Mara mengerutkan dahi mendengar ucapan pria di hadapannya.
“Apa kau tuli? Belikan aku makan siang,” ucap Regan sekali lagi di mana raut wajahnya begitu dingin.
Mara menatap Regan dengan pandangan tak terbaca. Ia tengah berpikir bagaimana menghadapi situasi ini.
“Maaf, tapi ini jam istirahat. Tidakkah perintah anda telah melanggar hakku sebagai karyawan?” ucap Mara menolak perintah Regan dengan elegan.
“Aku memerintahmu bukan sebagai karyawan, tapi sebagai orang yang berhutang padaku,” kata Regan tanpa melunturkan ekspresi yang ia tunjukkan.
Rahang Mara mengeras. Ia tak berpikir bahwa Regan benar-benar serius dengan ucapannya.
“Kau pikir aku bercanda dengan ucapanku tadi pagi?” kata Regan seraya memasukkan kedua tangan ke saku celana. “Harusnya kau senang aku memberimu keringanan dengan bisa menyicilnya. Karena aku tahu kau tak akan sanggup membayarku kontan.”
“Bagaimana jika aku menolak?” ujar Mara dengan geraman tertahan.
“Kau tidak akan bisa bekerja di manapun.”
“Aku akan melaporkanmu ke disnaker.”
Senyum tipis terukir di bibir Regan, senyuman mengejek yang membuat Mara semakin kesal. Dan lebih kesal saat pria itu membuka suara.
“Kau yakin mereka akan meladenimu? Jika aku jadi kau, aku akan menurut. Jika kau lupa, seekor kelinci tak akan pernah bisa mengalahkan singa.”
Mara mengepalkan tangannya kuat-kuat. Apakah takdir tengah mempermainkannya? Saat dirinya ingin mengasingkan diri dan lari dari masalah, dari orang-orang yang membuatnya kecewa, ia harus berhadapan dengan Regan, pria licik yang sepertinya bertujuan mempermainkannya, pria licik yang juga telah mengambil mahkotanya. Sekarang, siapa yang harus disalahkan? Saat berhasil menghindari para ular, dirinya harus berhadapan dengan singa kurang ajar.
Beberapa saat kemudian, Mara baru saja keluar dari sebuah restoran dengan menenteng kresek berisi makan siang. Dan tentu saja, makan siang itu untuk Regan, bosnya yang sialan. Dengan terpaksa Mara menuruti perintah pria itu meski sebenarnya dirinya begitu keberatan sebab makan siang tersebut dibayarnya dengan uangnya sendiri.
Mara menghentikan langkahnya dan menatap layar ponselnya melihat sisa tabungannya dari m-banking. Meski berkurang kurang dari seratus ribu tapi, baginya sangat sayang karena dikeluarkan bukan untuk dirinya sendiri.
“Bahkan gigolo tak mematok harga sebesar itu,” gerutu Mara teringat klaim Regan ia berhutang ratusan juta sebagai bayaran.
Mara mengangkat kantong kresek di tangan di depan muka. “Apa kuberi racun saja?” gumamnya diikuti hela nafas berat setelahnya. Mungkin itu ide yang bagus dan akan membawanya pada kehidupan baru yang lebih mengerikan yakni di balik tahanan.
Baru saja akan melangkah, ponsel yang baru Mara masukkan dalam sakunya berdering. Mengambil kembali benda persegi itu, dilihatnya siapa yang menelepon.
Dahi Mara sedikit berkerut melihat nomor asing tertera pada layar. Merasa penasaran, ia pun mengangkat panggilan.
“Halo?”
“Kau mau membuatku mati kelaparan?!”
Mara segera menjauhkan ponsel dari telinga saat suara keras Regan terdengar.
“Dari mana dia tahu nomor ponselku?” batin Mara yang kini menatap layar ponselnya dengan pandangan suram.
“Cepat antar makan siangku sekarang!”
Perempatan siku seolah muncul di kepala Mara. Meluapkan kekesalannya, ia pun berteriak pada ponselnya, memaki Regan meski panggilan telah terputus.
“Dasar sinting!”
Nafas Mara terengah setelah meluapkan kekesalannya. Tanpa berhenti menggerutu, ia pun melanjutkan langkah kembali ke kantor dan berniat menjejalkan makan siang untuk bos gilanya.
Sekitar 10 menit kemudian, Mara tiba di kantor dan meminta OB mengantar makan siang Regan ke ruangannya. Akan tetapi, saat dirinya baru duduk di kursi kerjanya untuk beristirahat, tiba-tiba OB yang disuruhnya datang menemuinya dan membawa kembali makan siang milik Regan.
“Maaf, Mbak, tapi Pak Regan menyuruh mbak sendiri yang mengantarnya,” ujar OB tersebut.
Mata Mara melotot dengan mulut terbuka. Apa yang sebenarnya Regan inginkan? pikirnya.
Pada akhirnya dengan terpaksa Mara mengantar makan siang itu ke ruangan Regan. Dengan hati kian dongkol, ia terus mengucap sumpah serapah pada pria itu.
“Semoga dia bangkrut. Semoga dia bangkrut!”
Gerutuan Mara baru terhenti saat dirinya telah berdiri di depan ruangan Regan. Ia mengangkat makan siang Regan sejenak dan kembali berpikir harusnya ia memberinya racun.
“Mungkin besok,” gumam Mara kemudian menarik nafas panjang dan mengembuskannya dari mulut untuk bersiap bertemu dengan pria menyebalkan itu.
Tanpa mengetuk pintu lebih dulu, Mara membuka pintu ruangan di hadapan dan saat sepatah kata belum sempat terucap, suara benda jatuh lebih dulu terdengar. Mara menjatuhkan makan siang Regan dengan wajah pucat, tubuhnya pun mematung seakan tak sanggup bergerak. Bagaimana tidak? Saat membuka pintu, ia telah disuguhkan dengan pemandangan yang menusuk mata. Seorang pria memeluk Regan dari belakang, menghimpit Regan di sudut meja.
Mata Regan melebar melihat Mara berdiri di ambang pintu. Ia pun segera mendorong pria di belakangnya.
“Apa kau tak bisa mengetuk pintu!” teriak Regan dengan wajah marah. Wajahnya pun terlihat merah hingga telinga. Entah karena malu dipergoki dalam keadaan seperti itu atau, benar-benar marah dipergoki dalam keadaan seperti itu.
Mara berusaha mengumpulkan kesadaran. Ia pun tampak gugup dan gagap.
“Ma- maaf. A- aku akan pergi. Maaf sudah mengganggu.”
Jbles!
Pintu seketika tertutup setelah Mara mengatakan kalimat itu. Ia bahkan mengabaikan makan siang Regan yang teronggok di lantai. Satu-satunya yang ia pikirkan adalah, bagaimana caranya menyelamatkan diri dari situasi mengerikan itu.
Mara berjalan cepat menjauh dari ruangan Regan dengan tangan sesekali menepuk d**a dan mengetuk kepala sembari terus komat-kamit mengucap amit-amit. Apa yang baru saja dilihatnya membuatnya lupa bahwa Regan pernah menggaulinya dan membuatnya teringat ucapan Orin mengenai gosip yang beredar bahwa bos mereka itu belok.
Sementara itu, d**a Regan terlihat naik turun saat berusaha mengatur nafas dan emosinya. Kenapa Mara harus datang di waktu yang tidak tepat? Melihat reaksi Mara, ia yakin wanita itu pasti berpikir yang tidak-tidak.
“Hei, Re, apa yang tadi itu karyawan baru? Sepertinya aku baru melihatnya.”
“Diam!” sentak Regan hingga pria berambut klimis berwajah manis yang berdiri di belakang Ragan terjingkat.
Regan membalikkan badan, menarik dasi pria itu dan menyeretnya lalu mendorongnya melewati pintu keluar dari ruangan.
“Enyah dari sini!”
Jbles!
Pintu ruangan Regan tertutup dengan keras membuat teman lelaki yang baru diusirnya kembali terjingkat.
Regan melonggarkan dasinya kemudian duduk di kursi direkturnya cukup kasar. Sepertinya dirinya benar-benar marah.
“Oi, bagaimana dengan–”
Jbles!
Prang!
Pintu yang sedikit terbuka saat teman lelaki Regan menyembulkan kepala untuk bertanya, dengan cepat tertutup rapat saat sebuah gelas hampir saja mengenai kepala. Lemparan Regan begitu akurat, terlambat sedikit saja kepalanya mungkin bocor dan berdarah-darah.
Regan menatap kekacauan di depan pintu ruangannya, makan siangnya juga pecahan gelas yang berserakan. Niatnya mengerjai Mara gagal saat Mara datang di waktu yang tidak tepat. Dan semua ini salah teman lelakinya yang sialan, Alga.
Sementara itu di luar, pria bernama Alga itu bergidik ngeri. “Ssh, ada apa dengannya?”
Di sisi lain, Mara cepat-cepat kembali ke tempatnya bekerja. Teringat apa yang dilihatnya membuat sekujur tubuhnya merinding.
“Kenapa kau Mar, seperti habis lihat hantu saja,” ucap Orin yang baru saja duduk. Ia baru kembali dari makan siang. Meski sebelumnya merajuk marah pada Mara, tapi sepertinya ia sudah melupakannya sekarang.
“Ini lebih mengerikan dari melihat hantu,” jawab Mara.
Alis Orin berkerut tajam. “Apa?”
Mara berpikir sejenak. Apa ia katakan saja pada Orin apa yang baru dilihatnya? Atau apa lebih baik ia diam?
Saat masih berpikir, tiba-tiba ponsel Mara berdering. Mengambil ponsel dan melihat nomor yang tertera pada layar, ia tampak bergidik.
Tentu saja karena yang menghubunginya adalah Regan.