Bab 9
Di pinggir jalan, aku berdiri sambil terus berpikir dan mencari ide. Bagaimana caranya agar aku tahu apa saja yang dilakukan oleh Mas Agung di belakangku yang tidak kutahu.
Ucapan Bu Dewi dan Bu Yeti waktu itu membuatku penasaran. Apa sebenarnya yang tidak kuketahui tentang Mas Agung, suamiku.
Setelah bolak-balik berpikir aku mendapatkan sebuah ide, yang kurasa itu adalah pilihan tepat.
Bukankah memang tepat jika aku mengulik kembali dari Bu Dewi saat ini. Ya, penyelidikan akan kumulai dari sana. Semoga saja wanita mau memberikan informasinya padaku. Agar aku tidak seperti orang bodoh yang dikelabui terus-menerus.
Tak lama setelah aku memesan ojek online, akhirnya aku sampai di tempat yang kutuju. Rumah Bu Dewi.
Aku berjalan dengan cepat agar saat melewati rumah mertua, tidak ketahuan. Bagai pencuri aku berjalan terburu-buru dan memasuki rumah Bu Dewi, tetangga dari ibu mertuaku. Untunglah pintu rumah mertua tertutup, jadi tidak terlalu khawatir.
"Jadi benar kamu ingin mencari tahu kebiasaan si Agung di belakang?" jawab Bu Dewi setelah ku jelaskan maksud dari kedatanganku saat ini.
"Iya, Bu, semuanya. Apa yang sebenarnya tidak aku ketahui selama ini?"
"Hm …." Bu Dewi terdiam dan nampak berpikir.
"Banyak sih," katanya sambil terkekeh.
"Banyak?" Keningku justru mengernyit heran.
"Iya. Kamu yakin akan mencari tahu semuanya, Ndi?" Wanita berbadan gempal itu menatap serius.
"Iya, aku yakin. Jadi apa yang harus kulakukan terlebih dahulu?"
Bu Dewi diam, wajahnya menatap ke atas seakan sedang mencari ide.
"Begini saja, kamu ikuti saja kegiatan si Agung dan Doni, jadi tahu nanti tahu sendiri apa yang mereka lakukan di belakangmu," ujar Bu Dewi spontan yang justru membuatku bingung. Kenapa dia nggak jelaskan saja semuanya. Agar aku tak perlu repot-repot mencari tahu.
"Mengikutinya kemana!?"
"Kemanapun dia pergi."
"Apa harus begitu ya jalannya?"
"Iya, bagaimana?! Dengan mengikuti si Agung pergi kemana saja, kamu bisa tahu dengan sendirinya."
"Apa nggak ada cara lain." Aku menghela nafas gusar. Mengikuti Mas Agung pasti menguras waktu dan tenaga.
"Ya susah kalau tak mau. Diam saja dan tetap dibodohi."
"Baiklah, Bu. Aku setuju." Dengan terpaksa aku menyetujui idenya. Lagipula Bu Dewi benar, aku tak punya pilihan lain, selain mengikuti kemanapun lelaki itu pergi.
"Oh, iya. Tapi sebaiknya kamu jangan pakai motor yang biasa kamu kendarai, takut nantinya ketahuan sama mereka."
"Tapi saya tak punya kendaran lain, Bu," Jujur aku bingung, dengan apa yang harus kulakukan. Jika Aku memesan ojek online untuk mengikuti, takutnya tidak bebas diajak kesana kemari, jika harus membuntuti kegiatan Mas Agung dan Doni.
"Hm … gimana ya?" Bu Dewi dan aku sama-sama berpikir keras.
"Saya akan membantu." Aku dan Bu Dewi menoleh ke arah pintu. Seorang pria sekitar umur dua puluh lima tahunan tampak berdiri gagah dengan wajah serius. Dia Yuda, anak sambung Bu Dewi. Yang kutahu, Bu Dewi juga punya anak kembar dari suaminya yang kini sudah tiada.
"Yuda, kamu yakin mau membantu, Indira?" Bu Dewi menatap wajah anaknya serius. Semoga saja dia bisa membantuku.
"Iya, Bu. Aku yakin. Tenang saja mereka pasti tidak akan tahu." Bu Dewi melirik padaku seakan meminta persetujuan. Dan tentu saja aku menerimanya dengan antusias.
"Kamu nggak apa-apa sama Yuda?" Aku mengangguk cepat.
"Baiklah jika kalian berdua setuju." Bu Dewi duduk bersama Yuda. Kemudian kami melanjutkan diskusi tentang persiapan mengikuti Mas Agung, yang akan dilakukan hari itu juga.
Semoga saja aku bisa mencari informasi tentang Mas Agung dan kelakuannya di belakangku.
*****
Penyelidikan pun dimulai. Aku bersama Yuda menunggu di parkiran rumah sakit. Menunggu Mas Agung keluar dari tempat itu ternyata lama sekali. Sebelumnya sudah kupastikan saat melihat mobilnya masih terparkir di tempatnya seperti saat kami masuk kesana.
Aku juga menghubungi Mas Agung sebelumnya bahwa dia masih di rumah sakit. Dan dia bilang sepulangnya dari menjenguk Zahra, akan menuju tempat kerjanya.
Yang kutahu selama ini, sejak Mas Agung di PHK oleh perusahaan tempatnya bekerja, lelaki itu bekerja serabutan. Katanya dia membantu usaha temannya di bidang mebel, dan kadang menjadi makelar jual beli tanah.
Tentu saja itu pengakuannya padaku, meski entah benar atau tidak. Yang jelas dia sangat jarang memberikan uang bulanan padaku.
Waktu itu aku percaya begitu saja. Namun setelah mendengar kasak-kusuk dari Bu Dewi dan Bu Yeti, entahlah sekarang harus percaya atau tidak. Yang jelas hatiku sulit sekali menerima dan membuatku jadi ingin mengikuti kegiatannya dibelakangku untuk memastikan kebenarannya.
"Mbak, itu bukannya Pak Agung, ya?" Yuda menunjuk ke arah lobby klinik. Aku menoleh menuju arah telunjuknya.
"Oh, iya, Yud. Itu Mas Agung." Kuperhatikan, Mas Agung tengah sibuk dengan ponselnya. Kepalanya melirik ke kanan dan ke kiri seperti sedang mencari seseorang.
"Ya udah, Mbak. Tutupi kaca helmnya, takut ketahuan." Aku mengangguk dan menuruti perintah Yuda. Bisa berabe kalau ketahuan aku tengah duduk di jok motor punya Yuda.
Apalagi Mas Agung itu orangnya selain cemburuan juga emosian.
Tak lama Mas Agung bergegas pergi setelah ada sebuah Innova silver berhenti tepat di depan klinik. Dan dengan sigap, aku dan Yuda mulai mengekor di belakangnya.
Cukup lama mobil yang ditumpangi oleh Mas Agung berjalan. Hampir tiga puluh menit. Setelah sesaat kemudian menghilang berbelok ke lingkungan padat penduduk.
"Mbak, kemana mobil itu, ya? Perasaan ke sebelah sini. Tapi kok nggak Ada. Malah ini jalan buntu," tanya Yuda dengan heran. Aku menggeleng juga. Rupanya kami kecolongan dan kehilangan jejaknya.
"Mbak juga nggak tau, Yud. Tadi kan memang lewat sini. Aneh."
"Iya, aneh banget. Gimana dong, Mbak?" Yuda bertanya sambil menoleh ke arahku.
"Hmm ... gimana ya. Ya udah tunggu saja beberapa saat, siapa tahu mereka balik lagi ke jalan ini," usulku, yang dibalas anggukan oleh Yuda.
"Baik, Mbak!" jawab Yuda, sambil menepikan motornya lebih pinggir. Si*l. Padahal ini misi pertamaku. Bagaimana bisa aku kehilangan
Mas Agung begitu mudahnya.
Ah, sial.
Apakah Mas Agung mengetahui jika aku membuntutinya? Entahlah. Yang jelas kali ini Mas Agung menang diatasku.
Tiba-tiba ponselku bergetar. Aku segera meraihnya dan kulihat nomer Mas Agung yang masuk. Aku melirik ke arah Yuda yang juga tengah menatap ke arahku.
"Angkat aja, Mbak," saran Yuda kubalas dengan anggukan lalu menggeser tombol hijau.
''Hallo, Indira. Kamu ada di rumah kan sekarang?' tanya Mas Agung dari seberang setelah mengucap salam. Aku sejenak berpikir, kalau aku bilang 'iya' takutnya nanti Mas Agung jadi curiga.
"Nggak kok, Mas. Aku lagi beli obat di apotik," kilahku cepat agar tidak ketahuan.
''Oh."
"Kenapa memangnya, Mas?" tanyaku pura-pura tak mengerti.
''Ah, nggak kok, Indi. Mas hanya khawatir, soalnya tadi kamu tiba-tiba saja pergi saat di klinik.'' Khawatir katamu, Mas. Padahal kamu tidak repot-repot mencegahku tadi.
"Ya, udah, Mas. Aku mau beli obat dulu."
"'Ok, baik-baik di rumah ya. Dan kayaknya Mas malam ini pulang ke rumah ibu. Kamu nggak apa-apa kan, Indi?''
"Nggak apa-apa, Mas." Aku menutup panggilan. Suasana hatiku jadi tak menentu.
Apa yang sebenarnya kamu lakukan di belakangku, Mas.