Bab 11
Setengah satu siang, aku sampai di cafe tempat untuk janjian bertemu dengan Yuda. Tentu saja alasannya agar tidak ada orang yang curiga dengan pertemuan ini. Jika sampai ketahuan oleh Mas Agung aku bertemu dengan lawan jenis, sudah pasti dia akan marah besar padaku. Dan aku tak mau hal itu terjadi.
"Atas nama Ibu Indira, ya?" Pelayan cafe bertanya memastikan, setelah kusebut ada janji dengan orang yang bernama Yuda disini.
"Iya benar, Mbak." Aku tersenyum menatap wanita dengan name tag 'Diana' tersebut.
"Mari ikut saya." Aku mengangguk sambil mengikuti langkahnya dan masuk ke ruang yang ditunjuk. Di dalam, Yuda sudah menunggu dengan minuman yang tinggal separuh. Lelaki itu asik menatap layar yang menyala saat kuhampiri.
"Mbak Indira," sapanya hangat, membuatku mengulas sebuah senyum padanya. Lalu duduk setelah dipersilahkan.
"Gimana, Yud. Mbak sudah nggak sabar ingin tahu yang kamu lihat semalam," kataku to the point. Risih rasanya jika harus duduk lama-lama bareng Yuda, apalagi pesonanya yang kuat dan berkharisma, takut tidak bisa menahan hati.
"Sabar dong, Mbak. Santai. Pesan makan dulu, yuk. Lapar nih." Yuda mengusap perutnya dengan senyum, kelihatan sekali kalau dia memang sudah kelaparan.
"Oh, baiklah." Meski merasa sedikit grogi, namun tak urung kuikuti kemauannya, padahal niatnya ingin segera mengetahui kabar semalam agar tak harus berlama-lama berduaan dengan lawan jenis. Aku hanya tak mau sampai timbul fitnah yang akan merugikan diri sendiri.
Setelah pesanan datang, Yuda makan dengan lahapnya, sementara aku hanya sibuk memperhatikannya. Sesekali lelaki itu menatap dengan senyum dan mulut yang penuh dengan makanan. Lucu juga anak ini tapi tetap tak mampu menghilangkan kesan maskulin dirinya. Meski cara makannya beda dengan gaya bicaranya yang lumayan santun.
"Ini Mbak, lihat." Yuda memberikan ponselnya. Aku meneliti gambar yang Yuda suguhkan, yang seketika mampu membuat mataku melebar dan menatapnya tak percaya.
Slide pertama memperlihatkan Mas Agung yang tengah duduk dengan beberapa orang lelaki, namun di slide kedua dan ketiga hanya ada Mas Agung dan dua orang wanita yang duduk disisi kanan dan kirinya. Kalau diperhatikan seksama, Mas Agung tampak bahagia disana. Kedua tangannya tampak sedang merangkul bahu si wanita dengan wajah berseri seperti tak ada beban. Dan aku semakin yakin, kalau itu adalah seseorang yang amat kukenal dengan baik.
"Mbak, nggak apa-apa, kan?" Yuda bertanya setelah melihatku yang terdiam dengan gigi gemeretak. Mungkin heran dengan sikapku yang langsung berubah.
"Mbak nggak apa-apa, Yud. Tapi Mbak harus pergi ke suatu tempat." Aku memberi senyum palsu, dan kembali meminum jus yang masih banyak isinya untuk menormalkan detak jantung yang kian bertalu. Rasanya sedikit panas kurasakan dalam d**a.
*****
"Kenapa kita ke tempat ini, Mbak?" Lagi, Yuda bertanya. Lelaki itu menatapku heran, sambil menengok kanan kiri jalan memastikan tak ada kendaraan yang lewat saat motor yang kami duduki akan menyebrang masuk ke sebuah gang kecil.
"Udah, Yud, diam saja. Ikuti saja Mbak." Aku berjalan lebih dulu dengan sedikit langkah cepat, disusul Yuda dari belakang. Hingga tak lama kemudian, sampai di rumah bercat hijau hampir pudar. Persis seperti terakhir kali aku berkunjung ke rumah ini. Beberapa bulan lalu saat menjemput Adi yang katanya kerja kelompok.
Untunglah pintu rumah itu terbuka lebar, jadi aku tak perlu repot-repot mengetuknya. Kuhela nafas panjang untuk mengurangi sebak. Aku harus kuat andai ada sesuatu di dalam sana.
"Mbak Indira?" Seorang wanita berbaju pendek dengan rambut blonde terlihat terkejut saat menatapku. Mungkin dia tak menduga kalau aku akn berada di depannya saat ini. Dia berdiri setelah berjingkat dari sofa. Bahkan ponselnya langsung jatuh dan dibiarkan begitu saja.
"Yuni." Aku tersenyum sinis memindai penampilannya. Wanita itu sepertinya baru bangun, terlihat dari rambutnya yang acak-acakan. Dalam hati aku berdoa, semoga apa yang kutakutkan tak kutemukan disini.
"Mb—Mbak mau apa ke mari?" tanyanya terbata, dengan wajah yang terlihat lebih pias. Bahkan terlihat dia memilin jari-jarinya yang tak luput dari pandanganku. Sementara Yuda memilih berdiri di luar dan tak bicara. Pasti lelaki itu juga tahu bahwa wanita di depanku ini adalah wanita yang semalam di potretnya bersama dengan Mas Agung di klub malam.
"Ada sesuatu yang ingin aku tanyakan," jawabku santai sambil duduk di sofa. Tanpa menunggu dipersilahkan.
"Ta-tapi …!" Lagi, Yuni seperti ketakutan. Dia bahkan menggigit kuku-kukunya. Wajahnya yang polos tidak dapat menyembunyikan kebohongan dariku. Apakah dia sudah tahu maksud kedatanganku kemari, atau dia takut sesuatu yang ditutupi nya akan terbongkar. Entahlah.
"Yuni, kemari!" Belum sempat Yuni menyelesaikan ucapannya. Dari belakang sebuah suara membuatku, Yuni dan Yuda tertegun. Sepertinya aku hapal suara itu. Dadaku bahkan berdetak lebih cepat. Seakan tak percaya dengan pendengaranku sendiri.
Aku yang sangat penasaran, lekas berdiri dan memburu sumber suara, yang asalnya ternyata dari kamar depan rumah ini.
"Mbak, jangan masuk. Mbak nggak boleh—" Yuni tertegun saat melihat tajamnya pandanganku yang menghunus. Dengan tergesa kubuka pintu kamar yang nampak berantakan itu. Netraku langsung tertuju pada Mas Agung yang tengah duduk dengan kondisi yang hampir tel****ng!
Ya Tuhan, apa ini? Batinku menjerit. Aku tidak percaya dengan kenyataan yang tengah kulihat ini, disertai baju berserakan di bawah tempat tidur.
"Mas Agung!" Aku tertegun, lemas, dan tentu saja sangat kaget. Saking kagetnya hingga aku tak mampu berkata apa-apa lagi. Hanya air mata yang menjadi wakilnya, yang seakan jatuh begitu saja mewakili perasaanku yang hancur saat ini. Teganya dia padaku. Kepalaku seperti berputar dan hilang keseimbangan. Berbagai pertanyaan muncul di kepalaku.
Apa yang tengah mas Agung lakukan di kamar Yuni dengan kondisi yang tak pantas itu?
Dan apa hubungan mereka berdua sebenarnya. Setelah Zahra, kini Yuni. Lalu nanti siapa lagi?!
Ah, kepalaku pusing memikirkan semua itu.
"Indira?" Mas Agung pun tak kalah kagetnya menatapku. Sesaat pandangan kami saling menyatu namun segera kualihkan pandangan menatap sekeliling ruangan dengan tak percaya.
"Kenapa kaget begitu Mas. Bukankah seharusnya kamu menjaga Zahra di rumah sakit saat ini. Lalu apa yang kamu lakukan di rumah Yuni?" Mati-matian, setelah kutahan hasrat bertanya, akhirnya kata itu keluar juga dari mulutku.
"Indira, Mas bisa jelaskan!" Mas Agung hendak berdiri, namun urung, sadar dengan tubuhnya yang hanya berbalut selimut. Kondisi yang benar-benar sangat menyakiti hatiku.
"Cukup, Mas! Aku sudah tak bisa melihat kebejatanmu lagi. Aku sudah muak!" Aku berlalu meninggalkan Mas Agung dan Yuni yang berdiri di pintu kamar. Hingga menabrak bahu wanita itu. Aku tak peduli. Rasanya hatiku hancur, jiwaku sakit melihat keadaannya suami yang kubanggakan selama ini, ternyata diam-diam bermain curang di belakangku dan bukan hanya sekali dua kali itu saja. Tega sekali dia menghancurkan rumah tangga yang telah kami bina selama sepuluh tahun lamanya.
"Argh!!!"
Masih terdengar suara Mas Agung dari arah kamar yang disusul dengan suara Yuni. Sepertinya mereka akan bertengkar. Biarkan saja, rasanya aku sudah lelah menghadapi satu persatu kebiasaan buruk suamiku itu.