Istri-istri Wak Dulah
BERULANG kali, Ray menelepon Wak Dulah, tapi tak juga diangkatnya. Ray mengeluh pendek. Entah harus bagaimana cara menghubungi laki-laki tua itu. Biasanya, jika sudah dihubungi berulang kali, laki-kali itu akan balik menghubungi. Namun, ditunggu hingga malam, Ray harus menelan kekecewaan. Apa mungkin Wak Dulah sengaja menghindar? Apa lantaran Wak Dulah tahu apa yang hendak dikatakan Ray? Begitu pertanyaan berkelebat dalam pikirannya.
“Kenapa Ray, ko dari semenjak sore tadi kamu tiba di rumah, Mama perhatikan… kamu ko gelisah sekali?” Ratna menghampiri Ray yang tengah duduk sendirian di sofa. Televisi yang menyala, dibiarkannya tanpa ditonton sedikit pun.
“Mmmm, Ray menelepon Abah berulang kali, Ma…”
“Lalu?”
“Tapi Abah nggak juga mau mengangkatnya. Nggak seperti biasanya.”
“Barangkali, Wak Dulah lagi sibuk.”
“Sesibuk apa pun, dia mau menerima… kalau Ray yang telepon. Malah, kalau tahu Ray sampai beberapa kali mencoba menghubunginya dan belum sempat dia angkat, Abah suka telepon balik kalau sudah senggang waktu.”
“Nah! Berarti, Wak Dulah memang belum sengang, Ray! Tunggu saja, dia pasti balik meneleponmu kalau menurut Mama!”
Ray mengangkat bahu. “Masa sih, Ray nggak yakin, mungkin kayaknya dia sengaja nggak mau menerima telepon.”
“Apa alasannya?” Ratna lalu duduk di depan Ray.
“Sepertinya, dia tahu apa yang hendak disampaikan Ray.”
“Emang dia Tuhan, Ray? Karena hanya Tuhan Yang Maha Tahu Segalanya.”
“Selama ini, dia sering seperti itu, Ma. Terkadang tahu apa yang sedang Ray lakukan.”
Ratna tersenyum tipis. “Itu kan baru ‘terkadang’, bukan seterusnya. Dan itu, hanya kebetulan. Menebak-nebak… dan tebakannya tepat.”
“Tapi, Abah sering menebak tepat.”
“Ya, sih. Tapi dia tetap bukan Tuhan. Hanya ciptaan Tuhan. Kamu pun jangan terlalu menganggapnya berlebihan.”
“Ray nggak berlebihan, Mama!” sergah Ray tak menerima. “Hanya mengatakan yang sebenarnya.”
“Kalau terkadang tebakan Wak Dulah tepat, dan menurutmu orang lain tak ada yang seperti Abahmu itu, berarti Tuhan telah memberikan kelebihan padanya, ya alhamdulillah, semoga dengan kelebihan yang dimilikinya itu, Abahmu amanah dan istiqamah,” jelas Ratna.
“Ma… apa mungkin Abah lagi sibuk ritual hingga nggak mau terganggu?”
“Bisa saja, apalagi kalau ritualnya di gua, atau tempat-tempat keramat,” tegas Ratna. “Ada apa sih ko ngotot banget pingin ngobrol sama dia? Kan bisa besok-besok lagi!”
“Ma, boleh nggak Ray mau tanya-tanya sama Mama mengenai kehidupan pribadi Abah?” ucap Ray ragu.
“Kehidupan pribadinya yang mana?” Ratna menatap Ray heran.
“Istri-istrinya,” ucap Ray malu-malu.
“Oh, kamu tertarik mengetahui lebih jauh mengenai istri-istri Abahmu itu?” mendadak Ratna ingin tertawa sembari masih menatap wajah anaknya yang polos.
