2. Mobil Bergoyang

1169 Kata
Mara menghadiri sebuah acara yakni acara pernikahan salah seorang rekan kerjanya. Sebenarnya ia enggan datang mengingat suasana hatinya masih mendung sejak kemarin malam setelah memergoki Ranu selingkuh dengan Viola. Akan tetapi, ia terpaksa datang karena rekan kerjanya itu memohon kedatangannya. “Mar, kau sakit?” Teman Mara bertanya melihat wajah Mara yang sedikit pucat. Wanita itu bernama Salsa, rekan satu divisi Mara yang datang bersamanya. Mara berusaha mengukirkan senyuman. “Ah, tidak, aku baik-baik saja,” jawabnya. Melihat itu Salsa bernafas lega. “Oh, ya, kapan kau dan Ranu menyusul?” tanyanya dengan kerlingan mata menggoda. Ia tidak tahu mengenai masalah Mara dan Ranu. Mara tersenyum kecut. “Kami putus,” ucapnya dengan jelas. Salsa menarik nafas, menutup mulut dan memasang wajah begitu terkejut. “What? Putus? Kenawhy?!” seru Salsa dengan meremas tangan Mara. Ini berita mengejutkan, setahunya hubungan Mara dan Ranu tak pernah mengalami masalah. Bahu Mara terangkat saat menarik nafas dan mengembuskannya lewat mulut. “Aku belum bisa mengatakannya, maafkan aku, Sal,” ujarnya. Mendengar itu, Salsa tak memaksa. Ia hanya mengusap bahu Mara seakan tahu pasti telah terjadi sesuatu yang berat. “Yah, baiklah. Aku akan menunggu sampai kau siap cerita. Tunggu di sini, aku akan mengambilkanmu minum.” Mara hanya mengangguk dan membiarkan Salsa mengambilkan minum untuknya. Salsa adalah salah satu teman dekat selain Viola. Teman yang dikenalnya sejak ia bekerja di perusahaannya sekarang. Sementara Viola adalah teman sejak SMA. Mara menepuk dadanya yang terasa sesak saat teringat Viola. Ia masih tak percaya sahabatnya itu menjadi benalu dalam hubungannya. Tak lama Salsa kembali dengan segelas minuman dan memberikannya pada Mara. Tanpa menaruh curiga, Mara segera meminum minuman tersebut hingga tinggal separuh. Tak berselang lama setelah itu, Mara merasa ada yang aneh dengan tubuhnya. Tiba-tiba tubuhnya terasa panas, wajahnya pun tampak memerah dan terlihat cukup jelas. “Mar, ada apa?” tanya Salsa melihat Mara tampak gelisah. Saat ini ia dan Mara tengah mengantri mengucapkan selamat pada sang pengantin. “Entahlah, Sal. Aku merasa ada yang aneh,” jawab Mara di mana suaranya mulai terdengar aneh. “Ya sudah, setelah ini kita segera pulang.” Setelah selesai bersalaman dan mengucap selamat pada pengantin, Mara dan Salsa keluar dari tempat acara di mana Mara semakin terlihat tidak baik-baik saja. “Ya Tuhan, ponselku!” Salsa menepuk jidatnya saat memeriksa handbagnya dan tak menemukan ponsel kesayangannya. Ia dan Mara telah berada di tempat parkir sekarang, di depan mobil Mara. “Pasti tertinggal di toilet. Tunggu di sini, aku akan segera kembali.” Salsa segera berbalik kembali ke dalam gedung meninggalkan Mara seorang diri. Mara pun hanya bisa menatap kepergian Salsa dalam diam sambil terus menahan gejolak aneh yang ia rasakan. “Apa yang sebenarnya terjadi padaku?” gumam Mara dengan memegangi kepala yang terasa berat. Mara semakin merasa aneh dengan tubuhnya terlebih pada area sensitifnya yang mulai berkedut-kedut hingga membuat desahan tertahannya lolos dari mulut. Perlahan Mara merosot saat merasa semakin tersiksa dengan rasa aneh yang rasanya baru pertama kali ia rasakan. Sampai tiba-tiba pendengarannya menangkap suara pintu mobil yang tertutup cukup keras dan berasal dari mobil yang terparkir di sebelah mobilnya. Merasa tak sanggup lagi sementara Salsa tak juga kembali, Mara memutuskan meminta bantuan pada orang tersebut. Mara membuka pintu mobil berwarna hitam di sebelah mobilnya, sontak seorang pria yang baru saja duduk di kursi penumpang itu amat terkejut. “Tu- Tuan, bi- bisakah kau menolongku?” ucap Mara di mana suaranya bercampur dengan desahan. Kedutan di bawah sana semakin membuat Mara tersiksa. Mengikuti naluri yang menguasai, dengan lancang ia memasuki mobil. “Kumohon, bantu aku.” Di sisi lain, Salsa terlihat berdiri berhadapan dengan seorang wanita dan wanita itu tak lain adalah Viola. “Ini, bayaranmu.” Viola memberikan beberapa lembar uang pada Salsa karena kerjanya yang memuaskan. Ia sengaja menyuruh Salsa memasukkan obat perangsang dalam minuman Mara. Salsa menerima beberapa lembar uang itu dan mengatakan, “Tapi kau harus janji, jangan libatkan aku dalam masalah ini.” Viola menyeringai tipis. “Kau bisa memercayaiku,” ucapnya kemudian bersedekap d**a. “Sekarang, apa yang harus aku lakukan?” tanya Salsa. “Tidak ada. Tetap di sini sampai dua pria tua itu selesai dengannya.” Salsa menatap Viola dengan pandangan tak terbaca. Ia tidak mengerti kenapa Viola tega melakukan semua ini pada Mara padahal, yang ia tahu mereka berteman baik. Mara kerap kali menceritakan mengenai persahabatannya dengan Viola selama ini. “Kenapa kau melakukan ini padanya?” tanya Salsa. Sebenarnya ia tidak ingin melakukan semua ini, membantu Viola menjebak Mara. Akan tetapi, ia sangat membutuhkan uang yang Viola beri hingga tak punya pilihan lain selain menerima tawarannya saat menawarinya rencana jahat ini. “Selama ini dia menganggapmu teman baik, dia selalu bercerita tentang persahabatan kalian,” imbuh Salsa. “Apa pantas kau mengatakan itu saat baru saja mendapat uang dariku?” Salsa terbungkam, mulutnya terkatup rapat tak bisa menjawab. “Jangan bicara seakan aku adalah penjahat. Kau dan aku sama, kita adalah penjahat dalam skenario ini dan dia sama-sama menganggap kita teman,” ucap Viola kemudian membalikkan badan dan melangkah pergi. Salsa meremas uang dalam genggam tangannya. Perasaannya campur aduk sekarang. Ia marah dan kecewa pada dirinya sendiri. Akan tetapi, ia tak ingin munafik, ia sangat membutuhkan uang dari Viola. Tiba-tiba ingatan kebersamaannya bersama Mara terbersit dalam benak membuat Salsa mengalami perang batin. Rasa bersalah pun semakin menguasai membuatnya pada akhirnya berlari berniat menyelamatkan Mara sebelum terlambat. “Mara, maaf, maafkan aku.” Kembali ke tempat Mara, dirinya tak dapat menguasai diri, tak dapat menahan desahan yang terus lolos dari mulutnya. Dirinya telah mendapatkan obat, rasa nikmat yang tak dapat dijelaskan dengan kata. Nikmat yang bercampur rasa sakit karena ini pengalaman pertama. Namun, Mara seperti kehilangan kewarasannya, tak dapat berpikir jernih bahwa ini adalah sebuah kesalahan fatal. Sementara di luar, dua orang pria berperut buncit terlihat celingak-celinguk seperti mencari seseorang. “Di mana? Vio bilang wanita itu sudah ada di sini,” ucap salah seorang dari keduanya sampai tiba-tiba perhatian mereka tertuju pada mobil hitam yang tampak bergoyang. Alis keduanya berkerut tajam saat saling melempar lirikan. Merasa curiga, keduanya mendekati mobil itu. “Tunggu!” Sebuah suara membuat dua pria itu menoleh saat telah berdiri di depan pintu mobil tersebut. Salsa berlari menghampiri keduanya berpikir mereka adalah orang suruhan Viola. “Siapa kau?” tanya satu dari dua pria itu. “Aku temannya Vio. Dia memberitahuku dan apa yang anda lakukan di sini? Wanita itu sudah pergi. Kalian terlambat,” ujar Salsa membohongi keduanya. Dua pria itu saling melempar lirikan kemudian memutuskan pergi dari sana dengan umpatan yang lolos dari mulut keduanya. Melihat itu Salsa bernafas lega kemudian setelah dua pria itu menjauh, ia membuka pintu mobil Mara berpikir Mara berada di dalam. Di saat yang sama, mobil hitam di sebelah mobil Mara tiba-tiba bergerak, melaju pergi dari parkiran setelah berhenti bergoyang saat Salsa berteriak sebelumnya. Pengemudi mobil itu sesekali melirik Mara lewat spion tengah di mana Mara terlihat terkulai lemas di jok belakang dengan pakaian acak-acakan. Kemudian pandangannya jatuh pada selangkangannya di mana terdapat jejak noda darah pada celana dalamnya. “s**t, masih virgin.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN