Kesedihan Indah
UJIAN akhir hari terakhir baru saja usai. Ray dan teman-temannya satu sekolah yang satu angkatan, bisa bernapas lega. Benar-benar merasakan kebebasan meski belum benar-benar usai perjuangan mereka selama menimba ilmu di sekolah itu. Tersebab, masih menunggu pengumuman kelulusan sekaligus nilai-nilai hasil ujian dalam ijazah terakhir mereka.
Pagi itu, hari Kamis. Ray masih berada di rumahnya. Ia tak berencana pergi ke sekolah. Guru wali kelas dua belas masing-masing, memperbolehkan murid-muridnya tidak ke sekolah lantaran ada kegiatan pembelajaran kelas sepuluh dan sebelas.
Ray baru usai makan pagi. Bukan nasi goreng seperti biasa yang sering ibunya buatkan. Namun pagi itu, ia menikmati lembaran roti tawar yang dilapisi selai nenas. Tak lupa, ditemani segelas kopi cokelat yang sudah hangat. Ia sendiri saja di meja makan. Kedua adiknya sudah berangkat ke sekolah.
“Kamu ada rencana apa hari ini, Ray?” tanya ibunya yang baru saja menghampiri.
“Kalau Mama izinkan nih, Ray mau pergi ke Cipanas.”
“Cipanas mana? Garut atau Cianjur?”
“Cianjur, Ma.”
“Ke rumah kakek dan nenek Dani lagi?”
Ray mengangguk. “Ya, Ma. Masih penasaran ingin menghabiskan waktu di sana. Mumpung kelas dua belas kan sudah tak ada kegiatan. Itung-itung refreshing setelah Ray melewati ujian demi ujian. Mana ujian tulis, lisan, dan juga praktek. Membutuhkan pikiran, tenaga, dan juga waktu. Apalagi... waktu liburan semester, di Cipanas... liburannya nggak puas, lantaran keburu dijemput suruhan Abah.”
“Mama sih boleh-boleh saja. Asal nggak merepotkan keluarga Dani di sana.”
Ray menggeleng. “Mereka... baik banget. Makanya Ray ingin ke sana lagi. Bawa oleh-oleh buat mereka, ya Ma? Nenek Dani suka wajit Cililin.”
“Iya. Kalau waktu itu kamu betah, kenapa ke Banjarnegara? Mendingan... di Cipanas saja, lebih asyik tuh kalau liburan di sana. Mana dekat puncak lagi. Mama juga jarang-jarang ke sana.”
“Hmmmm, kan dijemput suruhan Abah lah, Ma!” decak Ray. “Terus, teman-teman mau banget ke Jawa Tengah. Apalagi Abah janji menaggung semua biaya transport dan lainnya. Pasti lah teman-teman Ray senang dan ingin segera ke sana. Terlebih Dirga dan Fian yang sebelumnya jarang-jarang liburan ke tempat jauh.”
“Mau berapa hari rencanamu di Cipanas?”
“Paling tiga hari karena abis tiga hari, kelas dua belas diminta berkumpul lagi di sekolah.”
“Kamu mau pergi ke sana sama Dani saja?”
Ray menggeleng. “Nggak berdua, Ma. Biasa lah. Dirga dan Fian ikut. Dirga juga mau bawa motor. Rencana, Ray dan mereka pergi nanti sore.”
“Mama ke pasar dulu, mau belanja buat keperluan dapur minggu ini. Sekalian beli wajit, angleng, dan lamaya, ya?” Ratna siap-siap hendak pergi. Ray mengangguk. Lalu, ia menuju kamarnya, mengambil gawai dan bertelepon dengan Dani. Memastikan kepergian mereka. Tepat pukul empat sore, semua berkumpul di rumah dan berangkat dari sana.
Ray pun bersiap-siap membereskan pakaian lalu dimasukkan ke dalam tas ransel. Gawainya berdering. Dengan malas, lantaran lagi sibuk beres-beres, ia mengangkatnya. Cika yang menelepon. “Ada apa, Cik?”
“Kamu di mana?” Cika balik bertanya.
“Di rumah.”
“Nggak ke sekolah?”
“Nggak,” jawab Ray pendek.
“Bisa ke sini?”
“Ke rumahmu?”
“Bukan! Ke rumah Bunda Dewi!”
“Oh, kamu menginap di situ lagi?” tanya Ray. Semenjak pagi kemarin, Ray nyaris lupa dengan keberadaan Indah di rumah Bunda Dewi karena di sekolah sangat sibuk. Begitu pun dengan Dani. Ia sama sekali tak menanyakan mengenai Indah. Bahkan, Ray dan Dani pun lupa jika Cika sempat menemani Indah di sana malam sebelumnya.
“Ya, kebetulan aku belum ke Jatinangor lagi. Terus, Indah minta ditemani. Bunda Dewi ko belum pulang juga, ya... ditelepon nggak juga diangkat. Aku juga jadi bingung harus terus di sini. Mana Mama nelepon lagi. Aku takutnya Mama datang ke rumah Bunda Dewi dan ketemu Indah. Nanti dia tanya... Indah itu siapa, aku harus bilang gimana, coba?”
Ray menghela napas. “Sebentar lagi aku ke situ. Mau beres-beres dulu dan nunggu Mama pulang dari pasar.”
“Oke, aku tunggu, ya? Jangan sampai nggak ke sini. Penting banget, lho!” ucap Indah. Ray mengiyakan. Lima belas menit kemudian, Ratna datang. Ray membantu membereskan belanjaan ibunya. Memasukkan ke dalam lemari pendingin, sebagian ke dalam lemari dapur. Oleh-oleh buat neneknya Dani, dipisahkan. Disimpan di bawah meja makan.
Ratna keluar rumahnya. Ray berteriak. Ratna minta Ray menunggu. Ray pun mendecak kesal lantaran ia harus segera ke rumah Bunda Dewi. Namun, Ratna tak menghiraukannya padahal Ray sudah menjelaskan hendak keluar rumah untuk suatu keperluan. Hampir setengah jam, Ratna belum juga kembali. Ray pun tak tahu ibunya pergi ke mana. Mau ditelepon, gawai ibunya malah tertinggal di meja tamu.
Akhirnya, Ray menelepon Cika dan minta menunggu beberapa lama. “Nunggu Mama.”
“Ray, semalam aku dan Indah mendengar suara-suara seperti malam sebelumnya.”
“Suara apa?”
“Banyak, Ray.”
“Banyak itu... apa saja?” desak Ray.
“Bunyi kursi yang digeser-geser. Bunyi langkah bersepatu tengah mondar-mandir. Bunyi yang mengguyur air di kamar mandi. Bunyi yang mengetuk pintu. Nah, itu, Ray!”
“Hemmm... ko banyak banget sih yang didengarnya? Rombongan gitu!”
“Ya, Ray... kayak teror saja!”
“Kira-kira, siapa yang melakukannya?”
“Maksudnya?”
“Siapa yang menggeser-geser kursi atau yang melangkah bersepatu... atau yang mengguyur air... atau yang mengetuk pintu... itu siapa?”
Cika mendecak. “Ya... nggak tahu! Yang pasti bukan manusia!”
“Kalau bukan manusia... emang siapa?” Ray kian gencar menggoda saudara sepupunya meski ia cukup percaya pada Cika yang bisa menguasai dirinya dalam melawan rasa takut.
“Hantu! Siluman! Jin! Pokoknya bangsa selain manusia!” jelas Cika. Ray cekikikan sendiri.
“Ko malah ketawa sih!” Cika jengkel. “Bukannya cepet ke sini!”
Ray menghentikan tawanya. “Nunggu Mama! Aku juga kesal menungu dari tadi!”
“Ke mana sih Tante Ratna?”
“Nggak tahu!” seru Ray. “Jadi, kamu minta aku datang ke rumah Bunda Dewi... agar kamu bisa cerita suara-suara aneh yang mengusikmu dan Indah tadi malam dan malam-malam sebelumnya?”
“Salah satunya itu! Tapi ada yang jauh lebih penting!”
“Apa tuh? Soal perasaanmu sama Dani? Atau kau dan Indah tengah bersaing menjadi pacar Dani?” goda Ray.
“Raaaaay, aku serius!” suara Cika meninggi. “Masalah Indah! Dia gelisah terus karena takut Wak Dulah datang! Karena dia tahu, laki-laki tua itu mendesakmu untuk bilang di mana Indah berada. Juga Indah teringat orang tuanya yang pasti kebingungan mencarinya. Meski Indah marah sama ibunya, tetap dia merasa bersalah telah minggat.”
Ray menghela napas berat. “Nggak ada telepon lagi dari Abah. Dan soal Indah...”
“Gimana?”
“Mama udah datang. Aku ke situ sekarang!” Ray lalu mematikan gawainya. Pamit pada ibunya. Dalam sepuluh menit, motor yang membawanya sudah tiba depan rumah Bunda Dewi.
“Indah lagi beres-beres di dapur,” Cika menyambut Ray di beranda setelah Ray memarkir motor.
“Nggak kamu bantu?” tanya Ray.
Cika menggeleng. “Nggak. Aku tadi bantu bikin sarapan saja. Kalau beres-beres dapur yang berantakan gitu, akuuu... nggak mau, ah, hehehe.”
Ray merogoh gawainya yang berdering. Sesaat ia bicara dengan penelepon. Bunda Dewi mengabarkan baru bisa pulang besok pagi. Ia pun minta Ray atau Cika menemani Indah sekaligus menjaga rumah.
Cika dan Ray saling berpandangan sembari keduanya mengendikkan bahu. “Kamu mau menemani lagi Indah malam ini, Cik?”
“Mama tadi menelepon minta aku pulang dan biarkan Bunda Dewi sendiri karena Mama pikir aku menginap karena menemani Bunda. Mama bilang, Om Fajar saja sama Tante Nadya yang menemani Bunda. Aku jadi bingung, kalau aku iyain... nanti Om dan Tante muncul dan tahu Bunda nggak ada di rumah.”
“Untung Mama kamu nggak telepon Bunda, ya?”
“Ya, Ray. Masalahnya sekarang yang jadi masalah kian rumit karena Indah tak tenang hatinya.”
“Nggak tenang tapi dia masih bisa bersih-bersih dapur, ya?”
“Tapi pikirannya nggak menentu. Dia tampak cemas terus. Bungung juga. Serba salah juga. Aku jadi ikut-ikutan bingung. Tadinya, mau kuajak saja ke Jatinangor, tinggal di kosanku. Tapi kupikir lagi, aku nggak bisa menjamin untuk makan dia bagaimana. Duh, jadi pusing gini, Ray.”
“Hemmm, Cika... bisa semalam ini saja, kamu temani lagi Indah ‘kan? Besok pagi kan Bunda pulang jadi kamu bisa pulang ke rumahmu,” kata Ray dengan suara pelan. Cika terdiam. Ray pun ikut terdiam.
“Gimana, Ray?” Cika mengagetkan Ray yang sesaat melamun.
“Gimana apanya, kamu bisa kan semalam lagi di rumah ini?”
Kepala Cika menggeleng. “Mama minta aku pulang. Kalau nggak pulang sore ini, Mama mau jemput ke sini. Barusan dia wapri.”
“Duh!”
“Kamu saja di sini! Ajak Dani dan temanmu yang lain! Bunda kan baik dan bolehin habisin makanan di kulkasnya!”
“Sore ini aku mau ke Cipanas Cianjur.”
“Puncak?”
“Ya!”
“Wis, asyiiiik! Aku mau ikut!”
“Hemmm, yang pergi semua cowok!”
“Dani juga?”
“Ya, sama Dirga dan Fian. Makanya aku minta kamu temani Indah. Tapi, Mama kamu yaaaa?”
“Ya, Ray!”
“Kalau begitu, apa Indah aku ajak saja ke Puncak, ya?” ucap Ray.
Cika kaget. “Dasar kamu! Aku mau ikut, nggak boleh! Alasan yang pergi semua cowok! Tapi, Indah mau kamu ajak! Jangan-jangan, kamu memang suka sama Indah, ya?”
Ray melirik. “Bedanya, Indah dalam masalah! Dia lagi nggak aman dan layak kita tolong!”
“Tapi... nggak harus kamu ajak serta ke Puncak ‘kan, Ray!” seru Cika dengan wajah mendadak kesal. Indah muncul sembari membawa dua gelas minuman hangat. Tersenyum melihat Ray. Meski di mata Ray, wajah Indah digelayuti mendung. Indah meletakkan dua gelas di meja. Lalu, ia ikut mengobrol. Tengah asyik mengobrol, gawai Cika berdering. Ibunya minta segera pulang dan tak menunggu sore. Cika pun terpaksa pergi. Meninggalkan Indah berdua saja dengan Ray.
“Aku, Dani, Dirga, dan Fian... sore ini mau pergi ke Cipanas, Ndah.”
“Aku sama siapa di rumah, Ray?” Indah tampak cemas.
Ray menghela napas. “Aku juga bingung, Ndah.”
“Apa... aku ikut kalian saja ke Puncak?”
“Tadinya begitu...”
“Terus?”
“Tapi, nggak jadi deh!”
“Kenapa?”
“Setelah aku pikirkan lagi, itu bukan solusi. Kalau tiba-tiba Abah meneleponku dan tanya mengenai kamu lagi, gimana tuh?” Ray melirik pada Indah. “Sementara, pada saat... kita tengah bersama.”
Indah terdiam. Dirundung bingung, bersamaan dengan bunyi nyaring gawai Ray. Memecah keheningan yang mewarnai mereka. Wak Dulah menelepon. Lagi-lagi meminta Ray mengatakan dimana keberadaan Indah lantaran Wak Dulah yakin Ray tahu. Dan Dani pun orang pertama yang terlibat. Indah ada di kota kelahiran Ray lantaran awalnya hendak menyusul Dani dan memohon bantuan pada Dani. Hingga Dani beralih meminta bantuan pada Ray. Ia berusaha menjelaskan.
“Sebaiknya, kamu jangan menyembunyikan Indah, Ray! Sudah berulangkali Abah peringatkan, Indah itu calon istri Abah!” ucap Wak Dulah tegas dengan suara keras. Hingga d**a Ray berdegup kencang lantaran takut. Keringat pagi membasahi bajunya. Keluar dari tubuhnya.
“Kalau kamu tetap bersikeras tak mau berterus terang, Abah akan bertindak keras. Bukan padamu, karena kamu anak Abah, tapi pada temanmu yang bernama Dani, yang sudah berani-beraninya mempengaruhi Indah untuk minggat dari rumahnya!” ucap Wak Dulah lagi.
“Da-da-daniiii... nggak pernah mempengaruhi Indah, Bah!” ucap Ray berusaha membela sahabatnya. “Dani hanya berniat menolang Indah!”
Di samping Ray, Indah menundukkan wajahnya. Hatinya benar-benar sedih mendengar perbincangan antara Ray dengan Wak Dulah. Teringat nasibnya yang hendak dijodohkan dengan laki-laki tua.
Ray mematikan gawainya. Wajahnya bingung. Tangannya menopang dagu. Minuman yang dihidangkan Indah tak menarik air liurnya. Tubuhnya lalu berdiri. Menghampiri motor. Ia pun berlalu tak memedulikan tatapan sedih mata Indah. Gadis itu pun menangis lirih. Ia sadar telah merepotkan banyak orang.
Di rumah Ray, Ratna sudah dari tadi menunggunya. Perempuan itu marah pada Ray. Ratna sudah mendapat telepon dari Wak Dulah. Ratna minta Ray jujur. Ray pun pada akhirnya menuturkan semua. Ia minta maaf pada ibunya. Ratna meminta Ray mengantarkan Indah ke kampung halamannya. Sekaligus silaturahmi dengan keluarga ayah Ray di sana.
Sore hari, Ray dan ketiga temannya sudah berada depan rumah Bunda Dewi. Indah sudah siap. Tasnya pun sudah dijinjingnya. Raut mukanya masih sedih. Ray meminta Dirga yang membonceng Indah. Ray tak membonceng siapa pun. Dani membonceng Fian. Tiga motor melaju menembus perjalanan Bandung Garut.
Di perjalanan, Bunda Dewi menelepon Ray. “Ray, kalau Bunda angkat Indah... menjadi anak Bunda... gimana?”***