"Aku butuh seorang yang bisa menjadi informan untukku. Dan kurasa, temanmu yang mantan reporter itu bisa melakukan hal itu."
Beberapa detik Sandra menghentikan tangannya untuk membasuh luka Noel menggunakan kapas yang dijepit oleh sebuah pinset dan diguyur oleh alkohol itu, terdiam. Sama seperti Noel yang menatapnya dalam-dalam. Sandra pun melakukan hal yang sama.
"Itu pekerjaan yang sangat sulit. Aku tidak yakin kalau dia bisa melakukannya." Itu tanggapan Sandra sebelum dia melanjutkan pekerjaannya. Bahkan, dokter di klinik hewan ini beberapa kali mengganti kapas dan menyiramkan alkohol pada kapas tersebut untuk membersihkan luka operasi Noel semalam sebelum mengganti kapas dan membalut luka tersebut menggunakan perban. Dengan telaten, Sandra membalut luka Noel, seperti dirinya bukan tengah berhadapan dengan seorang buronan.
"Dengan pengamalamnnya yang sebagai seorang reporter, temanmu bisa keluar masuk ke TKP dengan mudah tanpa dicurigai kalah dia bekerja untukku."
"Bekerja utukmu? Kau ounyabyang berapa sampai kau bisa dengan sombong mengatakan kalau kau sedan memperkejakan Kanaya untuk kasus seperti ini?"
"Untuk sekarang aku hanya punya dua ribu lima ratus dolar di dompetku karena aku yakin kalau beberapa kartu kredit dan ATMku sudah diblokir sejak semalam tapi aku berjanji akan memberikan uang yang lebih banyak untuk temanmu itu setelah kasus ini selesai dan aku mendapat keadilan."
Sandra kembali menatap Noel usai dia menyelesaikan perban yang dia pasang pada luka pria itu. hanya saja, Sandra tidak langsung membalas kalimat yang baru saja dilontarkan oleh Noel mengenai harga yang pria itu sebutkan untuk sebuah pekerjaan yang menyangkut dengan kebebasan Kanaya sebagai seorang masyarakat. Terlebih, itu akan membuat Kanaya dengan terang-terangan membantu seorang buronan polisi. Bahkan, usai mengobati luka Noel, Sandra pun berjalan ke arah televisi yang berada tepat di hadapan mereka lalu menyalakannya sambil mencari acara berita dan di sana, tengah dipampangkan berita tentang pembunuhan istri kepala polisi di mana Noel bekerja.
“Pemberitaan tentang dirimu sudah tersebar sangat luas dan hampir seluruh stasiun televisi tengah sibuk memberitakan tentangmu dan kurasa, semua orang sedang mencarimu saat ini.” Jelas Sandra sambil menatap ke arah Noel yang sudah mulai melihat berita di televisi.
Di sana, terdengar jelas seorang pembawa acara berita mengatakan kalau semalam sudah terjadi pem’bunuhan di rumah seorang kepala polisi, seorang istri meninggal sementara seorang anak laki-laki berusia tujuh tahun yang saat ini tengah berjuang di antara hidup dan mati. bahkan, rumah yang menjadi TKP pun dijaga sangat ketat oleh polisi termasuk rumah kediaman pelaku, pun dijaga sangat ketat oleh petugas, tiga hanya itu, beberapa polisi pun terlihat meminta masyarakat untuk tidak menyembunyikan pelaku yang juga adalah pewaris perusahaan farmasi keluarga Erden.
Melihat kalau dirinya sudah jadi orang yang paling dicari di seluruh negeri, membuat Noel tidak bisa berkata-kata. Karena dia yakin kalau usahanya untuk mendapatkan bukti akan sangat sulit. Terlebih dengan mereka yang mengatakan kalau dirinya adalah seorang pewaris dari perusahaan farmasi keluarga Erden, kakeknya pasti akan meminta pihak kepolisian untuk melakukan segala cara agar mereka bisa mendapatkan dirinya dalam keadaan hidup atau mati.
“Apa yang akan kau lakukan dengan semua ini?” tanya Sandra kemudian mematikan televisi dan menaruh remot televisi tersebut di tempatnya semula. Maka dari itu, sambil mengenakan lagi kemejanya yang dipinjamkan oleh Kanaya.
