Elisa

1097 Kata
Mendengar sang istri mulai memperlihatkan taringnya, Ammar kembali mendekat dan membujuk sang istri dengan suara lembut “Kenapa harus membicarakan dengan lawyer sih, Sayang?” Tanya Amar kembali mendekat ke arah sang istri. ”Hmm…menurut kamu gimana? Apa gak perlu kita konsul gitu, Kak?” Tanya Kinanti menikmati ekspresi kesal sang suami yang coba dia tutupi. “Lagian sudah berapa lama aku tidak ketemu lawyerku, sangat lama sekali. Sekalinya ketemu aku tidak pernah mengobrol dengannya. Aku ingin membicarakan perkembangan semuanya.” Tegas Kinanti. ”Ya, menurut aku. Kalau emang mau konsul seperti biasa ke Elisa aja…” ucap Amar dan seketika membuat otak Kinanti berfikir keras. ”Ke Elisa, ya?” Ulang Kinanti membuat Amar menganggukkan kepala. ”Iya, Sayang. Seperti biasa. Kan selama ini kalau ada sesuatu kita konsul ke Elisa sebelum ke pak Ponan. Kamu tahu sendiri kalau pak Ponan itu sibuk sekali. Beliau selain menangani Wangsa Group, beliau juga lawyer yang populer bukan?” Ucap Amar membuat Kinanti menganggukkan kepala. ”Iya, juga sih, Kak. Lagian kalau di inget lagi, lebih enak kita komunikasi sama Elisa, ya? Selain dia emang bagian dari Wangsa Group, dia juga satu sekolah dengan kamu, kan?” Tandas Kinanti membuat wajah Amar menegang sejenak. ”Hmm…enaknya gini, kalau kita kenal orang yang paham hukum ya kan, Kak?” Kinanti berusaha mengalihkan ketegangan sang suami. ”I-iya…makanya aku selalu bahas apa-apa sama Elisa. Biar gak ngerepotin pak Ponan. Biar Elisa yang bantu kita. Lagian dia kan udah dibantu selama ini sama Wangsa Group. saatnya dia mengabdi ke Wangsa Group. Itu menurut aku sih, Sayang…” Kinanti menganggukkan kepalanya. “Oke, Kak. Pokoknya sebelum aku pulih, tolong bantu pantau aktivitas perusahaan, seperti biasa, ya? Dan sepertinya senin ini aku mau mengunjungi Wangsa Group.” Tegas Kinanti membuat Ammar menegang. ”Ka-kamu mau apa ke kantor, Sayang? Kamu itu masih sakit, tar kalau sudah pulih baru kamu kalau mau terjun mengurus perusahaan silahkan…” ucap Ammar dengan menahan nafas agar tetap stabil nada suaranya. ”Hmm…iya juga sih, ya? Aku masih sakit…” Kinanti tertawa mencairkan suasana, dia memang mencari celah untuk keluar dari rumah setidaknya dengan begitu dia bisa meminta bantuan orang lain dan menanyakan mengenai kakinya yang sudah mulai bisa merespon rasa walau masih kaku dan belum bisa di gerakkan untuk berjalan normal. ”Nah, makanya. Tar kalau kamu sudah pulih, malah aku pengen kamu yang mimpin perusahaan, demi melanjutkan visi misi kedua orang tuamu.” Jawab Ammar lagi dan terlihat bernafas lega. ”Astagaaa…entah apa yang aku pikirkan akhir-akhir ini, kenapa aku sedikit error ya? Di tambah kehadiran anak itu semakin membuatku sensitif sekali dan merasa sesak di rumah ini…” ucap Kinanti mengusap kepalanya dan menggeleng seolah diriya adalah masih Kinanti yang polos. ”Iya, kamu rada aneh belakangan emang. Cuma aku mikir mungkin karena kamu bosen dirumah, makanya aku pengen ngajakin kamu libura ke puncak. Gimana?” Tanya Ammar mengulang pertanyaan. “Hmm…entahlah, Kak. Aku pusing mikirnya, mending sekarang aku mau istirahat dulu, kamu ajakin deh Vanya bermain. Aku tadi terlalu kasar dengan dia. Aku merasa bersalah..” ucap Kinanti dengan mimik sedih. “Yasudah, kamu jangan kawatirin Vanya, aku yang akan nanganin dia. Kamu fokus pada penyembuhan kamu aja, oke? Aku akan temenin Vanya bermain bentar, ya?” Ucap Amar dengan tenang. ”Oke, Kak.” Ucap Kinanti dan akhirnya Amar melangkah menuju pintu. “Kak,” panggilnya lagi membuat Amar kembali menahan langkahnya. ”Kenapa lagi, Sayang?” Senyum terpaksa di lukiskan diwajah tampannya. “Maaf, ya? Kalau hari ini aku buat kegaduhan. Kamu padahal capek kerja siang malam, bantuin perusahaan keluargaku, aku malah gangguin dengan sikap kekanakanku…” jawab Kinanti dengan tenang dan sengaja menggunakan kata-kata yang menyindir. ”Gak masalah, Sayang. Semua yang buat kamu nyaman harus kamu lakuin. Yaudah, kakak nemenin Vanya dulu keluar, ya?” Ucap sang suami dan langsung mendapat anggukan Kinanti. Begitu pintu tertutup, seketika Kinanti bernafas lega, dia berusaha terus menggerakkan kakinya, tapi masih belum bisa. “Apakah harus ada teraphy medis agar otot yang telah lama tidak di gerakkan ini bisa bereaksi kembali? Bagaimana aku menghadapi rencana busuk mereka. Sedangkan kak Amar benar-benar membatasi komunikasiku dengan orang luar. Aku pikir dia tulus seperti yang selama ini dia katakan. Nyatanya dia menyusun rencana besar dibalik topeng yang dia pakai selama ini. Elisa? Sudah pasti dia terlibat.” Gumam Kinanti dengan suara berat. Dia memutar otaknya agar berfikir keras agar mencari jalan keluar untuk dirinya. Sementara diluar kamar, tepatnya di kamar sebelah, dimana Nissa. Terlihat sang pengasuh sedang berdebat dengan pria yang telah memberikan momongan. “Sayang, bagaimana ini? Kalau misalnya Kinanti gak nerima Vanya gimana?” Tanya Nissa dengan kesal. ”Niss, kamu gak perlu tinggi gitu nadanya ke aku. Aku juga g pengen Kinanti menolak, tapi apa? Dia tiba-tiba menjadi sensitif dan teliti. Makanya aku juga gak mau maksain bawa anak ini kesini dulu. Kamunya yang ngotot!” Ketus Amar dengan mata membesar, membuat sang anak yang melihat pertengkaran kedua orang tuannya langsung mendekat ke arah sang ibu. ”Mama…papa marah kenapa?” Tanya sang anak dengan wajah tertunduk. “Anyaa takuut…” bocah kecil itu menundukkan kepalanya dengan memainkan jari. ”Mar, sudahlah. Nanti kita berdebatnya, ini di depan anak kita. Kamu mau dia kena mentalnya?” Ketus Nissa lagi dengan kesal sembari memeluk sang puteri. ”Kamu milih sedikit tega jadi orang tua, atau pilih kehilangan segalanya yang udah kita usahakan dengan keras, dan tinggal sedikit lagi?” Tanya Amar dengan suara kesal. Lalu dia melangkah maju mendekat kearah Nissa yang memeluk puteri mereka, dia berbisik “Ingat, Nissa. Kalau kamu berani merusak rencanaku, aku juga tidak segan menyingkirkan kamu dari misi ini, paham?!” Dengkusan kesal jelas terdengar oleh Nissa. “Urus nih, anak kamu. Manja banget jadi orang. Ajarin untuk gak terlalu manja.” Ketusnya lagi menatap tajam ke arah Vanya yang menunduk ketakutan. ”Mar, kamu jangan marahin Anya, dia ini masih anak-anak yang gak tau apa-apa. Kamu harusnya memberinya kasih sayang yang penuh, bukan selalu mengabaikan.” Sahut Nissa mulai terpancing amarah. ”Kamu itu terlalu memanjakan dia. Kamu pikir dengan kamu memanjakan dia, kamu bisa meraih segala yang kamu inginkan? Tidak! Makanya ajarin anak ini untuk tidak manggil kamu mama apalagi di depan Kinanti. Ingat Nissa…jangan sampai Kinanti curiga pada kita hanya gara-gara anak ini!” Seru Ammar dengan kesal. ”Lagian, aku juga udah katakan padamu dulu untuk gugurin kandungan, tapi kamu bersikeras buat lahirin dia. Lihat saja nanti, kalau sampai dia menjadi penghalang untuk mencapai apa yang sudah di rencanakan! Kamu akan menyesal sudah melahirkan dia, paham kamu?!” Ammar meninggalkan kamar dengan amarah yang melekat di hatinya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN