Makhluk Jahil
MALAM bergerak lamban. Tubuh ramping Indah terbaring. Ia menggigil. Merasakan dingin yang menusuk-nusuk kulitnya. Tadi sore hujan begitu deras. Terlimpah begitu banyak dari langit. Membasahi bumi. Mengguyur dahsyat. Indah tadi sore pun sendirian. Bunda Dewi pergi ke rumah saudaranya sebelum hujan turun. Indah kesepian dan dihinggapi rasa takut. Ray dan Dani yang berjanji datang menemani, ternyata tak juga muncul batang hidungnya. Tentu lantaran hujan deras.
Sudah tiga sore di rumah Bunda Dewi, Indah sendirian. Awalnya, Indah tak merasakan apa-apa. Termasuk ketika di hari pertama kedatangannya ke rumah ini, Bunda Dewi pamit padanya hendak pergi ke luar. Ia tak merasakan apa-apa. Namun, kala ia melihat sosok perempuan berbaju putih kusam berkelebat masuk ke lorong yang terhubung ke ruang belakang, terlebih usai Indah memastikan sosok itu tak ada. Dari situ, ia mulai didera rasa yang aneh. Ada rasa takut mulai membalurinya. Sosok itu, diduganya makhluk selain manusia. Dan ia sangat yakin tapi ia tak mengatakan pada Bunda Dewi. Juga pada Dani dan Ray.
Dan, malam demi malam, Indah pun melewati kesenyapan yang sangat. Di dalam kamar sendirian. Kamar tengah. Tempat tidurnya ada dua. Ia bebas memelih mau tidur di tempat tidur yang mana. Namun, bukan itu. Ia merasakan aura yang menyeramkan. Serasa ada makhluk lain di dalam kamar. Ia tak melihatnya ataupun sekadar mendengar suaranya. Tidak. Tidak ada. Namun, ia merasakan kehadiran makhluk halus. Sebenarnya, ia ingin mengadukan hal itu pada Ray dan Dani, tapi kedua perjaka itu tak juga muncul. Ia pun tak bisa menelepon mereka karena gawainya tak berkartu. Kartunya dilepas demi menghindari keluarga di kampung menghubunginya. Dani dan Ray pun menghubungi Indah lewat gawai Bunda Dewi.
Tubuh Indah berbalik menghadap dinding. Ia tak bisa tidur. Membayangkan hal yang aneh-aneh. Selimut terbalut di tubuhnya. Mengusir dingin yang masih menggigit kulit tubuhnya. Ia tenang jauh dari kampung halamannya. Jauh dari rumahnya. Jauh dari kedua orangtuanya yang memaksanya mau dinikahi Wak Dulah. Indah ngeri membayangkan laki-laki tua yang dikenal sakti, banyak ilmu itu. Meski laki-laki itu beruang banyak, tapi Indah tak sudi menjadi istrinya. Keputusan untuk minggat dari rumahnya, yang terlintas hanya wajah Dani. Lantaran, ia hanya percaya pada Dani dan berharap Dani akan menolongnya dalam kesulitan ini. Beruntung, ia pun bersua Ray. Dan Ray pun tampak antusias membantu Indah. Justru, Ray yang paling berjasa. Bunda Dewi, kakak ibunya Ray. Ray dengan suka hati memohon pada Bunda Dewi untuk menitipkan Indah barang beberapa waktu hingga keadaan membaik. Namun, di samping itu pun, hati Indah was-was. Takut Wak Dulah datang ke rumahnya di kampung. Lalu menanyai orangtuanya. Lalu memaksa mencari Indah. Akankah laki-laki itu menemukannya? pikirnya resah.
Matanya mulai dirasa sedikit mengantuk. Dipejamkannya. Mimpi mulai menyeretnya. Namun hanya sesaat lantaran dikejutkan dengan sesuatu yang dirasakan di tubuhnya. Tubuhnya gemetaran ketika dirasakan ada sebuah tangan yang tengah memegang kedua kakinya yang tak tertutup selimut. Dindin. Sangat dingin. Serupa es balok. Tubuhnya kembali gemetaran. Kepalanya tertutup selimut dan tak ada keinginan untuk menyingkap selimut sedikit pun. Memastikan siapa yang tengah memegang kedua kakinya. Tangan-tangan itu benar-benar dingin. Ingin disingkirkan dengan cara menggerak-gerakkan kaki-kakinya. Namun kedua kakinya mendadak sulit bergerak. Seperti beku. Bibirnya pun lalu bergerak-gerak. Mulutnya hendak berucap. Namun terasa sulit. Lalu terus dipaksakan hingga akhirnya bisa melisankan ayat-ayat suci. Yang memegang kedua kakinya seketika menghilang. Tak berbekas. Ia mengucap syukur dalam hati. Rasa takut mulai ditepisnya. Kembali memejamkan mata. Hendak masuk ke ruang mimpi lagi. Namun sulit. Tak seperti sebelumnya. Bermenit-menit menanti kantuk dan akhirnya datang lagi. Tubuhnya tetap menghadap dinding. Kini, selimut menutupi semua tubuh. Dari atas kepala hingga bawah kaki. Ia takut ada yang kembali memegang kedua kakinya lagi.
Kala terseret lagi dalam mimpi, ia kembali terjaga. Matanya tetap terpejam. Tak berani menguakkannya meski sedikit lantaran takut tiba-tiba melihat sosok yang mengerikan meski hanya bayangannya. Ia memang khawatir yang sempat memegang kaki-kakinya akan menjelma menjadi sosok yang mengerikan lalu menampakkan wujudnya dan menakut-nakutinya.
Dadanya berdegup keras. Menahan ketakutan yang langsung menerjangnya lantaran terasa ada yang menarik selimutnya. Hingga selimut yang sebelumnya menutup kepala, melorot ke bawah dan berhenti di perutnya. Matanya tak mau dikuakkannya. Ia takut, takut sekali. Ditahannya untuk tak membuka matanya. Dan selimut, ia biarkan saja. Tak dicoba ditariknya. Apalagi ditutup hingga bagian kepala. Salah-salah, makhluk jahil itu akan berbuat yang aneh-aneh lagi. Malamnya menjadi tak nyaman. Malamnya berubah menjadi malam menyeramkan yang sarat dengan ketakutan. Ia benar-benar tak tenang. Tadinya, berharap mencari ketenangan dengan pergi dari rumahnya. Namun, kini, harus mengalami malam yang mencekam.
Ia tak sabar menanti pagi hari. Ingin lepas dari malam yang penuh kecemasan, kegelisahan, dan ketakutan. Alhasil, hingga pukul dini hari, ia baru bisa tidur. Dan terbangun kesiangan. Itu pun karena pintu kamar yang diketuk beberapa kali oleh pemilik rumah. Tubuhnya beranjak lalu membuka pintu kamar dengan perasaan malu sekali. Namun, Bunda Dewi mengulas senyum manis. Sikapnya selalu baik pada orang lain. Itu yang membuat Indah kian segan.
***
Indah menatap langit. Tak ada mendung. Tak ada tanda-tanda akan turun hujan semenjak tadi siang. Tak seperti hari kemarin. Ia pun berharap langit tetap cerah dan jangan ada hujan. Ia takut sendirian di rumah besar ini. Bunda Dewi belum juga kembali. Pagi-pagi, perempuan baik itu bilang akan pulang menjelang Isya karena ada keperluan ke Cibiru, ke rumahnya di sana. Mau tak mau, Indah harus sendirian. Bukan perkara makanan, toh makanan dan minuman cukup banyak di dapur dan di dalam lemari pendingin. Namun, Indah takut melihat sosok perempuan berkain putih kusam yang pernah berkelebat menuju lorong itu. Juga teringat kejadian tadi malam. Ada makhluk jahil yang memegang kedua kakinya lalu menarik selimutnya. Hiiii, bahunya bergidik. Ia merasakan ketakutan yang sangat.
Ketika di dapur tadi pun, ia memasak. Ia merasa ada makhluk halus di sana. Menemaninya karena tiba-tiba pisau berpindah tempat. Awalnya dekat piring lalu pindah dekat wastafel. Indah tak merasa memindahkannya. Ia tak lupa. Tapi, tadi ia berusaha menahan rasa takutnya. Mencoba bersabar. Lalu terus berdoa agar ia tak sendirian dan segera datang Dani dan Ray. Meski ia mengerti kalau mereka berdua tentunya sibuk di sekolah mereka berdua. Dan baru bisa ke rumah Bunda Dewi menjelang sore. Itu pun jika tak hujan. Makanya ia terus berdoa agar hujan jangan datang. Sebelum Dani, Ray, dan Bunda Dewi datang, ia tak mau hujan turun.
Indah duduk termenung di beranda. Di atas kursi rotan panjang. Tak sadar, bibirnya bergerak lalu mulutnya bersenandung kecil. Lagu penyanyi kesayangannya. Baru beberapa bait bersenandung, telinganya mendengar dari arah lorong. Senandung yang sama. Seperti suaranya. Lagunya pun sama. Lagu yang disenandungkan olehnya. Bulu kuduknya terangkat. Ia langsung mematung di atas kursi tak berani beranjak. Lantaran kalaupun beranjak, harus beranjak ke mana? Masuk ke dalam rumah sendirian di sana, ia lebih tak berani. Bisa-bisa bersua makhluk tadi atau makhluk jahil lainnya. Ia memilih di luar saja sembari terus berharap Dani, Ray, atau Bunda Dewi segera datang dan menghapus rasa takutnya.
Suara motor memasuki pelataran yang luas. Tubuh Indah berdiri lalu memandang ke sana. Hatinya bersorak. Motor Ray. Mendekat. Indah setengah berlari menghampiri pagar rumah dan membukanya. Memersilakan Ray memasukkan motornya.
“Nggak sama Dani?” Indah heran sembari menatap wajah Ray.
Ray menggeleng. Lalu menuju tempat duduk. Indah mengikuti. Ditatapnya Ray yang tubuhnya masih berseragam sekolah. Ray melepaskan tas ransel yang tersandang di punggungnya dan disimpan di sampingnya.
“Dani tadi kuajak kemari, tapi nggak mau. Padahal waktu pagi, bilang mau…” kata Ray.
“Kenapa jadi nggak mau?” tanya Indah. Ada rasa kecewa menyelusup ke dalam hatinya. Padahal, ia pun sangat ingin bersua Dani.
“Aku nggak tahu, In. Nggak aku tanyain alasannya. Dia pun tadi terburu-buru pulang.”
“Barangkali Dani ada urusan penting,” Indah menduga-duga.
“Mungkin saja,” Ray mengiyakan. Indah masuk ke dalam. Tak lama, muncul dengan gelas di tangan. Berisi air jeruk dingin. Lalu diberikannya pada Ray. Indah menawari Ray makan tapi Ray menolak karena perutnya sudah kenyang, makan siang di sekolah.
Indah duduk di samping Ray. Ia ingin menceritakan semua yang terjadi di rumah ini yang dialaminya. Namun, tetiba mulutnya merasa terkunci. Akhirnya, mereka ngobrol-ngobrol. Ray bertanya perihal rencana Wak Dulah.
“Aku nggak mau menikah sama Wak Dulah, Ray! Aku mohon, kamu bantu aku!” ucap Indah serius.
“Aku pernah mau peringatkan Abah tapi entah kenapa, mulutku tiba-tiba tak berani padahal sebelumnya sudah kususun kalimat-kaliamat yang hendak dilontarkan padanya. Aneh, tapi aku sering alami seperti itu kalau hendak bicara sama dia, jadi bukan kali pertama dibuat gugup,” jelas Ray.
“Karena dia punya ilmu yang bisa membuat lawan bicara urung bicara. Atau merasa segan, takut, dan tak berani. Aku dengar dari orang-orang di kampung.”
“Ya.”
“Lidahnya penuh susuk, katanya.”
“Sepertinya.”
“Ray, kamu kan saudaranya. Malah, kamu kesayangannya.”
Ray tersenyum. “Itu benar, In.”
“Berarti, kamu bisa bujuk dia agar membatalkan niatnya padaku. Dia pasti manut padamu karena kamu orang yang sangat berarti baginya.”
“Nggak semudah itu, In.”
“Jadi gimana? Mau kan kamu menolongku?” suara Indah mengiba. “Aku mohon, Ray! Aku nggak tahu lagi harus bicara sama siapa selain sama Dani dan sama kamu!”
“Kan tadi aku bilang, sudah kuusahakan, tapi mendadak sulit bicara.”
“Kalau misal kalian ketemu, kamu berani mengingatkannya langsung?”
“InsyaAllah, tapi ketemuanya itu yang susah, In.”
Indah mendesah. Ray meliriknya. Pantas Dani begitu terpikat pada gadis ini, pikir Ray. Indah berwajah sangat cantik. Berkulit putih halus bersih, bibir merah tipis, hidung mancung, dan dagu terbelah. Begitu sempurnanya Tuhan melukis wajahmu, Indah. Ungkap Ray dalam hatinya. Tak bisa dipungkirinya, hatinya pun terpikat tapi segera disingkirkan rasa yang mulai mengusiknya itu. Ia hanya ingin menolong Indah keluar dari masalah. Bukan hendak mendapatkan Indah sebagai pacarnya. Ray buang jauh-jauh pikiran itu.
“Indah…”
“Ya, Ray?”
“Aslinya, kamu nggak mau jadi istri Abah?”
Indah mendecak. “Ya, nggak lah, Ray. Kalau mau, aku nggak bakalan minggat.”
“Kamu… nggak pernah merasakan cinta sama Abah?” taya Ray hati-hati.
“Duh, Ray… masa sih aku cinta sama laki-laki yang pantas menjadi kakekku?”
Ray menahan bibirnya agar tak tertawa. Ia bertanya hal itu karena merasa aneh, biasanya gadis muda cantik yang pernah didekati Wak Dulah, suka menyerah dan takluk juga merasakan cinta yang dalam. Begitulah yang diakui banyak istri Wak Dulah. Tapi yang dirasakan Indah tidak, tentu menjadi keanehan bagi Ray meski ia pun tahu—Wak Dulah mampu menaklukkan banyak wanita bukan lantaran harta, tapi karena ia memiliki ilmu penabur sukma yang manjur.
“Berarti kamu kuat, Indah,” ucap Ray dalam hati. Ray kagum pada Indah. Ketaatan Indah pada Allah, membentuknya menjadi gadis yang tak lemah iman, hingga ketika ‘mungkin’ Wak Dulah menaburkan ilmu sukma padanya, tak akan mempan. Orang-orang beriman jauh lebih kuat. Melawan ilmu-ilmu hitam yang jelas-jelas dilarang oleh Sang Pencipta. Allah.
Hingga pukul lima, mereka asyik berbincang. Bunda Dewi tiba. Ray pamit pulang. Hati Indah tiba-tiba merasa tak rela dengan kepergian Ray meski perjaka itu berjanji esok sore akan kembali. Bersama Dani dan mungkin mengajak teman lainnya. Dirga dan Fian. Di sisi lain, Indah pun takut menghadapi malam. Di rumah ini. Di kamar tengah. Bukan tak mungkin, makhluk jahil itu akan mengusiknya lagi. Indah benar-benar takut membayangkannya.***