Ray mengangguk. “Ya, tapi nggak harus mendetail, atau nggak harus tahu jauh lah, yang penting-pentingnya saja. Misal, ada berapa istrinya, siapa-siapa saja, orang mana dan latar belakang sosial istri-istrinya. Ray juga tahu sekilas kalau istri Abah banyak, tapi hanya tahu satu dua orang. Maksudnya yang kenal. Yang lainnya hanya dengar ceritanya.”
“Wak Dulah itu bukan penganut poligami. Tidak terlalu mengarah ke situ. Pernah sih sempat punya istri dua, tapi tak lama. Biasanya Wak Dulah menikahi seorang perempuan, lalu bercerai, menikah lagi dengan yang lain, bercerai, begitu seterusnya. Hanya sama Ibu Dewi Srikanti, memang pernikahannya paling langgeng hingga sekarang, lantaran Ibu Dewi Srikanti itu wanita yang kuat hingga ketika suaminya kerap berganti istri dan dia dimadu, tetap mempertahankan rumah tangganya. Mungkin lantaran hal itu pulalah yang membuat Abahmu pun enggan menceraikannya.”
“Kalau malam ini, Mama punya waktu kan buat Ray…”
“Cerita semua istri-istri Abahmu?”
Ray mengangguk.
“Ya, sebelum Mama mengantuk.”
“Istrinya semua ada berapa?”
“Mungkin maksudmu… Abahmu sudah berapa kali menikah, begitu ya? Kalau pertanyaanmu tadi seolah Wak Dulah beristri banyak.”
“Laaaah, Mama! Orang salah ucap ko malah disudutkan!” Ray mendecak kesal. Ratna balas tertawa.
“Ray, perempuan yang pernah menjadi istri Wak Dulah, setahu Mama… ini yang Mama dengar dari cerita Papa dan saudara Papa…”
“Ada berapa?” Ray tampak tak sabar ingin mengetahuinya.
“Sekitar… lima belas.”
“Haaaaah?” Ray tampak kaget. Lalu ia geleng-geleng kepala.
“Hampir semua masih perawan lho, Ray,” Ratna berusaha menyembunyikan senyum dari Ray karena tahu anaknya itu perjaka yang belum kenal yang namanya perempuan.
“Waaaaah, benar-benar pejantan tangguh tuh Abah!” komentar Ray.
“Lanjutin tidak?”
“Ya, Ray siap mendengarkan dan nggak banyak nanya dulu!” sebelah tangan Ray terangkat dan ujung jarinya menempel di dahi.
Baru sepuluh menit Ratna bercerita, mulutnya mendadak menguap. Rasa kantuk cepat sekali menyerangnya. Ia pun pamit pada Ray untuk ke kamarnya. Ray mendecak. Sembari geleng-geleng kepala. Ia pun beranjak dan masuk kamar. Merebahkan badan. Sesaat menatap langit-lamgit kamar. Ponselnya berdering. Meski malas, diambilnya. Siapa sih yang meneleponnya malam-malam? Ia sedikit menggerutu. Namun, senyumnya terbuat ketika melihat nama Wak Dulah di layar ponsel. Meneleponnya.
“Maaf, Abah baru sempat menelepon balik, Ray. Kamu belum tidur?”
“Abaaaah!” Ray senang sekali. Tubuhnya bangkit dan duduk. Ia tak sabar ingin mengutarakan apa yang mengendap dalam dadanya sejak kemarin malam. Untuk mengingatkan agar laki-laki tua itu membatalkan niat menikahi Indah.
“Kalau kamu sampai berkali-kali menelepon Abah, berarti ada yang sangat penting, ya?”
“Seperti itulah, Bah.”
“Ada apa? Apa mau Abah kirimi uang jajan?” tanya Wak Dulah setengah mencandai Ray.
“Nggak, Bah!” ucap Ray cepat. “Ada yang mau Ray omongin soal lain.”
“Soal apa?”
“Mmm…” tiba-tiba lidah Ray mendadak sulit digerakkan. Tenggorokannya pun merasa tercekik. Mulutnya terkunci seketika. Tak ada lagi suara yang keluar. Ia tak kuasa. Bingung menguasai pikirannya. Juga didera bimbang yang sangat.
“Lho, ko malah diam, Ray?” tanya Wak Dulah mengagetkannya. “Baiklah, mungkin kamu mengantuk ingin segera tidur. Abah juga lelah. Baru turun dari gunung. Bojonegoro, Jawa Timur.”
“Ya, Bah… Ray mengantuk,” ucap Ray tapi suaranya sulit keluar. Hingga yang terdengar hanya helaan napasnya. Matanya pun kian terasa berat. Ingin segera tidur dengan lelap.
“Ray, kalau kamu ingin mengetahui kehidupan pribadi Abah… segeralah tidur. Nanti, dalam mimpimu, kamu akan tahu,” ucap Wak Dulah dan suaranya itu menyelusup ke dalam pikiran Ray. Hingga, tak sadar, gawainya pun terjatuh tanpa sempat dimatikan. Tubuhnya terkulai di atas pembaringan.
Semenjak muda, pemuda bernama Abdullah sudah mengembara ke kampung-kampung lain, malah ke luar kabupaten meninggalkan desa kelahirannya. Ia mulai mendalami ilmu dari satu guru ke guru lainnya. Menyusuri sungai. Mendaki gunung, menuju lembah, menyeberang lautan. Menerobos belantara hutan, seramnya rimba, liarnya hewan, dihadapinya. Ia kian kebal.
Perempuan yang dinikahi pertama kalinya, saat ia perjaka, yaitu Saodah, perawan manis dari kota tahu, Sumedang. Darinya, ia mendapat seorang anak laki-laki. Berkelana ke Cianjur setelah bercerai dari Saodah. Lalu bersua dengan Fatimah, gadis cantik berlesung pipit, perawan yang diperebutkan banyak pemuda desa. Ia menikahi Fatimah tapi tak memiliki anak dari pernikahannya itu. Perjalanannya berlanjut ke Bandung Selatan. Ia sempat dekat dengan beberapa perawan. Namun, hatinya jatuh pada janda cantik seusianya yang sudah punya empat orang anak dari laki-laki lain. Abdullah tak mempermasalahkan status janda yang bernama Mira itu. Ia pun sangat menyayangi keempat anak tirinya. Dari Mira, ia memliki dua orang anak. Namun pernikahannya kandas setelah Mira bersikeras ingin bercerai karena Abdullah sudah dua kali menduakan hati dan perhatian dengan menikahi Tati dan Romlah. Malah, seminggu sebelum bercerai dari Mira, Abdullah didapati sudah menikah dengan janda di Majalengka dan dari perempuan itu mendapat dua anak perempuan kembar.
Pernikahan dengan Mimi, janda Majalengka itu, berujung perceraian. Abdullah berkelana ke Banten, menikahi Narti, perawan berusia empat belas tahun anak saudagar buah rambutan. Dari Narti pun tak memperoleh anak. Abdullah berlabuh di Cibatu, Garut. Menambatkan hatinya pada Tenti, janda berambut pendek kering yang lincah dan sangat menyayangi anak-anak tiri dari Abdullah.
Cukup lama Abdullah menduda pasca bercerai dari Tenti. Ia pun kian mendalami ilmu-ilmu mistis. Ia mulai mencari lagi tambatan hatinya. Beberapa gadis dan janda mendekatinya tapi satu pun tak ada yang memikat hatinya. Muncul perawan berusia tujuh belas tahun, baru lepas sekolah guru. Dewi Srikanti. Dari perempuan itu, ia dikaruniai tiga orang anak perempuan. Bersama Dewi Srikanti, ia merasa nyaman dan tak ada sedikit pun niat meninggalkannya meski pada suatu hari, hatinya kembali terpikat dengan Vonny, janda berkulit putih kelahiran Garut yang mengembara di Jakarta. Dengan ilmu kinasihan, janda itu rela meninggalkan tunangannya yang kaya raya serta masih muda. Balik mengabdi hidup bersama Abdullah meski menjadi istri kedua. Dari Vonny, ia mendapat seorang anak perempuan yang sangat cantik seperti ibunya.
Bercerai dari Vonny. Namun masih bersama Dewi Srikanti yang tabah menghadapi sikap Abdullah. Menahan amarah dan kecemburuan. Tersebab, semarah apapun pada Abdullah, maka semua perempuan tak akan bisa meluapkan amarahnya. Meski amarah itu berkobar dan tak bisa dipadamkan, akan tetapi hanya berkobar kala di belakang Adulah. Ketika di hadapannya, perempuan mana yang kuasa meluapkan amarahnya? Yang ada, berbalik sayang, dan rela menghadapi sikap dan sifat laki-laki itu yang tidak ada duanya dibanding laki-laki lain. Memang! Siapa laki-laki yang berwajah tak tampan, berkulit hitam, tua, bisa menaklukkan banyak perempuan yang diinginkannya. Dan semua perempuannya itu cantik, muda, kaya, bahkan tak sedikit yang terpelajar dan bergelar sarjana.
Ilmu Abdullah kian tinggi. Semua tempat keramat sudah pernah didatanginya. Orang-orang yang ingin menjadi muridnya banyak yang ditolak. Hanya orang-orang tertentulah yang diperkenankan menjadi muridnya. Biasanya, orang yang hartanya berlimpah atau orang yang mendapat kedudukan tinggi atau jabatan. Selain dua hal itu, Abdullah akan menolak dengan tegas. Sekali pun, itu saudara atau kerabat dekatnya.
Kemudian, dari waktu ke waktu, Abdullah akan menikahi perempuan-perempuan yang disukainya. Perempuan yang usianya jauh lebih muda bahkan lebih layak menjadi anaknya lantaran usia perempuan-perempuan itu terkadang seusia dengan salah satu anaknya. Malah ke sininya, perempuan yang dinikahinya itu, usianya terlampau muda.
Ray menghela napas ketika laki-laki berjubah putih usai bertutur. Ray menghitung dengan jarinya. Perempuan yang pernah menjadi istri Wak Dulah. Lalu menghitung anak Wak Dulah. Semua anaknya perempuan. Anak sulungnya yang laki-laki sudah lama meninggal saat usia remaja dan meninggalkan luka yang mendalam di hati Wak Dulah. Ia sangat ingin memiliki anak laki-laki dan harapannya hancur karena anak laki-laki satu-satunya meninggal dunia dan tak bisa menjadi pewaris ilmunya.
Lantaran hal itu pula, Wak Dulah bersikeras hendak mengangkat anak pada Ray. Wak Dulah ingin Ray menjadi anaknya dan mengakuinya sebagai ayah kandungnya. Ia sayang pada Ray. Bahkan, rasa sayangnya terkadang melebihi pada anak-anak perempuannya yang jelas-jelas keluar dari rahim perempuan yang pernah dinikahinya. Wak Dulah acap mengabaikan anak-anaknya itu terlebih yang ibunya sudah bercerai darinya. Namun pada Ray, Wak Dulah malah mengejar-ngejar. Selalu berusaha menemuinya. Minimal menghubungi lewat telepon. Wak Dulah pun sudah berikrar jika Ray bersedia menjadi anaknya, maka separuh harta kekayaan akan diberikan pada Ray.
Ray terjaga malam itu. Tubuhnya bermandikan keringat. Ia merasa baru kembali dari berkelana. Napasnya kentara. Naik turun. Kamar yang gelap. Matanya mengarah pada jendela. Bersamaan dengan bunyi dari kaca itu. Serupa garukan kuku-kuku tajam. Menggetarkan kaca. Lama sekali. Tubuhnya bangkit dan mendekati jendela. Rasa penasaran begitu kuat. Tangannya menyingkap tirai. Dan… seraut wajah menyeramkan tanpa tubuh tengah menatapnya.***