3. Pindah ke Luar Kota

1363 Kata
Mara berusaha membuka matanya yang terasa berat dan merasakan kepalanya berdenyut-denyut. Perlahan matanya terbuka sempurna kemudian segera mengedarkan pandangan. Kerutan di dahinya pun tercipta melihat suasana kamar yang tidak ia kenal. “Di mana ini?” gumam Mara dengan suara parau sampai tiba-tiba desisan samarnya terdengar merasakan perih di bawah sana saat dirinya bangun untuk duduk. Mata Mara melebar sempurna saat ia mulai mengingat semuanya, teringat bahwa dirinya telah kehilangan keperawanannya dengan cara yang buruk. Bukan hanya karena melakukannya dalam mobil, tapi juga melakukannya dengan pria tak dikenal meski samar-samar ia masih mengingat wajah pria itu cukup jelas. Pria itu tampan dan memiliki rahang tegas serta hidung mancung. Wajahnya begitu bersih tanpa jambang halus bahkan tak ada noda jerawat satupun. Mara menggeleng keras mengenyahkan pikiran itu, sekarang bukan saatnya mengingat pria yang telah beruntung memanfaatkan kesialannya. Ia segera turun dari ranjang dan melihat tasnya tergeletak di lantai, ia segera mengambilnya. Hela nafas kelegaan lolos dari mulut saat ia menemukan isi tasnya masih utuh. Tak ingin berlama-lama di tempat asing itu, Mara mengambil beberapa lembar uang dari tasnya dan meletakkannya di atas ranjang. Membenahi pakaiannya, ia pun bergegas pergi dari sana. Sembari berjalan meninggalkan tempat asing itu, ia menghubungi taksi untuk menjemput. Tak lama kemudian, pintu kamar mandi di kamar yang baru saja Mara tinggalkan terbuka. Seorang pria bertubuh tegap keluar dari sana dengan hanya menggunakan handuk yang melingkari pinggangnya. Seketika perhatiannya tertuju pada ranjang di mana sebelumnya berbaring Mara di sana. Namun, sekarang ranjang itu telah kosong. Pria itu berjalan ke arah ranjang dan menemukan beberapa lembar uang di atasnya. Seketika rahangnya pun mengeras. “Sialan,” umpat pria itu merasa terhina karena Mara meninggalinya uang. “Dia menganggapku p*****r?” Di sisi lain, Mara berjalan melewati gerbang rumah pria asing yang membawanya ke sana. Untuk saat ini yang ia pikirkan adalah bagaimana caranya agar cepat pulang. Tak lama kemudian, taksi pesanannya pun datang dan mengantarnya segera menuju rumah. Waktu menunjukkan pukul 11 malam saat Mara tiba di rumah. Ia pun segera ke kamar mandi untuk membersihkan diri tak peduli hawa begitu dingin. Setelah selesai, tanpa memakai baju lebih dulu Mara duduk di tepi ranjangnya dan menjatuhkan tubuhnya membuatnya terlentang menatap langit-langit kamar. Mara memejamkan mata dan ingatan apa yang sebelumnya terjadi mulai berputar dalam kepala. “Apa yang sebenarnya terjadi padamu, Tamara!” jerit Mara dalam hatinya. Dirinya masih tak mengerti apa yang terjadi pada tubuhnya sampai-sampai dirinya dengan gilanya nekat bermain dengan seorang pria. Tiba-tiba Mara teringat Salsa. Ia segera bangun, mengambil ponselnya dan menghubunginya. Drt … drt …. Mara menggigit ibu jarinya sembari menunggu Salsa mengangkat panggilan. Hingga akhirnya suara Selasa terdengar. “Halo, Mara? Mar, kau di mana sekarang?” “A … aku di rumah, Sal.” “Apa? Di rumah? Syukurlah, aku sangat mengkhawatirkanmu. Maafkan aku, Mara, aku terlalu lama mencari ponselku dan saat aku kembali, aku sudah tidak menemukanmu. Kau pulang dengan siapa?” Mara yang sebelumnya berdiri, memilih duduk di tepi ranjang dan terdengar menghela nafas berat. “Aku pulang naik taksi.” “Ya Tuhan, Mara, kumohon maafkan aku. Aku akan segera ke rumahmu. Sebenarnya aku berkeliling sejak tadi untuk mencarimu.” Mara hanya diam kemudian menurunkan ponsel dari telinga dan melihat riwayat panggilan dari Salsa. Sebelumnya dirinya tak terlalu memperhatikan karena entahlah, ia tak dapat berpikir normal setelah apa yang telah terjadi padanya. Setelahnya panggilan terputus. Namun, Mara masih menatap ponselnya dalam diam. Setitik hati kecilnya berpikir keanehan yang terjadi padanya pasti disebabkan oleh sesuatu dan seingatnya, dirinya hanya minum minuman yang Salsa berikan dan setelah itu ia merasa aneh dengan tubuhnya. Akan tetapi, Mara tak ingin menuduh Salsa terlebih mendengar Salsa mengkhawatirkannya. Tak lama kemudian, Salsa tiba di rumah Mara. Seperti tak mengetahui apapun mengenai keanehan yang Mara alami sebelumnya, Salsa bersikap seperti seorang teman yang peduli. “Jadi, apa yang sebenarnya terjadi? Maafkan aku, Mar. Ini semua salahku. Harusnya aku tidak meninggalkanmu padahal kau sedang tidak baik-baik saja,” ujar Salsa dengan mata berkaca-kaca menunjukkan kesedihan. “Tidak apa-apa, Sal. Harusnya aku yang minta maaf karena pulang lebih dulu tanpa memberitahumu,” ujar Mara berdusta. Ia tidak ingin memberitahu Salsa mengenai semuanya. Tak ingin Mara mencurigainya, Salsa mengangguk percaya. Ia tidak tahu yang Mara katakan benar atau tidak tapi, setidaknya ia bersyukur Mara selamat dari dua pria suruhan Viola. Meski dirinya ikut terlibat dalam kejadian ini, dirinya benar-benar menyesalinya. Keesokan harinya terdengar suara ketukan pintu dari luar saat waktu masih begitu pagi. Dengan rasa malas Mara bangun dari tempat tidur untuk melihat siapa tamu yang datang. Mata yang sebelumnya masih mengantuk itu tiba-tiba terbuka lebar saat melihat tamu itu adalah Viola. “Hah … akhirnya kau membuka pintu,” ucap Viola saat pintu di depannya terbuka. Tatapan Mara menjadi lebih tajam. “Apa yang kau lakukan di sini?” ucapnya dengan tangan terkepal. Dirinya sudah mengalami kesialan semalam dan saat belum sembuh benar harus berhadapan dengan iblis seperti Viola. Viola menatap Mara dengan tatapan mengejek. “Ck, kenapa nada bicaramu kasar begitu, Ra. Apa kau lupa, kita ini sahabat, bukan?” “Tidak ada sahabat yang memangsa pacar sahabatnya sendiri!” sentak Mara. “Memangnya apa yang sudah kulakukan padamu?! Apa tidak ada laki-laki lain selain Ranu?! Kau tahu kami menjalin hubungan sudah lama dan aku sangat mencintainya!” Nafas Mara terengah mengucap kalimat panjang itu, meluapkan apa yang ada dalam kepalanya saat ini. “Kurang apa selama ini aku padamu?! Kenapa kau tega menusukku?! Kenapa, Vio, kenapa?!” Mara mendorong Viola hingga mundur beberapa langkah. Ia tak dapat mengendalikan perasaannya, emosinya, dan bukan salahnya jika dirinya merasakan itu semua. Viola tersenyum miring saat punggungnya menabrak tiang rumah Mara. Ditatapnya Mara tanpa rasa takut lalu mengatakan, “Kau ingin tahu?” ucapnya menggantung. “karena … aku sangat iri padamu. Kau punya semua yang tidak aku miliki terutama Ranu. Salahkan pada dirimu yang selalu memerkan hubunganmu dengan Ranu. Sekarang, aku berhasil memiliki Ranu dan menghancurkanmu.” Bola mata Mara tampak bergerak, tubuhnya gemetar. Kalimat terakhir yang Viola ucapkan membuatnya teringat kejadian semalam. “Jadi … kau yang–” Kelakar tawa Viola terdengar. Ia tertawa lebar melihat wajah Mara yang pucat. “Hahaha! Hahahah, tentu saja, kau kira siapa lagi? Ah, tapi tidak. Bukan aku yang memasukkan obat perangsang dalam minumanmu tapi, temanmu. Dan kau tahu apa yang lebih menarik? Aku membayarnya. Temanmu menerima uang dariku sebagai bayaran karena dia sudah membantuku.” Tubuh Mara seketika kaku. Ia tak ingin percaya, tapi rasanya tak mungkin Viola mengarang cerita. Di saat yang sama, Salsa keluar dari kamar Mara saat mendengar keributan. Ia menginap semalam. Salsa pun begitu terkejut saat melihat Viola. Rasa takut pun mulai menjalar hingga membuatnya gemetaran. “Kalau tidak percaya, tanya saja padanya.” Mara menoleh kaku ke arah Salsa yang berdiri beberapa langkah di belakangnya. Raut wajahnya tampak rapuh dan hancur. Mara tak mengerti kenapa orang-orang yang ia percayai tega mengkhianatinya sekejam ini. Ia sudah menganggap Salsa sebagai teman baik tapi …. “Ma– Mara ….” Hanya melihat gelagat Salsa, Mara tahu kebenarannya. Merasa kenyataan ini terasa begitu berat, ia segera menarik Salsa dan mendorongnya keluar dari rumahnya. Ditutupnya pintu dan menguncinya lalu perlahan Mara merosot terduduk di lantai dengan putus asa. Suara teriakan dari luar terdengar, Salsa memanggil Mara berusaha memberi penjelasan. Namun, Mara tak peduli. Bahkan saat mendengar Salsa bertengkar dengan Viola pun Mara tak peduli. *** Dua Minggu berlalu, Mara terlihat memasuki sebuah gedung. Kedatangannya ke sana untuk melakukan interview. Sejak kejadian hari itu di mana ia dihujani fakta yang menyakitkan, ia memutuskan pindah ke luar kota. Bukan karena ia takut dan mengakui kekalahannya, ia hanya ingin menenangkan diri dan melupakan kenangan pahit itu sejenak. Ia tak bisa terus berada dalam bayang-bayang pengkhianatan orang-orang yang ia percaya jika masih bertatap muka dengan mereka. “Dari sini anda lurus saja. Sudah ada beberapa pelamar lainnya yang juga akan melakukan interview, silakan tunggu sampai nama anda dipanggil.” Mara mengangguk mengerti setelah bertanya pada resepsionis. Ia pun berbalik dan melangkah menuju tempat yang resepsionis itu tunjukkan. Di saat yang sama, seorang pria berpakaian rapi memasuki lobi. Tiba-tiba langkahnya terhenti saat pandangannya menangkap sosok Mara berjalan di depannya, wanita yang sejak malam itu tak bisa membuatnya tidur dengan nyenyak hingga membuat seringai tipis tercipta di bibirnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN