Luka yang Tak Pernah Terobati

1502 Kata
Apa salahnya marah? Bukan kah marah adalah bagian dari rasa menjadi seorang manusia? Iya kan? Ia tidak membenci. Ia hanya marah. Mungkin bisa dibilang, marah yang berlebihan. Ia hanya menatap kedua orang itu yang saling terpisah. Kemudian ia ikut pergi. Lebih baik pergi dibanding berada ditengah-tengah keduanya. Ia paling tak suka disangkutpautkan tapi memang akan selalu ada sangkut paut dengannya. Bagaimana pun, ia pernah punya cerita dengan lelaki itu. Ya, pernah. Walau hingga kini alasan kemarahannya adalah rasa yang tak pernah terbalaskan. Salah kah? Bukan kah marah adalah bagian dari menjadi manusia? Apakah selama dua tahun ini hanya keduanya yang menderita? Menderita karena saling terpisah dan tak bisa bersatu? Ia juga. Dalam hati kecilnya, ia ingin sekali kembali walau ego mencegahnya. Ia ingin sekali mengikhlaskan apa yang telah terjadi walau hatinya sedemikian sulit. Ia juga tak pernah meminta agar hal semacam ini terjadi di dalam kehidupannya. Tidak pernah sedikit pun. Karena apa? Karena ia pun ingin hidup dengan tenang seperti kehidupannya dulu. Hidup sendiri walau hati pernah penuh dengan rasa rindu. Namun kini ia sepertinya harus mengubur rasa dihatinya bukan? Walau ia masih sangat berharap bahwa cinta itu masih untuknya bukan untuk perempuan lain. "Sha!" tegur ibunya. Perempuan itu minta dibukakan pintu mobil karena ingin sekali beristirahat. Ia sama dengan para iparnya, cukup lelah dengan semua prosesi pemakaman hari ini. Fasha mengeluarkan kunci mobil lantas memencet tombolnya sehingga kunci pintu terbuka dan ibunya dapat masuk. "Tataaaa!" panggil ibunya. Sementara Fasha baru saja mengalihkan tatapannya ketika tak sengaja bersitatap dengan Dina yang berjalan ke arah mobil. Dengar kan hati Fasha yang berbicara. Ia masih sangat marah pada sepupunya itu? Jawabannya, ia tak bisa berbohong. Memang begitu lah kenyataannya. Ia marah karena tak seharusnya gadis itu ada di antaranya dan Adit. Salah kalau ia marah begitu? Ia juga marah karena akhirnya Adit malah berpaling pada Dina. Oke, ia memang tak punya hak untuk mencegah Adit jatuh cinta pada perempuan mana pun. Tapi ia merasa jika itu adalah bagian dari kesalahan Dina. Seharusnya sepupunya itu tahu jika ia menyimpan rasa pada Adit lantas kenapa terkesan membiarkan Adit jatuh cinta padanya? Terakhir, ia marah pada dirinya sendiri. Dan agak merasa menyesal dengan terjadinya semua ini. Ia hanya emosi dan sulit mengaturnya. Hingga kini perasaan marah itu masih sama walau dengan perlahan ia juga mulai bertanya-tanya. Sampai kapan ia ingin marah seperti ini? ??? "Sampai kapan mereka bakalan berantem terus begini?" tanya Ferril dengan nada berbisik usai menyenggol lengan Rain. Rain menghela nafas. Ia juga tak tahu. Tak lama, keduanya berjalan menuju tempat parkir berhubung pemakaman mulai agak sepi. Para teman dan juga kolega orangtua mereka juga sudah banyak yang berpamitan. Ferril merangkul Rain sembari berjalan. Keduanya tampak bagai anak kembar. Hal yang membuat Aisha dan Sara terkekeh. Tingkah keduanya yang mirip juga wajahnya memang banyak membuat tawa sedari keduanya masih kecil. Apalagi banyak yang mengira kalau Ferril adalah anaknya Fadli bukan Fadlan. Maklum lah, tingkahnya memang lebih mirip Fadli. Sampai-sampai banyak yang meledek kalau ia hanya menumpang lahir melalui Bunda. "Kak Dina udah sering minta maaf. Tapi gak digubris." "Kakak lo gengsi kali." "Gengsi sih gengsi. Tapi kan gak gitu juga. Apalagi kita saudara masa musuhan sih? Ntar kalo ada apa-apa juga saudara yang bakal nolongin duluan!" ucapnya menggebu. "Tumben omongan lo bijak!" ledeknya lantas menoyor Rain kemudian kabur terkikik-kikik. Rain hendak menyumpahinya andai tak ingat kalau ia sedang berada di kuburan. Ia pernah mendnegar kalau harus menjaga omongan ketika berada di tempat seperti ini. Takutnya menjadi petaka begitu. Dan Rain percaya. Ia kan paling takut pada hal semacam itu. Tak heran kalau sedari duku sering kali menjadi korban keusilan dari Ferril. Bocah sableng itu memang usil sekali. Setengah jam kemudian, Dina, Rain, Anne dan Ferril tiba di parkiran hotel. Anne keluar duluan ketika melihat mobil yang dikendarai abangnya sudah sampai lebih dulu. Sementara Rain, seperti biasa, masih sempat-sempatnya bercermin. Hal yang membuat Ferril langsung mengomel. Alhasil dua orang itu malah adu mulut yang akhirnya membuat Dina gerah lantas menarik Rain dengan segera. Kalau dibiarkan, tak akan ada habisnya. Karena keduanya tak akan mau mengalah. Adu bacot iru tak akan pernah selesai. Dan lagi, Dina sedang malas melerai keduanya yang bertengkar bagai kucing dan tikus. Tak ada habisnya. Baru berjalan beberapa langkah, langkah Dina langsung memelan sementara Rain bersiul-siul. Gadis itu segera berlari usai mengerlingkan mata ke arah seorang lelaki. Sementara sosok lelaki di dekat pintu hotel itu sudah menanti kedatangan Dina dengan senyuman. Agak cemas, rindu namun juga.... "Kok bisa di sini?" Itu pertanyaan sapaan. Dina agak kaget mendapatinya ada di sini. Karena lelaki ini seharusnya masih bekerja di ruangan operasi? Eh! Ia hampir menepuk keningnya. Ia lupa kalau tak berkabar sejak kemarin. Karena ponselnya ketinggalan dan lwlakinini juga tampak sibuk. "Aku dapat kabar tadi subuh. Tapi baru dapat tiket jam delapan tadi. Udah gak keburu ke pemakaman." Aah. Sebenarnya bukan itu yang penting menurut Dina. Melainkan kenapa cowok ini bisa berada di sini. "Gak kerja?" "Izin. Kebetulan kan aku operasi seharian kemarin. Tapi nanti sore udah balik." Ooh. Dina mengangguk. "Hape kamu gak aktif. Jadi aku tanya Tante," tuturnya. "Ketinggalan di toko," tuturnya yang membuat lelaki itu paham kenapa perempuan ini sulit sekali dihubungi. "Tapi gak hilang kan?" Dina menggeleng. "Pulang kapan?" Dina menghela nafas lantas menggelengkan kepala. Ia juga tak tahu kapan akan pulang. Sementara cowok itu tampak menatap sekitar. Ia tak melihat lagi ada keluarga Dina yang lewat di sekitar lobi. "Ardan mana?" "Masih di pemakaman," jawabnya lantas melangkah masuk kemudian duduk di sofa lobi hotel. Sedangkan lelaki itu mengikuti langkahnya. "Itu siapa?" tanya Ferril pada Rain setelah berhasil menyusul langkah gadis itu. Tadi Ferril terlalu lama menelisik lelaki yang menemui kakak sepupunya itu. Omong-omong, ia baru melihatnya. Pacar baru? Aah. Tapi setahunya kakak sepupunya tak mau pacaran. Alasannya? Menurut Ferril karena kerudung yang dikenakannya. Ia pikir, kain penutup itu juga menuntun seseorang untuk lebih menjaga diri terutama dengan pergaulan dengan lelaki. Walau yang ini juga membuatnya bertanya-tanya. Sementara Rain dengan senang hati mengetuk kepala Ferril usai memencet tombol lift. Ia memang sudah ingin mengetuk kepalanya atau minimal menarik jambangnya lalu menyepak pantatnya. Intinya, Rain ingin sekali menganiaya Ferril dikala punya kesempatan. "KEPOOOO AJA LOOO!" teriaknya tepat ditelinga Ferri. Heesssh. Ferril langsung jengkel sementara ia tertawa kuat. Alhasil, gantian kepalanya yang digetuk Ferril. "Ish! Lo nyebelin banget sih! Pulang sana ke London!" "Lo yang mulai duluan!" tutur Ferril sambil menoyor kepalanya. "Lo kali! Ngomel mulu!" Gantian Rain yang menoyornya. "Lo!" "Lo!" Akhirnya dua orang itu ribut di lift sampai lupa turun ketika pintu lift sudah terbuka lebar. Sementara dua orang di lobi hotel itu malah asyik mengobrol. Melupakan sejenak tentang kegalauan hati karena pertemuan dengan Adit tadi. ?????? Apa yang lo cari sih, Dit? Dengan balik ke pemakaman, bukannya sudah pergi? Lo yang liat sendiri kalau Dina lari dan masuk ke dalam mobil yang dikemudikan Ferril. Terus lo ngapain lagi ke sini? Adit cuma tertawa hampa. Menertawai kebodohannya sendiri. Lantas terdiam lama. Mungkin karena selama ini, ia menahan rasa sakit hatinya. Saat terkuak, malah sakit sekali. Ia tak menyangka jika pertemuan hari ini malah membuatnya seperti kembali pada saat itu. Pada kisah dua tahun lalu. Berakhir tanpa pernah ada kata memulai. Dua kali ia jatuh cinta. Tapi keduanya kandas sebelum tumbuh. Mungkin ia yang salah pilih perempuan. Sedangkan hatinya tak pernah salah mencintai. Ia mendongak usai terpejam lama sambil membenamkan mukanya di setiran mobil. Kemudian terdiam lagi. Entah kenapa perasaannya bisa sekacau ini. Bukan kah ia seharusnya senang? Ah, tidak. Senang itu ada tapi tertutupi kecewa. Ia sadar betul kalau Dina masih sama. Ia saja yang tak pernah berubah. Maka tak heran jika Dina juga. Mungkin sampai kapan pun akan tetap begini jika ia jatuh cinta pada gadis itu. Dina tak akan pernah menerimanya. Ia menyalakan mesin mobil lagi. Kemudian mengemudikannya lagi melintasi jalanan raya Makassar. Berupaya melupakan apa yang pernah terjadi. Tapi nyatanya tak pernah bisa. Dina tetap menguasai hatinya seperti dulu. Ketika hatinya memutuskan untuk mencintai gadis itu. Tiba di kantor, ia dikejutkan dengan kehadiran Nara dan Teo. Tak tahu kalau dua sahabatnya ini bisa disini. Ternyata mereka juga datang ke pemakaman. Sebetulnya mereka harusnya ke Jakarta untuk meeting dengan Hussein. Tapi dibatalkan secara mendadak dan bahkan Hussein yang menyuruh mereka segera berangkat ke Makassar. Adit cuma bisa tersenyum tipis. Pasrah dirangkul dua sahabatnya ini menuju ruangannya. Sementara Hussein masih di pemakaman. Berkumpul dengan para petinggi di perusahaan ini. "Senyum dong, Dit! Kan kita udah dateng dari jauh!" sorak Nara. Ia memang selalu heboh. Tapi bukan tanpa alasan kenapa Nara melakukannya. Kenapa? Karena Nara, Teo dan Hussein juga melihat kebersamaan Adit dengan Dina tadi. Bahkan menangkap kekecewaan Adit ketika Dina pergi duluan. Setelah saling senggol, Nara dan Teo menemukan titik temu bahwa Adit tak pernah move on dari mantannya itu. Ya, mereka tahunya kalau Dina itu mantannya Adit. Dan tentang kisah dua tahun lalu itu, mereka tak pernah tahu apa sebabnya mereka berpisah. Apalagi Adit terlihat baik-baik saja. Bersikap seperti itu hanya untuk menutupi lukanya yang sesungguhnya tak pernah terobati. Lukanya masih sama. Masih basah. Bahkan kali ini perih lagi ditambah infeksi. ??????
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN