Dilempar Pasir

1572 Kata
Dilempar Pasir GAWAI yang tergeletak di samping laptop, bergetar. Ray melirik sepintas. Ada pesan masuk ke dalam w******p-nya. Diabaikannya. Ia terus mengetik. Mengerjakan tugas teman sekelasnya. Ray anak yang paling rajin di kelas. Setiap tugas, ia yang paling duluan mengumpulkan. Terlebih yang berhubungan dengan tugas yang berhubungan dengan jurusan belajarnya. Teknik Komputer Jaringan. Ray dikenal sangat cerdas. Bukan hanya di kelasnya. Namun di kelas lain. Bahkan guru-guru sudah banyak yang tahu dengan keunggulan Ray. Di kelasnya, ada beberapa teman yang pemalas. Lalu mengandalkan Ray. Ray yang setia kawan dan suka menolong. Balasan dari sikap baiknya itu biasanya berupa tawaran traktiran. Namun, ia acap menolak. Teman-temannya lalu menyelipkan uang alakadarnya di tangan Ray. Kalau uang, Ray suka menerima. Ia kumpulkan di rumah, lalu setelah layak ditabung ke bank, maka ia akan meminta ibunya pergi ke bank. Gawainya bergetar lagi. Ray menghentikan mengetik. Jari kanannya berpindah mengambil gawai, lalu memeriksa pesan-pesan yang masuk. Yang pertama dilihat, pesan dari Dani yang memberitahu tengah berada di rumah neneknya. Dani meminta Ray menemaninya. Dengan cepat, Ray membalas pesan Dani. Ia bilang tidak bisa karena tengah sibuk. Selain itu, ia sendirian di rumah. Ibu dan kedua adiknya menginap di rumah Tante Rita, adik ibunya. Kebetulan Cika, anak semata wayang Tante Rita ada di rumah. Cika, biasanya berada di kota lain. Kuliah dan kos di sana. Pulang dua minggu sekali. Dani tetap memaksa. Ray bilang, mengapa Dani tak mengatakan dari siang sewaktu di sekolah. Jawab Dani, menginap di rumah neneknya dalam situasi mendadak. Tak direncanakan. Tiba-tiba saja, Bu Marsinah menelepon ibunya dan minta ditemani Dani. Ia pun baru tiba. Ray tak membalas pesan itu. Disimpannya kembali gawai di tempat semula. Ia mengambil gelas berisi air putih di sebelah kiri laptop. Lalu meneguknya. Diliriknya jam yang tampak di layar laptop. Pukul delapan lebih dua puluh menit. Gawai bergetar. Ia menduga dari Dani. Didiamkan saja dulu. Lalu melanjutkan mengetik. Terdengar suara pintu diketuk. Tubuhnya beranjak dari karpet. Menuju pintu depan. Membukanya. Dani berdiri. Wajah putihnya menatap Ray. “Kenapa tak kamu balas lagi pesanku?” Dani setengah mengeluh. “Bukan tidak, tapi belum. Ayo masuk!” Ray memersilakan masuk. Kaki Dani melangkah ke dalam. Lalu duduk di sofa. Namun Ray mengajaknya ke ruang tengah. Dani mengikuti. Ray menuju dapur. Mengambil segelas air putih. Tak lupa sepiring goreng pisang yang sudah dingin. Dibawanya ke dalam. Menghampiri Dani. Duduk berhadapan di karpet. “Gorpis,” Ray menyimpan piring di atas karpet. Di sebelah segelas air. Ray dan keluarga biasa menyebut akronim dari goreng pisang menjadi ‘gorpis’. Begitu pun dengan keluarga Dani. “Aku tak mau tidur sendirian di rumah Enin,” nada suara Dani masih serupa keluhan yang tampak sangat malas dan tak bersemangat seperti hendak memikul beban yang amat berat. Ray tersenyum tipis. “Takut? Dasar penakut!” “Mengertilah, beberapa kali aku mengalami pengalaman menyeramkan. Termasuk saat mendengar jenglot berontak di rumah Bi Euis yang dilanjut esok malamnya lebih-lebih... gubuk yang kita duduki melayang-layang di udara.” “Pengalaman di gubuk dekat sungai itu justru paling menakjubkan kan?” “Memang, tapi itu sangat menegangkan bagiku. Bagimu mungkin tidak!” “Ya, samalah. Bedanya aku tak suka mendramatisir keadaan.” “Lalu... kenapa suara garukan di jendela acap mengusikku? Di jendela mana saja. Terakhir kan di rumah dinas sekolah Bunda Dewi.” “Ngomong-ngomong, kamu mau lagi nginep di rumah dinas itu?” “Tidaaaaaak!” Dani dengan cepat menggelengkan kepala. Ray tertawa. “Kan aku temanin? Dirga juga pasti mau kalau kamu yang ngajak.” Dani kembali menggeleng. “Tidak, ah. Ntar kalian pulas, aku yang melek dan diganggu hantu lagi.” “Dan, kan hantunya tak berwujud? Cuma suara marching bell saja ko takut.” “Ya, pasti takut lah. Masa ada orang yang menabuh marchng bell malam-malam.” “Ya, ada lah, itu buktinya yang di ruang seni!” seloroh Ray. “Ya... itu hantu kaaaan?” “Ko kamu suka banget nuduh sama hantu? Siapa tahu bukan?” “Kalau bukan hantu, emang siapa? Tidak mungkin lah anak SD Bina Bangsa yang masuk ke ruang itu malam-malam lalu menabuhnya? Lagipula kan terbukti ruang seni terkunci dan kuncinya ada padaku. Kunci pintu gerbangnya juga.” Ray terdiam sesaat. Lalu mengambil pisang goreng. “Bisa saja itu tikus atau kucing yang menginjak alat itu... makanya bunyi!” “Kalau bunyinya tak beraturan, bisa saja kucing atau tikus! Tapi yang kudengar, bunyinya sangat beraturan! Malah berirama!” “Seperti mengiringi sebuah lagu?” “Ya, kayak kalau murid yang bagian pegang alat itu lagi menabuh, ya gitu... beraturan, apalagi yang udah sering latihan.” “Kira-kira yang terdengar malam itu, menabuh lagu apa tuh?” “Tak jelas sih... kan sayup-sayup. Tapi yang pasti, lagunya bukan lagu yang biasa anak-anak binaanku iringi.” “Mungkin lagu kesenangan mereka saja.” “Mereka siapa?” “Yang menabuh marching bell di ruang seni.” Kuduk Dani merinding mengingatnya. “ Aku ko jadi gemeteran gini, Ray... kalau cerita itu!” “Ya, udah, tak usah!” ucap Ray. Ia paham dengan sifat paranoid Dani. Lalu Ray mulai memakan pisang goreng. Dani pun mau makan. Mereka berbincang sekitar satu jam. “Jadi, kamu... tak mau nemanin aku tidur di rumah Enin nih?” Dani minta kepastian lagi. “Ya, Dan. Sorry, ya... atau kamu saja yang nginep di sini,” putus Ray. “Aaahhh... sama saja bohong. Kan misinya aku nemanin Enin.” Ray terkekeh. “Gimana kalau kamu ajak Fian saja?” Dani baru ingat, Fian salah seorang kawan sekelas, rumahnya berada sekitar sini. Fian bisa saja mau diajak menginap. Apalagi Fian tak punya motor. Sering nebeng ikut motor Ray atau Dani jika pergi atau pulang sekolah meski tak tiap hari. “Ide bagus, tapi apa dia mau?” tanya Dani. “Dicoba saja. Tapi perkiraanku, dia pasti mau ko, mungkin saja malah seneng. Eninmu suka masakin makanan yang enak kan.” “Kalau soal makanan, Eninku paling jempol.” Ray mengantar Dani sampai di teras. “Tumben ibu dan kedua adikmu tidur di rimah Tante Rita?” “Kan ada Cika.” Dani tersenyum. Sejak tahun lalu, ia naksir Cika tapi malu. “Salam sama Cika ya, Ray.” “Hemmm, salam terus tapi tak mau beraksi!” “Hehehe... malu!” “Malu tapi mau!” “Kamu dong yang deketin aku sama dia!” “Nggak ah! Kamu kan suka Indah!” Dani tertawa. “Indah berada di jauuuuuhhhh....” “Kalau kapan-kapan aku ajak kamu ke desa Indah lagi, mau?” Dani tertawa lagi lalu mengiyakan. Ia masih penasaran dengan desa itu lantaran keberadaan Indah dan menepis semua peristiwa misteri menyeramkan di sana. Setelah Dani pergi, Ray masuk lagi. Duduk depan laptop. Ia tak menjelaskan pada Dani, kalau ibu dan kedua adiknya menginap di rumah Tante Rita selain rindu dengan Cika, juga karena di rumah terkendala dengan kamar mandi yang tengah diperbaiki. Malahan kloset baru diganti dan belum bisa digunakan. Ingat itu, Ray jadi sedikit cemas jika tengah malam ingin buang air besar. Kecemasan Ray teralami kala ia tengah lelap tidur, terbangun karena perutnya melilit. Ia keluar rumah sembari tangannya memegang perut. Tadinya hendak ke toilet masjid terdekat. Namun jarak dari rumah tetap dibilang tidak dekat. Ray ingat rumah Haji Jajuli. Di pekarangannya yang sangat luas, ada toilet yang bebas dipakai umum. Tak akan menghabiskan waktu lima menit menuju ke sana. Kakinya yang sudah bersandal berjalan cepat. Tiba depan pintu pekarangan. Pintu yang selalu dibiarkan terbuka karena menghubungkan ke jalan raya. Dan biasa dilalui orang-orang meski bila hari sudah gelap, hanya satu-dua orang saja yang berani melintasinya terutama yang pemberani. Kebanyakan akan memilih jalan lain meski jauh. Apalagi menjelang tengah malam, siapa yang sudi menerobos jalan yang dimiliki Haji Jajuli? Semua sudah tahu, rumah itu bukan hanya angker. Namun di depannya, ada kebun yang acap menjelmakan makhluk tak kasat mata. Ray berusaha menyingkirkan cerita itu demi menunaikan hajatnya yang tak bisa ditangguhkan lagi. Baru saja kakinya melintasi rumah tua yang terkenal menyeramkan, dari atas genting, ada yang melempar pasir ke arah kepala Ray. Ia terperanjat dan menggerakkan dengan cepat kepalanya untuk menghindari pasir yang hampir mengenai kepala bahkan wajahnya. Dan berhasil. Butiran pasir jatuh ke tanah. Ray lalu teringat ucapan ibunya : “Kalau lewat pekarangan rumah itu malam, misal ada yang melemparimu dengan pasir... jangan heran. Itu ulah si Gembel... jin penunggu rumah Haji Jajuli.” Melintas di benak Ray, sosok tinggi besar hitam menakutkan. Ia tak pernah melihatnya. Itu didengar dari cerita ibunya dan juga keluarganya yang lain. Atau Fian. Ya, ia ingat. Fian yang sudah beberapa kali melihat wujud itu meski dari kejauhan. Terlebih rumah Fian yang paling berdekatan. Tubuh Ray bergerak cepat dengan melangkahkan kaki lebar-lebar menuju toilet. Lalu membukanya. Sembari menunaikan hajat, pintu toilet sengaja terbuka lantaran bila ditutup akan gelap karena tak ada lampu di dalamnya. Pandangan Ray ke halaman atau beralih ke kebun yang banyak pohonnya. Sangat gelap. Hanya pohon kelapa yang terlihat menjulang. Ia pun teringat cerita Fian yang pernah melihat ada sosok putih naik ke pohon itu hingga puncaknya. Kala Fian melakukan hal yang sama seperti yang Ray lakukan malam ini; buang air besar. Baru saja beberapa menit berlalu, dari atap toilet ada yang menggelinding ke halaman depan toilet. Halaman yang luas bersemen dan biasa dipakai menjemur padi bila musim kemarau oleh para pegawai Haji Jajuli. d**a Ray sontak kembali terperanjat. Yang menggelinding entah kemana arah selanjutnya. Namun, Ray sempat tahu dan mengenal benda yang menggelinding itu. Serupa batu. Ibunya pun pernah cerita, si Gembel suka juga melempar batu dari ataupun ke arah atap genting. Dalam gelapnya malam, Ray berusaha melawan rasa takut yang muai menerjangnya. Ia membayangkan bagaimana bila tiba-tiba makhluk halus yang satu itu muncul di hadapannya. Bayangan yang mengusik pikirannya tak terwujud sebab akhirnya Ray bisa pulang melewati rumah angker itu dengan selamat. Tak ada lagi yang melempar. Pasir apalagi batu. Ia pun bisa lelap dalam buaian mimpi hingga menjelang pukul tiga dini hari ada yang mengusap kuduknya. Dingin. Bersamaan dengan suara garukan kuku di jendela kamarnya.***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN