Ilyas 12

1370 Kata
Keesokan hari, siang menjelang dhuhur, Ilyas dengan agak berat hati mengantarkan si putih ke rumah Mawar. Kenapa berat hati? Karena sebenarnya dia ada janji akan menemani Alya ke toko buku, tempat langganan untuk mereka menghabiskan waktu berdua, eeh berbanyak orang karena toko buku pasti ramai pengunjung. Yasa beralasan menemani teman mereka keliling Jakarta. Jadilah Ilyas menunda janji bertemunya dengan Alya, hanya diundur beberapa jam sih. Semoga saja sejam-an lagi mereka sudah bisa berangkat ke toko buku. Ilyas ingin menjelaskan peristiwa semalam. Memang sih Alya tidak akan tahu, tapi dia merasa ada sesuatu yang mengganjal jika dia tidak cerita pada Alya. Bagaimanapun juga, Ilyas ingin membangun hubungan mereka berdasar pada kejujuran, dan kesetiaan tentu saja. Beruntung si putih mewah itu tidak apa-apa. Hanya perlu perbaikan minor saja. Tapi biarkan saja untuk full service, si empunya mobil yang bawa ke bengkel resmi. "Assalamualaikum..." Ucap Ilyas pada tuan rumah, setelah asisten rumah tangga membawanya ke ruang keluarga. Dia juga heran, kenapa asisten rumah tangga malah membawanya ke ruang keluarga, bukannya menyuruhnya menunggu dengan manis di ruang tamu. Toh, niatannya hanya mau mengembalikan mobil. "Waalaikumusalam..." Suara tiga orang terdengan menyahut bersamaan. Bapak dan Ibu Hartono serta Keny yang tampak serius berbincang. "Eeeh nak Ilyas. Nah, panjang umur, ini pah yang tadi mama cerita. Nak Ilyas ini yang menolong kakak tadi malam. Sini.. sini nak Ilyas... duduk sini." Bu Hartono menepuk-nepuk sofa yang kosong di sebelahnya. Ilyas menelan ludah, antara ragu, malu dan takut tentu saja. Bu Hartono memang hangat dan akrab, berlebihan malahan, tapi layaknya seorang ayah pada umumnya, Pak Hartono biasa saja. Dia bahkan memindai pemuda tampan yang ada di hadapannya ini dari atas sampai kaki, ke atas lagi. "Maaf tante, tapi... terima kasih. Saya tidak bisa lama-lama. Maksud saya ke sini mau mengembalikan mobilnya Mbak Mawar. Alhamdulilah mobilnya baik-baik saja. Tapi untuk lebih pastinya, lebih baik dibawa ke bengkel resmi." Ilyas mengulurkan kunci mobil mewah itu. Tapi tidak ada respon dari ketiga orang yang ada di depannya. "Pak, bu..., makan siang sudah siap." Terdengar suara asisten rumah tangga yang memecah keheningan. "Dari mana kamu tahu kalau mobilnya baik-baik saja? Kamu seorang ahli mobil?" Pertanyaan dengan nada sinis terucap dari bibir Pak Hartono. "Papa... tadi kan Keny sudah bilang, kalau Kak Ilyas nih punya usaha bengkel. Pastinya Kak Ilyas tahu lah mobil Kak Mawar baik-baik saja atau tidak." Keny menggerutu karena merasa sang papa tidak mendengar penjelasannya tadi. "Sudah... sudah, ngobrolnya nanti saja. Sekarang kita makan dulu. Pasti Nak Ilyas juga belum makan kan? Ayuk, kita makan bersama ya. Jangan malu-malu. Yuk..., Keny kamu ajak papa ya." Bu Hartono dengan riang segera menarik tangan calon mantu idamannya itu. "Eh.. eh.. tapi tante, saya......" Hei...., dia punya janji makan siang dengan Alya. Itu juga yang membuatnya menolak tawaran makan siang sang bunda. "Ndak ada tapi-tapian. Kita makan siang sambil ngobrol, yuk. Sini..., sini... duduk sini." Tetap saja Bu Hartono tidak mempedulikan keberatan Ilyas, ditepuknya kursi makan di sebelahnya. Hingga Ilyas duduk bersisian dengannya, sedangkan Keny bersisian sang papa. Setelah memberikan piring berisi nasi dan lauk pauk pada suaminya, sekarang gantian Bu Hartono bertanya pada Ilyas, yang sudah duduk dengan gelisah di kursi makan itu. Bayangkan, dia duduk berhadapan dengan kepala keluarga Hartono. Kenapa berasa dia akan disidang sih? Dia kan tidak ada maksud untuk melamar Mawar, kedatangannya ke rumah mewah itu karena dia ingin mengembalikan mobil. Sudah itu saja! "Nak Ilyas mau makan pakai lauk apa? Mau pakai gurame saus telur asin? Atau ayam goreng? Sayurnya apa? Ini ada kangkung belacan, enak banget loh. Kata bapak sih... Eh tante ambilin semua aja ya, dikit-dikit kok, gampang nanti kalau mau nambah. Anak muda tuh harus makan banyak dan berguzi." Ucap Bu Hartono yang dengan semangat menyendok lauk pauk ke pirong Ilyas. Ilyas kaget melihat isi piring makannya. "Sudah tante, cukup. Segitu cukup." Kalau tidak habis kan mubazir tentunya. Dosa. Setelah sepuluh menit yang menyiksa karena terpaksa makan, akhirnya si keheningan seperti biasa dipecah oleh sang mama. "Nambah loh ya, nak Ilyas. Masih banyak banget ini." Bu Hartono sigap berdiri dan hendak mengambil lauk tambahan untuk Ilyas yang tentu saja langsung ditolak. "Tidak tante, ini beneran sudah cukup." "Loh kamu kan masih masa pertumbuhan, jadi harus banyak makan makanan bergizi." "Yang masa pertumbuhan tuh aku mah, Kak Ilyas udah mentok kali mah." Gerutu Keny. "Bukan tinggi badan doang, Keny, tapi yang lain kan juga dalam masa pertumbuhan. Iya kan nak Ilyas?" Kata Bu Hartono sambil mengedipkan sebelah mata dan terkikik. Hanya dia saja yang tahu apa maksud perkataannya. Pantas saja Mawar gesrek, turunan dari mamanya ternyata. "Tadi kamu bilang punya usaha bengkel?" Akhirnya suara berat itu terdengar memberi pertanyaan. "Iya pak. Benar." "Memangnya kamu gak sekolah? Keny cerita katanya kamu mengurus bengkel itu sudah dari beberapa tahun ini." "Iya pak, menggantikan almarhum ayah saya. Dari semenjak saya SMA, saya sudah ikut mengelola bengkel. Sebentar lagi saya menyelesaikan studi strata satu saya." Jawab Ilyas, tegas. Dia tidak mau diremehkan. Memangnya kenapa kalau usahanya bengkel? Bundanya memang bukan orang yang berlebihan materi, tapi mereka tidak pernah kekurangan, baik materi maupun kasih sayang. Rania sangat memperhatikan mereka. "Kuliah di mana?" "Di ITB pak, teknik mesin." "Oooh.... bagus.. bagus... Saya suka dengan anak muda yang sudah bisa mencari penghasilan sendiri tanpa perlu menengadahkan tangan pada orang tuanya. Saya suka itu. Iya mah, mama benar, dia cocok." Suara Pak Hartono berubah jadi jauh lebih ramah. Cocok? Untuk....? Hanya terlihat Keny yang cengar-cengir saja. "Tuh kan, apa mama bilang? Mama pintar kan pakai ilmu cocokologi hihi..." Kembali terdengar kikikan si mama. Ilyas yang tidak mengerti, hanya dapat menggaruk kepalanya saja, sambil berusaha menghabiskan makan siangnya. "Mama papamu kerja apa?" Mulai deh interogasi. "Bunda saya dosen di sebuah universitas dan konsultan ahli lingkungan. Kalau papa saya, bekerja di Kementrian Lingkungan Hidup, sebagai staf ahli." "Oooh... pantas, memang dari keluarga pintar ya?! Hmm.. hmm... saya suka itu! Genetis yang bagus." "Terus Kak Ilyas katanya mau langsung lanjut S-2 ya? Di situ juga kak?" Tiba-tiba Keny ikut nimbrung percakapan. "Insya Allah, doakan ya." Ilyas tersenyum lembut pada Keny, mengingatkannya pada Iyah, adik perempuannya. "Bagus itu! Jadi masa depan anak saya terjamin. Saya suka itu." Lah yang jadi anaknya siapa, yang terjamin siapa? "Kalian yang muda harus mempunyai cita-cita yang tinggi. Jangan hanya puas pada apa yang didapat sekarang. Kalau memang ada kemampuan, ya lebih baik maju sejauh mungkin. Seperti kata pepatah, tuntutlah ilmu walau sampai negeri Cina." "Papa mah itu pepatah udah basi pah." Celetuk Keny mengingatkan papanya. "Haa basi? Kenapa bisa basi?" "Di luar zonasi keleuusss paaah... hahaha..." Bapak ibu dan anak itu tertawa, hanya Ilyas yang tersenyum kecil, tidak menyangka lelucon garing itu bisa menimbulkan tawa hangat di keluarga gesrek ini. "Nak Ilyas sebentar lagi mau wisuda ya katanya?" "Iya tante..." "Kapan tuh wisudanya? Butuh PW tidak?" Tanya Bu Hartono dengan mata berbinar. "Kenapa mah?" Malah Keny yang bertanya, penasaran. "Kan kita bisa ke Bandung pas Nak Ilyas wisuda, sekalian kita jalan-jalan ya pah." Pak Hartono tampak manggut-manggut, seperti setuju dengan ide absurd istrinya itu. "Eeh tapi undangan terbatas tante, maaf." "Yaaah, terbatas ya? Tapi tenang, kalau undangan pernikahan kalian nanti kita akan buat tidak terbatas ya pah? Kan kita belum pernah mantu sama sekali. Wah, pasti ramai banget." Ha... undangan pernikahan? Memangnya siapa yang mau menikah? Tambah lama aku di sini, otakku ikutan bergeser dari tempat yang seharusnya nih. "Om, Tante..., terima kasih jamuannya, saya sudah kenyang. Saya mau pamit dulu. Saya..." "Loh kok buru-buru sih? Eh Nak Ilyas mau pulang ya?" "Iya tan..." Jawab Ilyas jujur, walau perasaannya tiba-tiba tidak enak, entah kenapa. "Tante dan Om mau berkunjung ke rumah Nak Ilyas. Mawar kan disuruh dokter istirahat dulu, nanti mah dia bisa ke rumah Nak Ilyas sendiri. Tapi sekarang tante dan om mau berkunjung ke rumah Nak Ilyas, untuk berterima kasih." "Eeh.. euum.. tapi tidak perlu tan... habis ini saya a..." "Ayok pah, kita ikut ke rumah Nak Ilyas. Keny di rumah aja ya, tungguin kakak!" Bu Hartono tidak memperdulikan penolakan Ilyas. Segera saja dia meminta suaminya untuk bersiap agar bisa segera ke rumah Ilyas. Ilyas kembali menarik nafas panjang. Dikeluarkan perlahan agar tidak ada yang curiga bahwa dia tidak suka ide ini. Batal sudah janjinya hari ini dengan Alya. Dan entah apa yang akan terjadi, semoga saja bundanya tidak berpikir macam-macam, karena ia kembali ke rumah membawa mama papa Mawar.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN