yang kayak gini tapi sewa per bulan mahal. Ada juga yang lebih murah tapi fasilitas pun sepadan dengan kondisinya. Mending di sini, ya Dan... bujuk juga Ray.”
“Kalau bujuk Ray, kamu juga kan bisa, Cik. Kamu saudara sepupunya. Kamu dan dia pun dekat seperti dua sahabat, kalau aku perhatiin.”
“Ah, pokonya kita bujuk bareng Ray.”
“Kita?” Dani tersenyum.
“Ya, aku dan kamu. Biar kita bertiga bisa sering ketemu saban hari... kalau kos di tempat yang sama. Kita juga bisa saling menjaga dan saling berbagi kalau ada rezeki. Sama-sama di rantau kan.”
“Cik, sudah aku bilang tadi kan, kalau Ray... aku sih belum tahu... Cuma kalau aku, untuk kos di sini, masih kupikir-pikir dulu. Alasannya bukan soal biaya sewa. Tapi ada alasan laiiin...”
“Alasan lain apa? Karena ada aku?”
“Bukaaan, ada kamu menambah semangat pastinya. Tapi bukan berarti aku harus di sini.”
Cika jadi penasaran. Lalu mendesak Dani untuk mengemukakan alsannya. Sebab Cika merasa heran. Dani tampak betah di podokannya, tapi diajak kos di sini, tidak mau, padahal induk semang pun berusaha menarik simpati.
“Pokoknya ada, deh,” Dani bersikukuh tak mau mengatakannya. Cika pun tak berkomentar lagi. Ia jadi bingung. Ia pun menyerah sementara dan mencari waktu lain untuk membujuknya lagi. Berharap di lain waktu, bujukannya berhasil.
“Sebulan lagi kan kalian harus sudah tentukan kampus yang cocok di sini...” Cika mengalihkan pembicaraan.
“Ya... yang pasti, di sini, Cik. Kuliah kami di kota ini. Dekat denganmu. Tapi kalau tempat kos, belum tahu.”
“Oke,” kata Cika akhirnya.
“Besok pagi, aku mau pulang dulu.”
“Lho katanya mau langsung kos...”
“Kata siapa?” Dani heran. Ia tak merasa pernah bilang begitu.
“Kata...Ray.” Cika pura-pura padahal hanya memancing.
“Ouh, kalau Ray, aku belum tahu. Mungkin saja dia mau lebih cepat kos.”
“Masa sih kamu nggak mau barengin Ray... katanya kompaaaak!”
“Hehehehe, gimana nanti, Cik...”
Tak berapa lama, Ray dan Angga muncul. Angga penghuni kamar atas. Sikapnya baik pada Dani dan Ray apalagi tahu kalau Ray saudara Cika. Mereka pun ikut bergabung. Ngobrol seru hingga tiba waktunya makan siang. Mereka pun bersama pergi mencari makan siang ke Jatinangor. Dani dan Ray hingga sore berkeliling kota mahasiswa itu. Dari satu pondokan ke pondokan lain. Sembari cuci mata.
Kembali ke pondokan dimana Cika berada. Sudah gelap. Lalu masuk kamar yang beberapa malam ini, mereka tempati. Ray memijit sakelar lampu kamar. Ruangan terang.
“Dan, kalau kita nggak kos di tempat ini, aku merasa nggak enak juga sama Tante Mirna. Dia baik banget dan sangat berharap kita bisa kos di sini.”
“Ya, aku paham. Tapi jujur, aku nggak mau, Ray. Tadi siang aku bilang sama Cika, mau pikir-pikir dulu... dan sekarang aku kian yakin, aku nggak mau. Tapi kalau kamu mau di sini, ya silakan... itu hak kamu. Cuma maaf, kalau akau nggak bisa.”
Ray mendesah. “Yaaa.... apa kata orang tua kita nantinya, Dan. Katanya kita sahabatan, katanya kita kompak, saat kita mau kuliah di tempat yang sama, malah kosannya beda. Aku maunya bareng. Kita satu kamar. Nggak satu kamar, nggak apa-apa. Minimalnya, satu pondokan.”
“Jujur sama aku, kamu betah di sini?”
“Ya sih.”
“Jujur?”
“Iyya!” seru Ray.
“Jadi... mau kalau kos di sini?”
“Mau saja. Nggak masalah ko. Emang, alasanmu apa?” Ray menatapnya heran. Lalu tubuhnya naik di atas kasur. Sementara Dani menselonjorkan kedua kakinya di atas karpet. “Kalau aku senang di sini, Selain induk semang baik, penghuninya baik dan care... juga di sini... di kamar... perabotannya lengkap. Jadi kita nggak ribet harus bawa dari rumah kita. Atau harus belanja dulu. Kan jadi hemat. Tinggal bawa pakaian saja dan numpang bobo, hehehe.”
“Selama beberapa malam, kamu pernah mengalami kejadian aneh?’ tanya Dani.
Tubuh Ray lalu telentang. Menatap langit-langit kamar.
“Raaaay!” seru Dani gemas. Lalu tangannya mengambil gelas yang berisi air mineral. Diteguknya hingga tandas.
“Apaaa?” tanya Ray tanpa melirik.
“Kamu ngalamin hal aneh nggaaaak... selama tidur di kamar ini... atau selama kita tinggal di pondokan ini?”
“Hal aneh apa? Contohnya?”
“Ah, kamu! Kayak nggak paham saja!” rutuk Dani kesal.
“Hal aneh itu kan banyak! Nggak harus yang berhubungan dengan mistis saja!”
“Aku tanya yang mistis saja!” putus Dani.
“Harusnya rubah pertanyaannya... Raaay... kamu pernah mengalami hal mistis nggak, kala menginap di pondokan ini?” Ray meniru gaya bicara Dani. Dani pun melempar temannya itu dengan gelas plastik yang sudah kosong isinya. Untung tidak mengenai Ray. Namun Ray tertawa. Tubuhnya berbalik ke samping. Menghadap Dani.
“Aku nanya serius!” seru Dani.
“Oke, aku jawab. Nggak pernah tuh! Kenapa? Emang kamu pernah ngalamin?”
“Itulah, Ray... yang membuatku malas kos di sini!”
“Lantaran sempat mengalami?”
“Bukan hanya sempat! Tapi beberapa kali!”
“Ceritakan! Yang jelas, ya biar aku langsung paham dan nggak banyak nanya!”
“Aku mau tanya dulu... waktu aku datang ke kota ini dan coba hubungi kamu, terus gawaimu nggak aktif... itu alasan sebenarnya apa?” Dani balik bertanya dulu. Pertanyaan yang sebenarnya sudah pernah dijawab Ray semenjak pertama Dani tiba di pondokan ini.
“Malah diulang lagi!” ucap Ray. “Kan sudah kujelaskan... tiba-tiba gawaiku hilang. Tapi, pas kamu sudah datang, gawaiku tiba-tiba ada di atas karpet ini, aneh kan? Tapi nggak terlalu kupikirkan. Biar saja. Yang penting ketemu meski telat.”
“Nah, Ray... apa kamu nggak terpikir... kalau itu kerjaan si...”
“Si... siapa? Si Gembel? Si Gembel jangan dibawa-bawa ke sini, Dan! Itu jin piaraan Wak Dulah, biar saja tetap di rumah Haji Jajuli yang kini masih ditempati guru SMK kita. Toh nggak suka ganggu mereka. Palingan menampakkan wujud seramnya pada Fian lewat kaca jendela kamar atas!” Ray malah bercanda.
“Ah, kamu! Aku lagi bahas soal gawai kamu yang sempat lenyap!”
“Kalau kamu beranggapan itu ulah makhluk halus, terserahmu... yang penting sekarang gawainya sudah kembali. Dan juga... aku tak pernah diusik makhluk aneh di kamar ini. Atau di pondokan ini,” ucap Ray sembari menatap wajah Dani.
“Kamu nyenyak tidur sementara aku nggak pernah!”
“Ada penampakan? Atau hanya suara-suara?”
“Keduanya, Ray!”
“Wah, komplit!” seru Ray.
“Bukan cuma itu, Ray... pas awal aku tiba di sini. Tepat depan pintu gerbang pondokan ini, aku lihat sesosok perempuan berambut panjang, berkain putih, tengah mematung dan matanya menatapku.”
“Hiiiiii...” Ray bergidik. Ia bisa bayangkan jika Cika yang melihatnya. Namun, gadis itu belum pernah menceritakannya. Ray menduga, Cika belum pernah mengalami serupa dengan Dani. Bahkan, Cika tak pernah bicara apa-apa yang berkenaan dengan hantu perhantuan.
“Kamu juga pasti takut kalau ketemu sosok itu kan?”
“Untung nggak. Lalu, kenapa waktu itu kamu nggak cerita sama aku atau Cika?”
“Aku telan sendiri. Dan mau kubahas sama kamu kapan-kapan. Dan kini saatnya.”
Ray terdiam sejenak.
“Ada lagi, Ray...”
“Apa lagi? Ko sering sih?”
“Itulah nasibku sial. Kenapa harus aku, kenapa bukan kamu!”
“Sabar, Sob!”
“Pas aku mau buang air kecil malam-malam ke kamar mandi... aku tutup pintunya. Lalu ada yang mengetuk dari luar. Aku tanya, siapa? Nggak ada yang menjawab. Pas aku buka, nggak ada siapa-siapa.”
“Kisah misteri di kamar mandi itu sering menimpamu, ya?”
“Di kamar mandi rumah Bunda Dewi.”
“Kalau yang di kamar mandi rumah Haji Jajuli... bukankah kamu juga?”
“Itu Dirga.”
“Oh, iya...”
“Pelupa kamu ini.”
“Terlalu banyak kisah misteri yang kita lewati.”
“Kalau yang di kamar mandi sekolah kita dulu... Fian.”
“Ko jadi bahas kamar mandi... kita ini, Dan. Tidur yu, aku agak ngantuk nih. Pagi-pagi, ita kan mau pulang, Dan.”
“Oke,” tubuh Dani beranjak. Mematkan lampu. Lalu merebahkan tubuh di samping Ray. Tirai jendela terkuak. Dani kaget. Begitu pun Ray. Mata mereka mengarah ke jendela dan melihat sosok putih itu!***