“Aku akan melakukan beberapa cara dan aku butuh beberapa bantuan dari sahabatmu itu.”
“Dengan semua departemen kepolisian yang sedang mencarimu di seluruh negeri ini?”
“Justru dengan keberadaannya maka aku akan dengan mudah mendapatkan semua yang kubutuhkan.”
“Kau tentu sedang memanfaatkannya, bukan?”
“Mengatakan kalau ini sejenis hubungan simbiosis mutualisme? Kurasa, iya.”
Noel mengeluarkan dompet miliknya yang dikembalikan oleh Kanaya beserta lencana kepolisian yang dia miliki tadi pagi sebelum pemilik rumah itu meninggalkannya sendirian untuk pergi bekerja. Di sana, Noel mengeluarkan semua uang yang dia miliki juga kartu-kartu yang ada di sana kecuali kartu identitas.
“Aku sedang tidak memegang uang banyak saat ini dan hanya ini yang kumiliki sekarang jadi, kuharap kau mau menerimanya dan berikan pada temanmu itu dan bujuk dia untuk membantuku.”
“Sedang menyuapku?” Sandra menyindir tindakan Noel yang menuodorinya sejumlah uang.
“Anggap saja itu sebagai biaya selama aku di sini juga untuk pengobatanku.” dalih pria itu.
Mendengar itu, Sandra menggeleng sambil menggigit bibir bawahnya. “Aku tidak bisa mengatakan iya atau tidak. Tapi, karena Kanaya memintamu untuk tinggal di sini, maka kau akan tetap tinggal dan untuk permintaanmu maka Kanaya sendiri yang akan memberikan jawabannya.” Jelas Sandra sambil kembali ke peralatannya dan saat dia berusaha meraih semua peralatan miliknya, Noel menahan tangan Sandra.
“Apa kau akan melaporkanku pada polisi?”
Sandra menggeleng dengan ekspresi yang tidak biasa. Kepalanya menggeleng tapi wajahnya terlihat seperti mengejek. “Aku tidak tahu.” Itu kalimat terakhir Sandra sebelum dia meninggalkan Noel kembali sendirian di rumah sahabatnya tersebut.
“Ah, untuk makan siangmu akan dibawakan oleh Kanaya sendiri karena itu, sebaiknya kau bersikap baik sekarang karena semua cctv di rumah ini juga terhubung langsung ke rumahku.” Usai mengatakan hal tersebut, Sandra pun benar-benar pergi meninggalkan Noel yang masih duduk dengan perban dan luka yang baru saja selesai diobati oleh Sandra.
Harus Noel akui, meski pun hanya seorang dokter di sebuah klinik hewan tapi pekerjaan Sandra sangat bagus. Mengingat dirinya bukan orang yang bisa dibawa ke rumah sakit dengan status seperti ini, Noel sedikit bersyukur karena dipertemukan dengan dua wanita yang meski sebenarnya dia mencoba mengancam mereka tapi mereka tidak sedikit pun berniat benar-benar melaporkan dirinya ke pihak berwajib dan mengatakan kalau dia sedang bersembunyi di rumah ini.
Usai Sandra pergi, Noel mencoba meraih ponselnya yang ada di ada di saku celana depan dan tidak coba diambil oleh Kanaya ketika dirinya pingsan semalam. Hanya saja, Noel tidak mengeluarkan benda itu untuk menelepon atau mengirimkan sebuah pesan pada seseorang untuk memberi tahu bahwa dirinya berada di sana, melainkan untuk dihancurkan. Ya, Noel langsung membanting ponsel miliknya ke lantai kemudian menginjaknya sekuat tenaga hingga beda itu remuk dan beberapa pecahan kacanya berserakan di lantai. Bukan tanpa alasan Noel melakukannya, dia hanya tidak ingin ketika kepolisian mencoba melacaknya menggunakan IP ponsel itu maka mereka akan dengan mudah menemukannya tengah bersembunyi di sana.
Usai menghancurkan ponsel itu, Noel langsung membuang seluruh serpihan ponselnya yang sudah hancur ke dalam toilet kemudian dirinya kembali ke ruang tengah sambil duduk dan menunggu Kanaya seperti yang diinginkan oleh Sandra.
Meninggalkan Noel yang masih duduk tenang di ruang tengah, Kanaya yang tengah mengisi tangki sebuah mobil, seorang seniornya berjalan menghampiri Kanaya sambil memberikan sekotak makan siang untuk mantan reporter tersebut.
“Sudah selesai?” tanya senior laki-laki itu pada Kanaya yang baru saja selesai mengisi bensin.
Sambil tersenyum dan mencoba untuk ramah, Kanaya pun mengangguk. “Ya! Ada sesuatu?” tnayanya penasaran. Kendati demikian, Kanya bisa melihat sebuah tas karton berisi kotak makan siang yang dibawa olehnya.
“Sudah. Tapi, aku harus pulang sebentar untuk memberi makan peliharaanku.”
“Peliharaan? Kau memelihara apa?”
“A—aku memelihara seekor kucing! Iya! Kucing yang sangat rakus,” jawab Kanaya sambil tertawa. Padahal dia tidak tahu kalau sebuah kebohongan yang dia lakukan sekarang sudah membuat seseorang percaya, bahkan seniornya yang adalah seorang laki-laki itu terlihat percaya dan mengatakan kalau sesekali dia ingin datang ke rumah Kanaya untuk melihat kucing peliharaannya. Namun, tentu saja Kanaya menolak karena kalau dia sampai mengizinkan seseorang datang ke rumahnya maka dia akan ketahuan kalau dirinya tengah menyembunyikan seorang buronan.
Hanya saja, karena Kanaya tidak kelakuannya sampai terbongkar, Kanaya pun menolak karena jika ada orang asing yang datang ke rumahnya maka kucingnya akan stres dan sakit. Sialnya, seniornya itu langsung percaya dan tidak meminta untuk datang ke rumah Kanaya lagi. Tidak hanya di sana, Seniornya itu pun memberikan kantung kertas berisi satu kotak makanan kepada Kanaya.
“Untukku?” tanya Kanaya sambil menerima kantung berisi kotak makan siang itu dengan raut wajah yang terlihat cukup terlihat senang. Bahkan. Seniornya pun tersenyum karena senang ketika dirinya melihat melihat Kanaya sumringah ketika dia menerima kotak makan siang tersebut.
Namun, tiba-tiba kantung berisi kotak makan siang itu diambil dan dibuang begitu saja oleh seorang laki-laki tinggi, berwajah tampan dengan kulit putih dan rambut berwarna cokelat mengenakan setelan yang sangat rapi, memandang kesal ke arah senior kerja Kanaya. Sadar kalau kotak makan siang yang baru saja diterimanya dibuang begitu saja, Kanaya langsung berteriak tidak terima bahkan, seniornya yang sudah sengaja memberikan makanan itu pada Kanaya pun ikut marah karena tidak terima dengan apa yang baru saja dilakukan oleh pria itu.
“Hei!” bentak senior itu pada si pria tapi, ketika sepasang mata mereka bertemu, senior pria itu langsung ciut dan memilih untuk berbalik ke arah Kanaya kemudian meminta yuniornya tersebut untuk pergi istirahat makan siang.
Tidak enak dengan situasi demikian, Kanaya langsung meminta maaf dan menarik pria yang sudah membuang kotak makanan itu dari seniornya.
“Kemari kau!” bentak Kanaya sambil menarik si pria, sementara pria itu malah mengacungkan jari tengahnya ke arah senior Kanaya yang sudah menciut ketakutan hanya dengan menatap sepasang mata beriris abu-abu terang yang terlihat seperti sepasang mata seekor serigala buas.
Kanaya terus menarik pria itu hingga mereka berada sedikit jauh dari area pengisian bensin. Dengan marah, Kanaya mengempas tangannya dan membuat pria itu sedikit sempoyongan karena dibanting oleh tubuh kecil Kanaya.
“Apa?” tanya si pria dengan wajah menyebalkan. Mendengar ditanya seperti itu, Kanaya yang memang sudah kesal, merasa semakin kesal, Kanaya pun sedikit berjinjit untuk bisa meraih kepala si pria dan memukulnya sangat keras.
“Kau tanya, apa?! Apa?! Kenapa kau malah bertanya APA sementara kau baru saja membuang makan siang gratis milikku!” bentak Kanaya.
“Kau tidak lihat bagaimana dia melihatmu?” balas pria itu sambil berkacak pinggang, berusaha memperlihatkan pada Kanaya betapa marahnya dia. Tapi, Kanaya sama sekali tidak terpengaruh.
“Ho~jadi, kalau ada yang memberiku makanan, mengirim pesan singkat padaku, meneleponku, terus dia itu suka padaku, begitu?”
“Kenyataannya begitu, apa lagi? Dengar, tidak ada laki-laki di dunia ini yang memberi perhatian tanpa embel-embel ‘suka’!”
“Memangnya kenapa kalau mereka menyukaiku, tidak ada yang salah!”
“Jelas salah! Kau itu pacarku!” ucap si pria tidak terima.
“Mantan pacar, ingat itu.”
“Aku belum mengatakan iya untuk itu, Kanaya!”
“Terserah! Yang jelas aku sudah muak dengan hubungan ini, dengan sikap posesif darimu dan semua kelakuan-kelakuan konyolmu itu!” ujar Kanaya sambil berjalan pergi meninggalkan pria tersebut. Namun, pria itu sama sekali tidak ingin kehilangan Kanaya jadi dia mengejarnya dan terus mengoceh tepat di belakang Kanaya.
“Aku belum selesai bicara denganmu, Kanaya!”
“Tidak! Terima kasih, aku sudah cukup bicara denganmu.”
“Hei! Hei! Hei! Kanaya! Aku masih belum selai!” pria itu terus berjalan mengimbangi langkah kaki Kanaya yang sangat cepat bahkan ketika Kanaya mulai berlari meninggalkannya, pria itu ikut berlari, berharap dia bisa mengejar langkah Kanaya sambil terus memanggil namanya.
Namun, ketika Kanaya tiba di persimpangan lampu merah, dirinya tidak bisa lagi menghindar dari pria itu karena lampu penyeberangan yang tiba-tiba merah, membuat wanita berambut sebahu dengan ikatannya yang sedikit berantakan ini pun mendengkus ketika pria itu berhasil meraih bahunya dan membawa Kanaya agar wajah mereka bisa berhadapan.
“Apa lagi, Sean?” tanya Kanaya malas. Benar, Kanaya benar-benar merasa sangat malas dengan pertemuan mereka sekarang. Bagaimana tidak, Kanaya merasa kalau dirinya sudah putus dengan Sean tapi pria bernama lengkap Sean Aldelard itu sama sekali tidak berpikir demikian.
“Aku tidak bisa membiarkanmu pergi sebelum kita meluruskan masalah kita.”
“Apa lagi? Kau tahu kalau aku sudah tidak mau denganmu! Kita ini sudah putus, Sean! Putus!” Kanaya tetap bersikukuh tapi Sean sama sekali tidak tidak memedulikan hal itu dan tetap menganggap kalau mereka masih berpacaran.
Merasa kalau obrolan mereka berat sebelah dan Kanaya yang memang sudah muak dengan pembicaraan mereka pun langsung berlari menyeberang jalan yang masih padat dengan kendaraan. Beberapa kali Kanaya nyaris tertabrak mobil hingga klakson-klakson pun tak berhenti berbunyi dengan teriakan-teriakan histeris orang-orang di jalan yang melihat bagaimana cara Kanaya menyebrang, begitu juga dengan Sean yang ketakutan ketika beberapa kali hampir melihat Kanaya nyaris saja ditabrak oleh mobil yang melaju kencang. Tidak hanya teriakan histeris dari pejalan kaki, makian dan bentakan pun tidak luput terdengar dari si pengendara mobil yang melihat Kanaya menyeberang jalan sebelum lampu hijau, hingga ketika dia sudah tiba di seberang, Kanaya langsung berlari meniggalkan pria bernama Sean Adelard yang masih tidak percaya dengan apa yan dia lihat tentang Kanaya yang menyeberang jalan seperti kucing luar.