Dua netra itu saling menatap satu sama lain di mana tatapan keduanya seakan saling beradu tak mau mengalah. Mara tak peduli meski Regan adalah bosnya, mengabaikan pelototan Regan yang sudah dilemparnya dengan sepatunya barusan. Ia pindah untuk kehidupan yang lebih baik menghindari manusia penyebab masalah yang membuatnya sakit tapi, tuntutan Regan membuat kehidupan baru yang dibayangkan lebih indah menjadi hancur berkeping-keping.
Mara melangkah keluar dari bilik toilet tanpa menurunkan raut wajah nyalang.
“Kau kira aku sudi? Memberi sepeserpun aku tak akan melakukannya! Harusnya kau malu, kau sudah mengambil keperawananku tapi kau, justru memintaku membayarmu? Meski aku yang memasuki mobilmu tapi kau yang diuntungkan, jangan munafik bahwa kau menikmatinya. Di luar sana keperawanan bernilai jutaan dolar. Jika aku mau harusnya aku yang meminta bayaran darimu tapi aku tak menjual harga diriku. Kejadian malam itu juga terjadi karena aku dijebak!”
Mara meluapkan emosinya, meluapkan kemarahannya. Ia tak habis pikir bagaimana mungkin pria yang harusnya merasa untung justru menuntut bayaran darinya. Sementara ia yakin uang sebanyak itu pasti tak ada apa-apanya jika benar Regan adalah bos di perusahaan itu.
Regan menatap Mara dalam diam, memperhatikan emosi yang Mara tunjukkan. Ia cukup terkejut, sebab ia mengira Mara akan patuh mengingat derajatnya di perusahaan itu hanyalah seorang bawahan bahkan karyawan baru. Tapi, siapa kira Mara berani melawannya, berani melotot dan berkata lantang tepat di hadapannya.
“Seratus sepuluh juta atas kelancanganmu.”
Alis Mara sedikit berkerut mendengarnya, ia tak mengerti apa yang Regan bicarakan sampai pria itu kembali membuka suara.
“Hutangmu bertambah seratus sepuluh juta. Sebelum kau melunasinya, dokumen penting milikmu akan kutahan.”
Setelah mengatakan itu, Regan melengos dan melenggang pergi meninggalkan Mara. Namun, sebelum itu ia sengaja menendang sepatu Mara seperti menendang sampah.
Mulut Mara terbuka tertutup seakan ingin berteriak dan protes tapi, ia merasa itu semua sia-sia. Dokumen penting seperti ijazah asli serta surat pengalaman kerja memang berada di tangan HRD. Itu adalah salah satu syarat bergabung sebagai karyawan di perusahaan tersebut dan akan dikembalikan jika telah menjadi karyawan tetap.
Mara memegangi kepalanya yang mulai terasa berat. Jika ia keluar, ia akan kehilangan dokumen penting miliknya yang akan digunakannya untuk melamar ke perusahaan lain. Tapi, jika ia tetap berada di perusahaan itu, ia merasa hidupnya akan hancur mengingat tuntutan Regan. Entah kenapa ia juga yakin Regan tak akan membiarkannya bekerja dengan tenang.
Sementara itu di luar toilet, Regan menyingkirkan papan penanda toilet rusak yang sebelumnya ia pasang. Ia kemudian melanjutkan langkahnya menuju ruangan dengan satu tangan tersembunyi ke saku celana.
Tiba-tiba langkah Regan terhenti di mana raut wajahnya terlihat seperti tengah memikirkan sesuatu. Dan sesuatu itu adalah, ucapan Mara yang mengatakan bahwa wanita itu dijebak. Dan ia menebak, maksud pastilah obat perangsang mengingat seperti apa sikap Mara malam itu. Jika ucapan Mara benar, itu berarti ia dan Mara sama-sama adalah korban kebejatan seseorang sebab, malam itu Regan sebenarnya juga berada dalam pengaruh obat.
Regan melanjutkan langkah dengan satu tangan kini mengusap kepala belakangnya. Apa yang Mara lakukan semakin membuatnya ingin memberi wanita itu pelajaran karena sudah berani kurang ajar dan lancang. Ia serius dengan ucapannya meminta tambahan uang. Bukan karena ia sangat membutuhkan uang itu tapi, ia ingin memberi Mara pelajaran karena sudah menganggapnya lelaki murahan serta berani melemparnya dengan sepatu. Andai saja Mara tak meninggalkan uang malam itu, mungkin Regan tak akan memperpanjang masalah itu. Dan andai saja Mara bersikap seperti kelinci penurut ia tak akan meminta tambahan bayaran yang semakin memberatkan wanita tersebut.
Beberapa saat setelahnya, Mara telah duduk di kursi tempatnya bekerja. Masih ada waktu sekitar 5 menit sebelum jam kerja dimulai dan Mara menggunakan waktu itu untuk berpikir.
“Kau lama sekali, Mar. Ada masalah dengan perutmu?” tanya Orin yang baru kembali ke tempat duduknya setelah mengobrol dengan rekan kerja lain.
Mara menoleh, menatap Orin dan bertanya, “Apa aku bisa mendapatkan dokumen milikku meski aku berhenti sekarang?”
“Eh? Apa maksudmu?” tanya Orin hingga setengah memiringkan kepala. Ia merasa aneh dengan pertanyaan Mara. “Lagi pula, kenapa ingin berhenti, kau baru masuk, loh.”
Mara menatap Orin dalam diam. Ia tak ingin menjawab pertanyaan wanita itu.
“Tidak ada, lupakan.” Pada akhirnya Mara mengakhiri pembicaraan tersebut. Menghadap layar monitor di hadapan dan bersiap memulai pekerjaan pertamanya.
“Hei, apa yang sebenarnya terjadi? Aku yakin pasti telah terjadi sesuatu. Ayo katakan padaku, ceritakan padaku, Mar!” seru Orin menuntut. Ia sangat yakin telah terjadi sesuatu saat Mara ke toilet sebelumnya. Jika tidak, tak mungkin Mara tiba-tiba ingin keluar saat baru mulai bekerja. Padahal ia sangat ingat Mara terlihat begitu senang saat dirinya diperkenalkan dengan tempatnya bekerja.
“Tidak ada apa-apa, Rin. Sudah, sebaiknya kita bersiap, jam kerja dimulai tiga menit lagi.”
Setelah Mara mengatakan itu, terdengar suara kepala divisi menyuruh semua berkumpul lebih dulu untuk briefing sebelum kerja dimulai. Orin yang sangat penasaran pada akhirnya tak lagi memaksa Mara mengatakan alasannya.
***
“Ayolah, Mar. Aku yakin pasti ada yang kau sembunyikan. Ayolah, katakan padaku.”
Orin merengek seperti anak kecil. Saat ini ia dan Mara tengah berjalan menuju kantin untuk makan siang. Tak terasi waktu sangat cepat hingga jam makan siang telah tiba.
Mara memutar bola mata malas. Rasa hati ingin berteriak di depan wajah Orin, mengatakan tidak semua harus diceritakan padanya tapi, ia tidak bisa melakukannya meski suasana hatinya sedang muram.
Orin masih bergelayut manja, merangkul tangan Mara sambil terus memaksanya bicara hingga akhirnya Mara menghentikan langkahnya dan menatap Orin dengan lelah.
“Plis, Rin. Jangan memancing kesabaranku. Ada hal yang bisa kukatakan padamu tapi ada juga yang tidak bisa kukatakan padamu,” tegas Mara berharap Orin berhenti tanpa dirinya harus menggunakan kata kasar.
Orin mengerucutkan bibirnya kesal dan melepas rangkulan tangannya sedikit kasar.
“Huh, ya sudah. Terserah kau saja!” ucapnya kemudian melanjutkan langkahnya lebih dulu sambil meninggikan dagu. Ia sudah seperti seorang pacar yang merajuk.
Mara masih berdiri di tempat tanpa mengalihkan pandangan dari Orin di mana saat ini Orin bertingkah seperti anak kecil. Wanita itu sesekali menoleh ke belakang, ke arahnya, dan memberinya kerucutan bibir dan lirikan sinis kemudian kembali melengos dan menatap ke depan.
Mara memijit pelipis sambil menghela nafas. Sikap yang Orin tunjukkan justru membuatnya merasa tak enak sekarang.
“Menyingkir dari jalan.”
Deg!
Mara segera menoleh saat mendengar suara yang sudah ia kenali. Dan benar saja, Regan berdiri di belakangnya dan menatapnya dengan tatapan begitu dingin.
Tak ingin memperpanjang masalah, Mara melangkah ke samping memberi Regan jalan seperti yang diinginkannya.
Regan melanjutkan langkahnya sambil melirik Mara sinis lewat ekor mata.
“Padahal jalan ini begitu lebar!” gerutu Mara. Meski dengan suara kecil tapi, Regan sepertinya mendengarnya.
Tiba-tiba langkah Regan terhenti kemudian menoleh hingga membuat Mara sedikit terkejut. Pria itu lalu melangkah membuatnya dan Mara berdiri berhadapan.
“Belikan aku makan siang.”