Ray Mulai Mengerti

2186 Kata
Ray Mulai Mengerti DUA minggu berlalu semenjak kembali berlibur dari Jawa Tengah. Sesekali, Ray termenung jika sudah tiba di rumah. Malah, ia acap mengurung diri di dalam kamar. Tak lagi menghabiskan sepenggal malam di ruang keluarga dengan ditemani laptop atau siaran televisi. Terkadang, ia tertidur di kasur lipat yang tergelar di atas karpet. Ray memikirkan batu pemberian Wak Dulah. Si merah delima atau mirah delima. Batu untuk orang-orang pilihan, begitu yang pernah diucapkan Wak Dulah. Ray pun sempat memegangnya dengan sangat bangga terlebih ketika laki-laki tua itu melisankan jika batu itu dipersembahkan untuk Ray. Batu milik Wak Dulah yang diturunkan untuk Ray, sebagai generasi kepercayaan. Namun, batu itu hanya sekejap berada dalam genggaman Ray lantaran tiba-tiba raib tak tentu rimbanya. Ray tak habis mengerti kenapa mirah delima itu hilang. Ia pun tak punya keberanian bertanya pada Wak Dulah kendati sebatas dalam telepon. Pintu kamar Ray, diketuk perlahan. Ibunya yang mengetuk seraya memanggil nama Ray. Dengan malas, Ray beranjak dari tempat duduknya. Lalu menguakkan pintu dan kembali duduk. Ratna masuk dan duduk di samping Ray. “Tak lagi mengerjakan tugas?” tanya Ratna sembari matanya melirik pada laptop yang tak menyala. Tak seperti biasanya. Biasanya, saban malam, laptop Ray menyala. Entah mengerjakan tugas dari sekolah atau pun mencari berbagi informasi, pengetahuan dalam internet. “Lagi nggak ada tugas, Ma. Kan sekolah di awal semester genap baru dua minggu ini. Jadi, belum ada tugas,” jelas Ray seadanya. “Abis kuota internetmu?” tanya Ratna. “Mau Mama kasih uang buat beli paket internet sebulan, biar laptopmu bisa kaugunakan terus untuk menjelajah dunia?” Ray menggeleng. “Masih ada, Ma. Tapi Ray lagi nggak pingin buka internet di laptop. Kan di hape juga bisa.” Ratna tersenyum bijak. “Kamu ada masalah di sekolah?” Ray menggeleng. “Mungkin sama teman-temanmu?” pancing Ratna. “Maksud Mama?” Ray tak mengerti. “Ya, barangkali kamu lagi ada cekcok atau berselisih paham sama teman-teman sekelasmu,” ucap Ratna meski ia tahu betul Ray bukan tipikal remaja yang suka mencari masalah. Bahkan, cenderung menghindari perselisihan dan acap mengalah. Ray lebih banyak diam atau sekalinya berucap, maka ia akan memberikan solusi mencerahkan. “Nggak banget.” “Dani, apa kabar?” “Baik.” “Dirga… Fian?” “Mereka semua baik. Mama hanya tahu nama teman Ray ya itu-itu saja,” Ray tersenyum tipis. “Soalnya mereka cukup dekat sama kamu meski nggak sekelas. Kamu pun dikit-dikit suka sebut nama mereka kalau Mama denger kamu lagi ngobrol sama kedua adikmu.” “Benar.” “Apa… kamu ada masalah dengan mereka atau salah satu dari mereka?” Ray mendecak. “Duh, Mama ini… apaan sih? Ray nggak pernah ada masalah sama siapa pun kecuali mereka yang mungkin merasa ada masalah. Apalagi sama Dani, Fian, dan Dirga… jauh-jauh deh tuh masalah! Meski kami kadang ribut dikit, tapi ribut yang wajar-wajar saja, banyakin becanda. Ngapain sih bikin masalah… ribet banget! Ray paling nggak suka… tau!” Ratna kembali tersenyum. Tangan kanannya mengelus rambut Ray. “Mama percaya sama kamu, Ray. Mama hanya menduga-duga, kalau-kalau… syukurlah jika memang tak ada apa-apa.” “Emang nggak ada apa-apa kalau sama mereka ataupun teman yang lain. Teman Ray kan banyak bukan cuma mereka berempat.” “Boleh Mama tanya?” “Silakan.” “Kenapa sering mengurung diri di kamar? Nah, itu yang bikin Mama jadi tanya-tanya ada apa.” Ray menghela napas. Ia ingin mengungkapkan perihal mirah delima tapi itu berat diucapkan. Lantaran, ia pun tak yakin jika ibunya tahu perihal itu. “Kamu seperti itu setelah pulang dari berlibur.” “Ya, sih Ma. Memang, ada yang lagi Ray pikirkan.” “Kalau bukan masalah dengan teman-temanmu terlebih temanmu yang tiga orang itu… apa mungkin ada hubungannya dengan Wak Dulah?” ucap Ratna berusaha menduga-duga. “Ya, Ma,” jawab Ray pendek. Ia ingin mengatakan yang sebenarnya. Perihal merah delima. Namun ragu. Katakan, jangan, katakan, jangan. Ia berpikir keras. Jangan, katakan, jangan, katakan, jangan. Katakan, jangan, katakan. Kalau kukatakan, mungkin saja Mama bisa memberikan jawaban, pikirnya kemudian. Setidaknya Mama lebih banyak tahu mengenai kehidupan Wak Dulah meski berasal dari cerita Papa. Ray terus berpikir dan menduga-duga. Akhirnya, ia memutuskan untuk mengatakan pada ibunya. Biar pikirannya leluasa. Setidaknya, tak ditelan sendirian. Ratna menanggapi cerita Ray dengan antusias. Setelah Ray selesai bercerita, Ratna menghela napas panjang. “Mama pernah dengar cerita merah delima dari Papa.” “Papa tahu merah delima juga?” “Ya, tahu.” “Papa pernah melihatnya?” “Pernah. Bahkan pernah memegang lalu menggenggamnya.” “Dari mana Papa dapat merah delima itu? Apa dari Wak Dulah juga.” “Ya, Ray.” “Sudah lama?” Ray jadi penasaran. “Nggak tahu kapan tepatnya. Papa cerita ketika kamu masih duduk di SD kalau tak salah.” “Wak Dulah memberikan pada Papa?” desak Ray ingin tahu lebih jauh. “Ya, Ray. Wak Dulah yang kasih. Bukan Papa yang minta. Malah, sebelumnya pun, Papa tak tahu jika ada batu bernama merah delima atau mirah delima,” jelas Ratna. “Seperti hal yang kamu alami. Wak Dulah pernah memberikannya. Papa menyimpannya dalam lemari setelah dibungkus dengan kain putih. Atas perintah Wak Dulah. Lalu, tiba-tiba batu itu lenyap ketika Papa hendak melihatnya lagi.” “Sama kejadiannya seperti Ray… hilang di dalam lemari?” “Ya, sama persis. Dibungkus kain putih,” Ratna menegaskan sekali lagi. “Apa mungkin merah delima yang pernah diberikan pada Papa… itu sama dengan yang Ray terima?” Ratna mengangguk. “Pasti.” “Aneh,” cetus Ray pelan. “Tidak aneh, Wak Dulah memang seperti itu.” “Maksudnya?” “Maksudnya, dia suka kasih merah delima sama orang, suruh dibungkus pakai kain putih dan disimpan di tempat tersembunyi, tapi ketika orang yang diamanati hendak mengambilnya kembali, tetiba batu itu tak ada di tempat semula.” “Ray tak habis mengerti.” “Seiring waktu kamu akan mengerti. Sekarang juga, kamu bisa mulai mengerti. Apa artinya…” “Berarti Wak Dulah membohongi Ray?” Ray menatap ibunya. Ada rasa sesal menyelusup dalam hati akan sikap Wak Dulah jika memang cerita ibunya itu benar. Namun, ia yakin, ibunya tak mungkin berdusta. Apalagi, sumber cerita bukan hanya dari ibunya. Namun dari ayahnya juga. Ayahnya jelas memiliki hubungan darah dengan Wak Dulah. Ayahnya anak kakak Wak Dulah. Anak kakeknya Ray. Wak Dulah itu paman ayahnya Ray. Lantaran banyak orang memanggil ‘Wak’ pada laki-laki bernama Abdullah itu, maka ayahnya Ray pun memanggil sebutan yang sama. Termasuk istrinya, ibunya Ray. Termasuk anak-anaknya. Ray, Mia, dan Rayna. Bahkan, Ray pun sudah terbiasa jika lidahnya memanggil ‘Wak’ ketimbang ‘Kakek’. Hanya, saat liburan, akhirnya Ray mulai membiasakan memanggil ‘Abah’ atas permohonan laki-laki itu. Dan Ray pun meluluskan permintaannya. Demi membuat hati laki-laki itu senang. Ray menyadari, Wak Dulah sangat menyayanginya. Juga begitu besar perhatian. Lalu, kini ia tahu jika Wak Dulah mendustai perihal merah delima. Kenapa? Dan kenapa? Ia benar-benar tak habis mengerti. “Berbohong atau tidak… kamu bisa menyimpulkan sendiri.” Ray terdiam untuk beberapa saat. Ratna menyentuh bahu Ray. “Kamu nggak usah larut memikirkan itu, Ray. Merah delima bukan sesuatu yang harus kamu pikirkan. Biar saja, orang-orang yang berminat di bidang mistis… yang memikirkannya. Kita mah hidup dalam pemikiran normal. Jangan terbawa-bawa soal-soal begitu. Nggak ada gunanya, Ray. Apalagi kamu masih status pelajar. Tugasmu, belajar sungguh-sungguh. Kamu sudah kelas akhir di SMK. Sebentar lagi ujian akhir. Kamu harus persiapkan rencanamu jika sudah keluar dari SMK. Itu yang terpenting. Bukannya malah mikirin merah delima.” Ray pun menghela napas. Ia mencoba mencerna semua ucapan ibunya. Lalu perlahan kepalanya pun mengangguk. “Baiklah, Ma. Ray akan lakukan apa yang Mama ucapkan.” “Kan demi kebaikanmu juga.” “Ya, Ma.” “Tadi kamu nggak mau makan malam bersama. Sekarang, kamu makan malam dulu sana! Ada pepes ikan mas kesukaanmu!” “Ray nggak lapar, Ma.” “Jangan biarkan perutmu kosong! Makan malam itu penting! Nanti tidurmu tak lelap kalau belum makan!” ujar Ratna cerewet. “Atau... mau Mama ambilkan ke sini, ya?” Ray gegas menolak. “Nggak usah, Ma! Ya, Ray ke ruang makan, tapi sepuluh menit lagi, ya? Ray mau telepon dulu Dirga. Ada perlu.” Ratna mengiyakan. Lalu beranjak dan keluar dari kamar anaknya. Sekitar sepuluh menit, Ray bicara di telepon bersama Dirga. Ia pun menuju ruang makan dan makan sendiri karena ibu dan kedua adiknya sudah makan sebelumnya. Usai membasuh tangan, Ray menuju kamarnya lagi. Gawainya berbunyi. Diangkatnya. Telepon dari Fian. “Aku di rumah sendirian.” “Keluargamu pada ke mana?” “Selepas magrib, mereka semua ke rumah saudara di kampung sebelah karena mau hajatan.” “Lalu, kenapa kamu nggak ikut?” “Ah, Ray… ya karena nggak diajak lah!” “Kenapa nggak minta ikut?” “Jangan cerewet, Ray. Aku telepon kamu bukan mau bahas alasan aku nggak ikut. Tapi, mau minta kautemani di sini!” “Temani ngobrol saja?” “Bukaaaan itu saja! Tapi temani tidur.” “Di rumahmu?” “Iya!” Fian jadi kesal. “Emang di rumah Haji Jajuli?” Ray pun ngakak. Ia paling suka menggoda Fian sampai marah. Sebabnya, Fian terkadang mudah meledak-ledak dan mudah terpantik. “Jadi, kamu minta aku datang ke rumahmu… lalu menemanimu ngobrol terus tidur di kamarmu, begitu?” “Iya!” seru Fian. Ia terdengar gemas. “Kalau kamu nggak ada teman tidur, kenapa nggak kamu saja yang datang ke rumahku? Dan menginap di sini. Aku juga tidur sendiri, ko. Pasti senang kalau kamu temani.” “Aslinya, aku jengkel sama kamu, Ray! Kalau di rumahmu, jelas ada ibu, kedua adikmu, mungkin ayahmu pulang… jadi kamu nggak sendirian di rumah! Beda denganku… di rumahku nggak ada siapa-siapa selain aku! Mengerti?” Ray tertawa lagi. “Oke, aku meluncur sekarang!” “Naaaaah, itu maksudku!” “Kamu sudah makan malam?” Fian mendesah dan terdengar di telinga Ray, seperti memelas. “Belum, Ray.” “Kenapa?” “Mmmm, hanya nasi…” “Mau kubawakan pepes ayam buatan Mamaku?” Ray menawarkan. “Mauuuuuuuuu!” Fian mendadak girang. Ray kembali tertawa. Ia mematikan gawai. Lalu mengambil jaket biru yang tergantung di kapstok belakang pintu kamar. Dipakainya untuk melapisi kaus putih yang tak tebal. Gawainya dimasukkan ke dalam saku jaket. Lalu ke ruang makan. Sesaat, memanggil ibunya. Ratna yang sudah masuk kamar, keluar lagi dan menuju ruang makan. “Ma… Ray mau menginap di rumah Fian, ya?” “Tumben.” “Dia sendirian.” “Keluarganya pada ke mana?” “Pergi dan mau menginap katanya.” “Oh, ya. Silakan saja, biar kamu nggak termenung sendirian. Tapi sekarang hampir jam sembilan.” “Ya, Ma. Mmm… mau minta pepes ikan mas buat Fian.” “Sebentar,” Ratna membuka lemari makan. Mengambil bungkusan kecil pepes ikan mas. Lalu dimasukkan ke dalam tas plastik hitam. “Sama nasinya?” “Nggak usah.” Ray menerima plastik hitam yang diberikan ibunya. “Mama tadi lupa mau tanya sesuatu padamu. Tapi, besok saja.” “Sekarang saja, Ma. Ray jadi penasaran.” “Wak Dulah sempat membujukmu untuk tinggal bersamanya?” pancing Ratna. Ray mengangguk. “Kamu jawab gimana?” “Entah kenapa, waktu itu Ray mendadak mau menerima. Dan membatalkan kepulangan Ray ke sini. Untung, Dani balik merajuk biar Ray pulang saja. Kalau bukan karena Dani, mungkin saja Ray terbujuk, Ma. Aneh, ya… ko Ray kayak nurut saja apa yang diucapkan Abah?” “Lidah dia terkadang manjur. Sudahlah, besok malam kita ngobrol lagi. Sekarang, ayo ke rumah temanmu mungkin dia nunggu-nunggu kamu,” ucap Ratna seraya mengantar Ray hingga depan pintu rumah. Ray tiba depan rumah Fian yang sepi. Lalu mengetuk pintu. Fian gegas membukanya. Ia senang tahu Ray membawa pepes ikan mas. Langsung makan dengan nasi di meja makan. Ray menunggu di kamar Fian hingga temannya itu beres makan. “Kalau makan ikan suka cepet ngantuk biasanya,” kata Fian lalu membaringkan tubuhnya di samping Ray yang sudah terbaring. “Emang, mataku juga sudah agak-agak ngantuk nih,” jawab Ray. “Padahal tadinya pingin ngobrol dulu.” “Ya, ngobrol saja dulu, Ray. Kalau udah nggak tahan mengantuk, tidur saja.” Ray tak lagi memikirkan perihal merah delima setelah mendapat penjelasan dari ibunya. Ia pun tak berharap lagi pada Wak Dulah. Sedikitnya, ia mulai tahu karakter Wak Dulah yang sebenarnya dan terkadang suka memberi janji palsu. Satu jam kemudian, Ray pun tertidur. Di samping Fian yang juga mulai tertidur. Lelap. Pengaruh makan pepes ikan mas. Namun, sekitar pukul dua belas lebih, mata Ray terkuak. Ia terjaga dengan seketika. Dalam gelapnya ruangan kamar yang sempit, matanya tak bisa melihat apa-apa. Hanya telinganya mendengar suara dari atas genting rumah Fian. Seperti butiran pasir yang dilemparkan merata. Siapa yang berulah? pikir Ray. Tetiba, ia teringat dengan cerita Fian mengenai jin penunggu rumah Haji Jajuli yang kini dikontrak oleh Bu Sri dan Pak Rahman. Si Gembel nama jin itu. Bahkan, Fian pernah melihat wujudnya yang berdiri di balik jendela ruang atas rumah tua itu. Tinggi, besar, dan hitam. Menakutkan.***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN