"Mas Ilyas..., nanti ikut yuk kita barengan sama adik-adikmu jalan-jalan di mall. Sudah lama bunda gak jalan bareng kalian semua. Sekalian Iyah mau main ice skating katanya." Rania berusaha merayu sulungnya yang malas jika diajak pergi ke mall, bertolak belakang dengan Yasa, si adik kembarnya.
Ilyas melihat ke arah bundanya yang sudah tampak cantik, dengan ragu. Moodnya hilang gegara kejadian kemarin. Niatannya hendak mengajak Alya jalan-jalan ke toko buku jadi gagal karena papa mama Mawar berkunjung sampai sore. Entah apa yang mereka obrolkan hingga bisa selama itu. Ilyas malahan permisi dengan alasan hendak istirahat, setelah menemani selama satu jam.
"Harus banget ya bun hari ini?"
"Kan bunda sama papa bisa berkumpul bersama kalian ya kalau sedang libur gini. Mumpung hari minggu, Yasa juga lagi senggang. Mas kenapa? Gak mau ikut ya?" Rania memasang mimik sedih, biasanya trik itu pasti akan berhasil pada Ilyas, yang tak pernah tega padanya.
"Atau Mas sudah ada janji?"
"Enggak kok bun, cumaaa... mas lagi malas." Alya belum membalas pesan yang dikirimnya dari kemarin, padahal sudah tercetak dua centang biru. Ditelpon juga gak diangkat. Entah kenapa.
"Ooh... gitu ya..., ya sudah kalau gitu bunda juga gak jadi berangkat. Biar Iyah sama Yasa saja." Rania beranjak berdiri, dengan wajah (dibuat) sesedih dan sekecewa mungkin, tapi dalam hatinya, sambil melangkah dia berhitung, satu.. dua... tiga... empat... li...
"Eeh jangan bun... Ilyas ikut... jangan dibatalin."
Tepat di hitungan kelima, sebelum dia mencapai pintu kamar Ilyas, Ilyas berteriak padanya agar jangan membatalkan acara jalan-jalan itu.
Yaa... Ilyas tidak akan pernah tega padanya. Padahal mah dia selalu memasang wajah sedih dan kecewa tiap kali Ilyas berniat menolak ajakannya untuk keluar bersama, tapi sepertinya Ilyas tidak pernah menyadari itu. Atau pura-pura tidak menyadarinya. Karena bagi Ilyas, apalagi selama dia belum menikah, Rania adalah yang terutama, kemudian Iyah dan Icha, dua adik perempuannya. Sudah cukup bagi Ilyas melihat Rania menangis. Jadi dia tidak mau membuat sang bunda menangis lagi.
"Bunda tunggu ya Mas, lima belas menit lagi kita berangkat." Jawab Rania dengan nada riang.
Di ruang makan, Yogi geleng-geleng kepala.
"Kamu pasti pakai mimik wajah sedih dan kecewa itu ya, bun, biar Ilyas mau ikut?" Tanyanya sambil memeluk Rania mesra.
"Iyaaalaaah... Ilyas kan gak pernah tega melihatku sedih."
"Jangan suka dimanfaatin bun, kasihan Ilyas." Kata Yogi bijaksana.
"Bunda mah sudah biasa begitu pah..." Terdengar celetukan dari belakang. Ilyas! Dia bukannya tak tahu Rania memanfaatkan kelemahannya, tapi dia memang juga sudah berjanji pada dirinya sendiri dan almarhum sang ayah, akan selalu membahagiakan Rania dan Iyah. Dan dia akan menepati janjinya itu. Baginya, ketiga perempuan itu yang terutama dalam hidupnya.
"Icha mau sama papa atau sama Mas Ilyas?" Tanya Yogi pada putrinya yang masih berusia empat tahunan.
"Cama Mas..." dan segera saja Icha memeluk kakak tampannya itu erat-erat. Ilyas menggendong Icha penuh sayang. Diciuminya pucuk kepala adik bungsunya itu. Beda usia tujuh belas tahun antara dia dan Icha, membuatnya yang terbiasa mengurusi Iyah, sudah semakin ahli mengurusi Icha.
"Icha mah kalau ada Mas Ilyas aja, papa gak laku. Papa sedih nih." Yogi berpura menutup mata dan menangis, membuat Icha jadi tampak kebingungan, antara mau ikut Yogi, psang papa, atau Ilyas, kakak tersayangnya.
"Huwaaa... papa angan angis... cup cup..." Kata Icha mulai terisak, menepuk pundak papanya, tapi sambil tetap digendong Ilyas. Yogi membuka tangannya dan menciumi Icha, membuat balita itu menjerit kegelian. Ilyas tersenyum melihat adegan itu. Sekilat, ada rasa iri, menyusup di hatinya. Nino, almarhum ayahnya, sebelum selingkuh dengan Niana, adalah seorang ayah yang perhatian pada anak kembarnya. Tapi sayangnya, dia terpeleset. Melupakan apa yang dia dan Rania punyai selama delapan tahun pernikahan mereka.
Sedangkan Yogi seorang papa yang sangat baik, tidak hanya pada Icha, tapi pada mereka bertiga. Ilyas, Yasa dan Iyah, yang notabene bukanlah darah dagingnya. Tapi Yogi berusaha untuk bisa menempatkan dirinya, kapan berposisi sebagai seorang bapak dan kepala keluarga, kapan berposisi sebagai seorang teman. Bersyukurlah Rania mendapatkan Yogi sebagai pengganti Nino, untuk ikut membimbingnya merawat anak-anaknya. (Yang belum tahu kisah Rania - Nino - Ilyas, sebelum baca Ilyas : "Man of Honor"; ada baiknya membaca Karma : Nino - Rania - Niana, di Dreame.com, search akun rieka tresna)
"Icha kok maunya sama Mas Ilyas aja sih?" Yasa berpura protes.
"Cha, angen ama Mas Yas." Jawab Icha lucu, kemudian mencium manja pipi Ilyas yang masih setia menggendong balita montok itu.
"Icha ama Mas Yasa aja yuk, Mas kan juga kangen sama Icha. Mas Yasa pingin gendong juga loh." Yasa kemudian mengulurkan kedua tangannya bermaksud untuk menggendong Icha. Tapi balita montok itu memiringkan tubuhnya, tanda menolak dan memeluk leher Ilyas erat sampai Ilyas terbatuk-batuk.
"Mamau, Cha mamauuu!!! Mas Asa akalll!"
"Looh yang nakal bukan Mas Asa, tapi Mbak Iyah!" Yasa tidak mau kehabisan akal. Iyah yang mendengar namanya disebut dengan tidak hormat, langsung saja meninju lengan kakaknya itu.
"Kok aku dibawa-bawa sih? Makanya jangan suka iseng sama Icha, bayi tuh tahu mana yang iseng mana yang tulus. Ya... Cha..." Kemudian Iyah juga menciumi tubuh Icha yang masih harum khas bayi. Tentu saja Icha kegelian.
"Icha udah gak bayi lagi. Udah empat tahun juga." Tetap saja Yasa protes.
"Sudah.. sudah... gak papanya, gak kakaknya, semua sukanya iseng sama Icha. Makanya dia nempelnya sama Mas Ilyas doang tuh. Hayuk buru jalan, keburu mall ramai, bunda udah lapar ini." Rania segera saja menengahi keributan itu.
"Pah, aku saja yang nyetir ya." Yasa segera mengambil kunci mobil Pajero sport sang papa dan sigap menjadi supir. Sementara Ilyas dengan setia memangku Icha di bangku penumpang, bersebelahan Rania. Iyah segera saja duduk di baris paling belakang, asyik dengan gadgetnya sendiri.
Rania selalu senang jika bisa kumpul seperti ini, karena kedua anak kembarnya lebih sering menghabiskan waktu di Bandung. Makanya Icha selalu nempel ke Ilyas saat Ilyas pulang ke rumah. Apalagi Ilyas juga sering ke bengkel, bahkan menginap. Baru pulang ke rumah bundanya setelah Rania menelpon atau Icha menelpon dengan bahasa bayinya mengomel karena kangen sang kakak.
Di mall yang ada arena ice skating itu, Icha digendong sang papa yang jalan bersisian Rania dengan mesra. Ilyas beberapa kali terlibat obrolan dengan Yasa dan Iyah. Yasa yang memang periang, membalas sapaan beberapa gadis yang melihat ke arah mereka dengan penuh minat. Tapi itu tentu saja membuat Ilyas tidak nyaman. Dia tidak pernah merasa nyaman jika menjadi obyek, pelototan gadis-gadis, atau bahkan ibu-ibu yang memintanya menjadi mantu.
Usai makan siang bersama, Iyah merajuk ingin segera main ice skating.
"Bun..., ayuuk Iyah mau main ice skating. Anterin bun..." Rayunya.
Rania bingung, karena Icha yang sudah tampak mengantuk di gendongannya. Padahal dia juga ingin berbelanja kebutuhan bulanan rumah.
"Tapi ini Icha ngantuk. Bunda gak bisa ke arena ramai gitu sambil bawa Icha."
"Iyah biar ke arena ice skating sama Yasa bun, Icha sama Mas saja. Lagian Mas mau minum kopi dulu deh. Bunda sama papa bisa belanja kan?" Kata Ilyas memberi solusi. Dia terbiasa merawat adik-adiknya, tidak masalah jika harus menjaga Icha tidur. Apalagi Icha gak rewel, dan lengket dengannya.
"Asyyiiiik... yuk Mas Yasa... banyak cewek cantik loh."
"Tapi kan Mas Yasa gak bisa main ice skating Iyaaaah..." Yasa masih keberatan. Dia memang tidak mahir main ice skating. Pernah belajar dua kali tapi kepleset melulu, jadi malu dan kapok deh.
"Mas Yasa mah bisanya mainin perasaan cewek-cewek aja sih! Udah buruan...! Atau Mas Yasa jagain Icha terus aku main ice skating sama Mas Ilyas?" Iyah menantang Yasa, dia menaikturunkan alisnya.
"Waduuuh... iyaa deh, Mas Yasa nemenin kamu aja." Icha memang tidak rewel, tapi Yasa tidak terbiasa mengurus bocah seperti Ilyas yang terbiasa mengurus ketiga adiknya. Mendingan dia menemani Iyah dan jatuh di arena ice skating, daripada nanti Icha ngambek karena bangun tidur tidak ada bunda, papa atau Ilyas.
"Instrukturnya cakep loh Mas." Lanjut Iyah.
"Asyiiik... bisa kenalan dong." Jawab Yasa, matanya berbinar.
"Tapi cowok... hahaha..." Iyah segera saja berlari sebelum Yasa tambah mengomel.
Rania dan Yogi geleng-geleng kepala melihat kelakuan keduanya.
"Mas Ilyas, bunda tinggal dulu ya. Kalau Icha bangun, pesan makanan saja buatnya. Jangan yang manis-manis."
"Iya bun... tenang aja. Icha mah anteng kan, gak rewel."
"Mas Ilyas mah sengaja jagain Icha biar gak digodain cewek-cewek ya? Biar dikira hot daddy gitu?" Bisik Rania dan dihadiahi cengiran Ilyas, tidak menyangka Rania tahu niatannya menjaga Icha. Rania mengedipkan sebelah matanya, menerima uluran tangan Yogi dan segera saja pergi dari tempat makan siang itu. Meninggalkan Ilyas bersama Icha yang pulas tertidur di pelukan Ilyas. Icha kalau tidur siangnya dipeluk gitu, entah sama Rania, Yogi atau Ilyas, tidurnya bisa lebih anteng dan lama. Mungkin karena merasa nyaman dipeluk.
Ilyas merasa nyaman-nyaman saja memeluk Icha yang tertidur pulas. Bahkan dia bisa jadi aman karena bebas dari gangguan gadis-gadis yang melihatnya penuh minat. Tidak hanya makhluk berjenis kelamin perempuan yang melihatnya penuh minat, yang berjenis kelamin laki-laki juga kadang melihatnya dengan penuh minat, mengedipkan sebelah mata, melebihi kecentilan gadis-gadis itu. Membuat Ilyas bergidik ngeri. Bagian mana dari dirinya sih yang membuat mereka itu, para gadis dan non-gadis, menatapnya penuh minat? Dia merasa dirinya biasa saja kok, secara fisik dia memang jangkung, mengikuti gen ayahnya. Hidung mancung, bibir merah karena tidak merokok ataupun terkena barang haram lainnya, mata tajam dan berkulit putih bersih. Lagi-lagi karena gen ayahnya. Terkadang karena kulit putihnya itu membuatnya harus sering tanning dengan cara alami, diving.
Sesekali dia merasa iri dengan kulit Rania yang kekuningan. Atau Yogi yang kecoklatan. Itulah kenapa kulit Icha tidak seputih ketiga kakaknya, Icha cenderung berkulit coklat. Tapi Ilyas lebih suka itu, lebih manly, menurutnya. Tidak ada yang berlebihan di dirinya, menurutnya. Tapi kenapa semua orang menatapnya penuh minat?
Seperti sekarang, ada beberapa gadis yang terus mencuri pandang ke arahnya. Bahkan dia malah mendengar mereka bisik-bisik, "Ouucch hot daddy.. hot daddy... duuh beruntung banget istrinya ya, nih laki mau ngejagain baby mereka, terus si istri jalan-jalan di mal. Gue mau dong jadi istri mudanya."
Ilyas langsung mendelik mendengarnya, semakin mengeratkan pelukannya ke Icha dan menciumi lembut rambut lurus Icha, membuat Icha menggeliat sebentar, membuka matanya yang masih sangat mengantuk, tapi saat melihat Ilyas tersenyum lembut padanya dan membenarkan posisi Icha agar jadi lebih nyaman, Icha kembali tertidur. Tapi ternyata kegiatannya itu malahan membuat gadis-gadis dan non-gadis semakin kagum padanya.
Tak berapa lama, ada seorang ibu yang mendekatinya, menarik kursi yang ada di depannya perlahan agar tidak membangunkan Icha. Ilyas melihat ke arah ibu itu dengan pandangan heran.
"Maaf... ibu siapa?" Tegurnya halus.
"Dek, lagi momong ya?" Ibu itu mengabaikan pertanyaan Ilyas.
Ilyas mengangguk sambil sedikit tersenyum. Dia tetap harus menghormati orang yang lebih tua kan?
"Waah... adiknya kan itu baby? Mau gak jadi menantu saya?" Ibu itu tanpa malu segera saja menodong Ilyas.
"Itu anak gadis saya duduk di situ." Lanjutnya sambil menunjuk ke arah seorang gadis cantik yang sedang duduk manis, melihat ke arah Ilyas sambil nyengir. Tak menyangka sang mama nekat mendekati pemuda tampan yang sedang menjaga baby lucu.
Ilyas yang tidak menyangka akan ditodong pertanyaan seperti itu hanya dapat mendelik kaget, dan sedikit terbatuk, membuat Icha agak kaget tapi tetap tertidur.
Astagfirullah... nih emak-emak ya... lebih nekat daripada mamanya Mawar.
"Euum... in... ini... anak saya kok bu. Bundanya lagi belanja. Saya yang gantian jagain." Duuh maafkan hamba Ya Rabb, jadi bohong deh. Tapi kan memang bundanya Icha - yang juga bundanya- lagi belanja kan?
Ibu itu kecewa dan segera meninggalkan Ilyas. Anak gadisnya terlihat menangkup kedua tangan di depan dadanya, seperti mohon maaf. Ilyas mengangguk.
Ilyas yang mati gaya, segera saja sibuk membaca buku yang sempat dia bawa. Peduli amat sama gadis-gadis itu. Hatinya sudah ada pemilik, Alya!
Aah Alya... kenapa pesanku belum dibalas juga sih? Apa dia marah gegara kemarin gak jadi ke toko buku?
Sesekali Ilyas melirik ke arah gawai yang diletakkannya di meja. Alya masih saja belum menghubunginya. Biarlah nanti sepulang dari jalan-jalan, dia akan ke rumah Alya.
Sekira sejam setengah kemudian, Icha menggeliat dan benar-benar terbangun. Matanya yang bulat seperti Rania, sekarang tampak bersinar, tidak ada tanda-tanda ngantuk lagi.
"Icha mau maem?" Tanya Ilyas lembut sambil mengelus rambut Icha penuh sayang. Kembali didengarnya celetukan heboh gadis-gadis di depannya. Yang terus terang memujinya. Tapi dia segera terselamatkan, karena Iyah dan Yasa sudah datang dan langsung aja berebut makan dengan Icha. Membuat Ilyas mengomel, minta agar kedua adiknya itu pesan makan sendiri.
Tak lama, Rania dan Yogi juga datang membawa belanjaan. Yogi meraih Icha dari gendongan Ilyas. Kemudian keluarga lengkap itu segera menuju parkiran. Ilyas dan Yasa kebagian tugas membawa belanjaan Rania.
"Eeh Mas Ilyas, itu kok kaya Mbak Alya ya?" Celetuk Iyah, melihat tak jauh di depannya, ada seorang gadis berhijab akan masuk ke mobil.
Reflek, Ilyas menoleh ke arah yang ditunjuk Iyah. Dan memang benar itu Alya, tapi.... siapa laki-laki yang bersamanya? Ilyas mendidih melihat pemandangan itu. Ada seorang lelaki dewasa, yang membimbing Alya masuk ke mobil.
Pantas saja dia tidak membalas pesanku!