*P.O.V Nana*
Aku tidak mengerti kenapa Paman Candra tiba-tiba baik seperti itu. Pasti dia ada maunya. Pakai mau jemput aku pulang kerja lagi. Aneh, kan?
Tadi dia memberi uang aku lima ratus ribu. Lumayan, sih? Aku yakin ini dia minta sama eyang. Paling dia kehabisan uang buat ngasih selingkuhannya. Lagian eyang selalu saja ngasih-ngasih menantunya yang tidak beradab itu.
Eyang sih tidak pilih kasih, beliau pun sayang sama aku. setiap hari aku selalu dikasih uang jajan sama eyang. Beliau juga menyuruh aku tidak usah bekerja, tapi aku tidak mau merepotkan beliau. Eyang sudah terlalu direpotkan anak-anaknya, khususnya Bibi Ayu dan Paman Candra. Mereka berdua sering merepotkan eyang. Itu semua karena pamanku yang tak beradab itu, selalu main wanita, uangnya selalu habis untuk menyewa wanita malam, atau memberi uang pada simpanannya.
Aku memang cucu pertama eyang. Cucu kandung pertama eyang. Tidak heran, jika apa-apa selalu aku yang dinomor satukan eyang. Ibu menikah lebih awal dari Pakde Aziz, Cuma pakde menikahi janda yang memiliki satu anak, dan anak itu lebih tua dari aku. namanya Tia, dia selalu iri dengan aku yang selalu diberi apa-apa oleh eyang. Itu yang membuat aku selalu menolak jika diberi apa-apa oleh eyang, apalagi kalau eyang memberi di depan Kak Tia, aku tidak mau menerimanya.
Aku masih melihat uang yang tadi dikasih pamanku. Lumayan juga sih, buat tambah-tambah nanti bayar sekolah. Lebih tepatnya bayar kegiatan di sekolahan, karena SPP dan uang gedungku sudah dibayarkan oleh pihak sekolahan. Aku mendapat beasiswa berprestasi. Syukurlah, untuk mengurangi bebanku, dan hasil kerjaku di Cafe untuk mencukupi kebutuhan ibu dan Pitaloka, adiku satu-satunya.
Ayah terlalu cepat pergi, dan terlalu cepat pula perusahaan ayah tumbang. Kalau ayah masih ada, aku tidak akan merasakan hal seperti ini. Harus tinggal di rumah eyang, karena rumahku sudah dijual ibu untuk menutup utang perusahaan ayah yang bangkrut karena paman dan pakdeku. Entah yang salah siapa sampai perusahaan ayah bangkrut aku tidak tahu, karena mereka saling menyalahkan.
“Dor....! nglamun aja, Neng!” Mas Riyan teman kerjaku mengagetkan aku yang sedang melihat uang dari Paman Candra.
“Kamu ngagetin saja, Mas,” ucapku dengan berdecak kesal.
“Lagian, datang-datang main ngelamun. Itu uang dari mana? Pasti dari laki-laki yang tadi nganter kamu, ya? Jangan bilang kamu open BO!” ujarnya dengan berkelakar.
“Hush....! sembarangan kamu, Mas! dia itu pamanku, adik ipar ibu. Iya, ini uang dari pamanku,” jawabku dengan kesal dan meninju lengan Mas Riyan.
“Aku kira, itu om-om yang sedang dekat sama kamu,” ujarnya denga terkekeh. “Gak kebayangkan, seorang Nana yang seksi tapi pendiam ini jadi Sugar Baby om-om kaya raya,” imbuh Mas Riyan dengan terbahak.
“Gila apa sih aku gitu, Mas! Reputasiku mau ditaruh di mana coba? Aku ini lagi bingung, itu orang tumben-tumbennya ngasih uang aku. padahal dia itu menolak keras saat ibu meminta bantuan untuk mendaftarkan aku masuk sekolah, Mas. Terus saat aku bilang aku bisa membiayai sekolahku sendiri, dengan kerja di cafe temanku, pamanku itu dengan sinis bilang di depanku, katanya bagus kamu kerja, biar enggak merepotkan. Sekarang, malah ngasih uang sebanyak ini,” jelasku pada Mas Riyan.
“Lima ratus ribu sekarang dapat apa, Na? Itu uang sedikit, kalau dia ngasih puluhan juta baru banyak, Nana!” ujarnya dengan terkekeh.
“Bagiku segini banyak, Mas. Ya sih lebih banyak gajianku di sini, tapi aku ngerasa segini sudah banyak. Dan, jarang lho pamanku ngasih uang, Mas,” ucapku.
“Ya, mungkin sedang sadar dia,” ucapnya.
“Mungkin,” jawabku.
“Sudah sana ganti seragam sekolah kamu dengan seragam kerja. Itu sudah rame, banyak customer,” ujar Mas Riyan.
“Oke, aku ganti baju dulu.” Aku langsung masuk ke dalam, untuk ganti baju kerja.
Aku mengganti bajuku di kamar ganti. Bukan kamar ganti, lebih tepatnya ini ruangan untuk istirahat karyawan dan menaruh loker karyawan. Aku mengunci pintu kamar ganti, aku melepas baju seragamku dan mengganti dengan baju seragam di cafe. Stelan kaos oblong warna putih dengan celana jeans warna biru aku kenakan.
Aku melihat pantulan tubuhku di cermin yang sudah di balut stelan seragam cafe. Aku tidak menyangka, semakin hari lekuk tubuhku berubah. Bagian pinggulku semakin membentuk cantik dan seksi. Aku sebenarnya risih memakai celana jeans yang agak ketat. Untungnya kaosnya agak longgar dan sedikit menutupi pantatku.
Aku keluar dari ruang ganti, setelah sudah siap untuk bekerja hari ini. Hari ini Yuni tidak ke cafe, jadi aku tidak ada teman untuk mengobrol, paling Mas Riyan dan Nabila yang sedikit akrab denganku, yang lain sih cuek, karena mereka sudah senior, juga dekat dengan Mas Abi, manager cafe ini, yang katanya Sepupu Yuni,
Mas Abi orangnya baik, tapi aku tidak terlalu akrab dengannya seperti para karyawan senior yang lain, yang hobi cari muka. Untung saja aku masih diberi kesempatan bekerja di sini untuk membiayai sekolahku. Meski para senior sering cari muka pada Mas Abi, mereka tidak pernah usil denganku, mereka mengayomiku sebagai karyawan yang paling muda di cafe. Apalagi gajiku paling sedikit, karena aku kerja hanya paruh waktu dan hanya lima sampai enam jam saja. Tapi, Yuni dan ibunya sering memberi tambahan untuku, mungkin mereka tahu apa yang sedang aku alami sekarang.
^^^
Hari ini pekerjaanku sungguh melelahkan sekali. Banyak sekali pengunjung datang. Beruntung aku tidak sampai malam, karena memang jam kerjaku maksimal sampai jam sembilan malam. Aku bersiap-siap untuk pulang. Setelah selesai cuci muka, menata rambutku dan memoleskan bedak tipis di wajahku, juga memakai parfum favoritku, aku mengganti atasan seragamku dengan t-shirt yang aku bawa dari rumah. T-shirt warna abu muda sudah melekat di tubuhku.
Aku mendengar ponselku berdering. Aku melihat siapa yang memanggilku, mungkin Yuni atau Pitaloka, yang ingin dibawakan aku sesuatu saat pulang kerja.
Aku melihat nama yang tidak asing di layar ponselku. Nama paman Candra terlihat jelas di layar ponselku. Aku sampai lupa, dia pasti sudah menungguku di depan, karena dia bilang mau menjemputku pulang kerja. Aku lupa itu, dan aku kira dia hanya bicara saja. Toh, kadang dia juga melupakan sesuatu jika ibu menyuruhnya.
“Hallo.” Aku menyapa pamanku dengan malas-malasan.
“Om sudah di depan Cafe tempat kamu kerja.”
“Paman jemput Nana beneran, nih?”
“Iya, kamu sudah selesai kerja?”
“Iya, sebentar lagi Nana keluar, lagi siap-siap mau pulang.”
“Oke, Om tunggu kamu.”
“Hmmm....”
Aku mengakhirin panggilanku dengan paman. Rasanya malas sekali pulang dengan orang tak beradab itu. Lebih baik naik Kang Ojek untuk pulang, daripada sama orang gila itu. Aku takut paman semakin macam-macam.
Aku melihat cermin lagi. Aku melihat pantulan tubuhku terlalu seksi sekali di depan cermin. Apalagi t-shirt ku sangat ketat, celana jeansku juga ketat. Aku malam ini pulang dengan pamanku yang mata keranjang, dan paling tidak tahan melihat orang seksi. Bukan aku berpikiran negatif pada paman. Aku percaya sajalah, aku keponakannya, masa iya pamanku akan berbuat jahat sama keponakannya?
Sejenak aku berpikir lagi, saat aku memakai seragam kerja saja dia melihat aku seperti ingin menerkamnya, apalagi aku memakai pakaian seperti ini? Masa aku mau pakai baju kerja yang sudah bau keringat? Aku tidak suka, baju itu sudah kotor, meski aku belum mandi, aku tidak mau pakai baju yang sudah untuk bekerja selama berjam-jam.
Aku terpaksa memakai t-shirt yang sudah terlanjur menempel di tubuhku. Aku keluar dan aku pamit pada semua temanku untuk pulang.
“Nana, kamu ditunggu sama om-om di depan,” ucap Nabila padaku.
“Hush... sembarangan! Itu pamanku!” tukasku.
“Ups... maaf, habis gumush lihat wajahnya yang tampan. Kek om-om kaya raya,” ujarnya.
“Sembarangan kamu bilangnya. Dia adik ipar ibuku, Bil. Ya sudah aku pulang,” ucapku sambil berpamitan dengan yang lain.
Aku berjalan mendekati Paman Candra yang sedang melipat kedua tangannya di atas perutnya yang datar, dengan bersandar di depan mobilnya. Benar apa yang dikatakan Nabila tadi, kalau Paman Candra itu tampan. Malam ini terlihat seperti Sugar Daddy yang menggemaskan sekali, mirip di film-film yang biasa aku tonton.
Tatapan tajam seperti elang menatapku yang masih berjalan mendekatinya. Aku menyimpulkan senyum yang sedikit malas pada dirinya. Sungguh malas sekali. Aku padahal mau ke toko buku langgananku yang masih buka, tapi karena paman menjemputku, jadi aku mengurungkan niatku ke toko buku bekas langgananku.
“Maaf Nana lama,” ucapku saat sudah di depan paman.
“Kamu bawa baju ganti juga kalau kerja?” tanya paman dengan mengedarkan matanya melihatku dari ujung kaki hingga ujung kepala, dan tatapan kami berdua bertemu saat paman menatap wajahku.
“Iya, kenapa? Masa Nana pakai baju seragam yang sudah bau keringat,” jawabku.
“Om kira kamu mau pergi ke mana lagi setelah ini,” ucapnya.
“Memang tadi aku mau ke toko buku langgananku, tapi paman sudah menjemput ya sudah, kita langsung pulang saja,” jawabku.
“Biar om antar kamu ke toko buku. Kamu sudah makan malam?” tanya Paman.
“Belum, tadi jatah makan malamku enggak ku makan,” jawabku.
“Oke, kita ke toko buku, lalu setelah itu kita makan malam,” ajaknya.
“Enggak usah repot-repot, nanti kemalaman, kasihan ibu yang menunggu di rumah, eyang uti juga pasti khawatir,” ucapku.
“Sebentar om ngabarin ibu kamu,” ucapnya dengan mengambil ponselnya dan menelfon ibu. Paman benar-benar bilang sama ibu, kalau aku dengannya dan akan mengantarnya ke toko buku. Dan, terdengar ibu mengiyakannya.
“Sudah beres, kan?” ucapnya dengan tersenyum di depanku.
“Hmmm...” jawabku.
Paman melajukan mobilnya ke toko buku yang aku tunjukan. Aku memang suka berkunjung ke toko buku-buku bekas. Meski bekas, semua barangnya masih bagus, dan layak untuk di beli. Ada beberapa buku baru juga di toko Pak Iman. Ya, nama penjualnya adalah Pak Iman, aku adalah customer setia di tokonya dari aku SMP.
“Ini toko bukunya?” tanya Paman.
“Yups, betul sekali, aku ke sana dulu, ya?” ucapku.
“Ini kan toko buku bekas, Na?” ucapnya.
“Iya, lalu kenapa?” tanyaku.
“Kenapa enggak beli di gramedia saja, toko buku yang berkualitas,” ucapnya.
“Paman tahu, kan? Buat sekolah saja aku harus kerja sendiri, bagaimana bisa aku ke toko buku yang bagus? Yang penting dapat buku yang Nana inginkan, dan memang Nana butuhkan, bukan buku yang mahal,” ucapku. “Nana ke sana dulu, karena sebentar lagi mau tutup.” Aku keluar dari mobil paman.
Aku melihat Paman Candra ikut turun dari mobil. Dia mengambil rokok di sakunya, lalu ia menyulut sebatang rokok sambil menungguku memilih buku.
^^^
Setelah hampir lima belas menit aku memilih buku dan membelinya, aku kembali keluar dan menghampiri paman yang sedang menerima telfon dari seseorang.
“Sisca, Sayang.... oke om akan kasih yang kamu mau, temui om di restoran X. Om mau ke sana dengan Nana, keponakan, Om. Kamu tenang saja, dia tidak akan bilang dengan istri om.”
Aku tidak mengerti apa yang dicari pamanku ini. Wanita simpanannya banyak sekali dan selalu saja meminta uang paman. Iya sih, paman sekarang kerjanya enak. Tapi, tidak begini caranya, bermain wanita terus-terusan dan melupakan istri juga anak-anaknya.
Paman Candra memasukan ponselnya ke dalam saku celananya. Aku masih berdiri di sampingnya.
“Sudah?” ucapnya dengan merangkulku.
“Hmm... sudah,” jawabku.
“Kok cemberut?” tanyanya sambil merangkulku dan mengusap lengan atasku.
“Sampai kapan paman akan seperti ini? Siapa lagi Sisca? Kemarin Elsya, ini Sisca, dan paman masih dengan mamanya Vivi, kan? Tante Agustina?” ucapku.
“Ya, mau bagaimana lagi, Na. Bibi kamu orangnya susah diajak bercinta.” Jawabannya sungguh tidak masuk akan sama sekali. Hanya karena susah diajak bercinta, paman dengan gampang mengajak wanita lain untuk memuaskan nafsunya? Ini sungguh konyol sekali.
“Semudah itu paman melupakan janji suci paman dengan bibi? Paman punya Sekar dan Andi, paman kok tega, sih?” ucapku.
“Paman tidak tega sebenarnya, Na. Ya, mungkin kamu belum cukup dewasa mengerti ini. Mengerti apa yang paman hadapi dengan bibi kamu di atas ranjang. Sudah, kamu tidak perlu tahu soal paman dan bibi seperti apa, sehingga paman bisa seperti ini. Intinya, hanya kamu yang tahu, paman punya wanita selingan lagi di luar, dan tidak hanya satu. Kamu pegang rahasia ini. Bibimu hanya curiga paman dengan Sisca saja, wanita yang baru saja menelfon paman tadi,” jelas paman.
“Nana capek, Paman. Lihat paman seperti ini, bibi seperti itu. Kasihan bibi, Paman. Bibi kan udah bantu paman bekerja juga, kenapa masih disakitin,” ucapku.
“Ya, seperti tadi paman katakan, hubungan paman dan bibi di ranjang kurang baik. Sudah, paman lapar, kita ke restoran, dan nanti Sisca akan menemui paman. Kamu tidak usaha bicara macam-macam, oke....” Paman mengusap kepalaku dan mengacak-acak rambutku. Aku hanya menarik napasku dengan berat, dan menuruti saja apa kata Paman Candra.
Sungguh aku sangat berdosa sekali, membiarkan pamanku menemui wanita lain, yang tak lain adalah selingkuhannya. Aku kasihan sama bibi, aku bisa merasakan bagaimana sakitnya jadi bibi kalau tahu soal ini. Paman bilang padaku, kalau paman sampai membelikan satu unit apartemen untuk Sisca. Sungguh ini sudah keterlaluan, sedangkan Sekar dan Andi paman telantarkan. Padahal Sekar mau masuk SMP sebentar lagi, dia juga memiliki cita-cita yang sama denganku, ingin menjadi seorang dokter.
Sekar memang anak yang pandai, dia selalu dapat peringkat pertama. Dia sekarang sudah kelas enam SD, dan tahun depan akan masuk SMP. Ayahnya seperti ini, mengurusinya wanita simpanannya. Sampai kadang Sekar ditelantarkan dan bibi banting tulang bekerja sebagai perawat di rumah sakit swasta. Andi yang masih kecil seusia Pita, juga jarang mendapatkan perhatian dari paman. Entah sampai kapan paman akan seperti ini. Aku tidak tahu. Ingin rasanya aku menyadarkan dia dari perbuatan laknatnya. Tapi, aku masih terlalu dini untuk mengurusi masalah orang dewasa.
Benar kata paman, aku tidak usah tahu terlalu dalam soal ini semua, karena ini urusan orang dewasa. Tapi, aku harus menutupi kebejatan paman, aku harus menutupi dosa paman, dan aku harus melihat penderitaan bibi yang terus disakiti paman. Bagaimana cara menyadarkan paman? Aku tidak tahu, karena mungkin aku masih belum tahu soal masalah rumah tangga.