04 - Permainan Dimulai

1217 Kata
Jangan lupa tinggalin jejak kayak biasa yaa.. Sekalian Vote dan Komennya Happy Reading All ******* Xion memutar bahu Naara kasar dan menatap sahabatnya lekat. Gadis itu tidak berkata apa pun hanya saja air matanya mengalir tanpa kendali. Hanie dan Caroline berjalan pelan mendekati Xion dan juga Naara. Kejadian yang cukup langka bagi Hanie dan Caroline karena mereka cukup mengenal sikap Aderaldo sehari-hari di kampus. "Dasar berengsek! Aku akan buat perhitungan dengannya," geram Xion yang mengepalkan kedua tangannya kuat. Caroline menghadang langkah kaki Xion yang akan pergi mengejar Aderaldo. "Jangan menceburkan diri dalam api yang baru akan berkobar jika tidak ingin hangus terbakar," ucap Caroline dan Xion melirik tajam ke arah Caroline. "Jadi, kau mau aku diam saja setelah apa yang si berengsek itu lakukan pada Naara? IYA!" bentak Xion pada Caroline. Hanie mencegah Caroline untuk membalas ucapan Xion yang sedang terbakar emosi dengan menarik lengannya dan mengkode lewat gelengan kepala. Hanie berjalan mendekati Xion yang menatap marah pada Caroline. "Kami tidak melarangmu, hanya saja kami takut akan risiko yang harus kau dapatkan nanti," kata Hanie pelan sambil mengusap punggung Xion. Pria itu menyentak tangan Hanie yang berada di punggungnya. Menunjuk wajah Hanie dengan telunjuknya. "Kau dengar! Aku bahkan tidak takut dengan pria berengsek itu. Dia sudah melecehkan sahabatku. Sialan!" bentak Xion dan berjalan ke luar perpustakaan dengan terburu-buru dan dipenuhi oleh emosi sambil mencari keberadaan Aderaldo. Naara duduk menangis dalam diam. Hanie dan Caroline mencoba menenangkan gadis itu. "Aku salah apa? Kenapa dia melakukan semua ini padaku?" lirih Naara. Baik Hanie maupun Caroline memilih diam, tidak mencoba menjawab pertanyaan Naara. Mereka berdua juga tidak tahu jawabannya, hanya Aderaldo dan Tuhan yang tahu atas maksud kejadian tadi. "Kami ada di sini bersamamu, Naara. Tenanglah." Hanie hanya bisa memberikan kalimat penenangan untuk menenangkan hati teman barunya itu. Hati Hanie sendiri merasa tercabik melihat tindakan Aderaldo yang seperti bukan Aderaldo yang ia kenal selama ini. Jujur saja, ia merasa iri pada Naara dan juga kasihan. ****** Xion berlari keliling kampus mencari keberadaan pria yang sudah melecehkan sahabatnya di depan kedua matanya. Benar-benar Xion tidak habis pikir akan tingkah manusia sejenis Aderaldo ada di muka bumi ini. Pria berwajah oriental itu tidak pernah menyangka jika akan melihat Naara menangis akibat ulah pria lain yang menyakitinya. Hati Xion marah, bukan hanya marah karena pria itu melecehkan Naara, tapi pria itu juga marah pada diri sendiri karena lalai menjaga Naara sesuai amanat paman dan bibi Naara padanya. Ditambah lagi, entah mengapa hatinya begitu tidak terima ketika ada pria lain yang mencium Naara. Cemburu? Entahlah, Xion sendiri sulit untuk menjabarkan perasaannya saat ini. Ia bingung sekaligus emosi. Ia juga ingin tahu, siapa sebenarnya pria berengsek itu. Kenapa Caroline dan Hanie terlihat begitu takut bahkan khawatir jika ia berurusan dengannya? Xion harus mencari tahunya. Setelah hampir tujuh menit berkeliling kampus, mata sipit Xion menemukan keberadaan pria kurang ajar itu. Pria itu tengah melangkah santai menuju sebuah mobil mewah yang terparkir di halaman gedung administrasi. Ferrari Pininfarina Sergio berwarna merah yang tentu saja harganya cukup fantastis. Mobil itu diketahui Xion harganya mencapai $3.000.000. Saat ini arah pandang Xion tak lepas dari setiap pergerakan seorang pria yang bernama Aderaldo. "Sialan! Kenapa aku hanya berdiri memandangnya dan tidak mengejarnya. Dasar Xion bodoh!" rutuk Xion pada dirinya sendiri. ****** Naara memilih untuk pulang ke apartemen dan meninggalkan satu mata kuliah dihari itu. Ia masih shock atas apa yang terjadi padanya beberapa jam lalu. Untung saja Hanie dan Caroline berbaik hati untuk mengantarkannya pulang, jika tidak, entahlah apa yang terjadi pada Naara. Naara mencuci wajah dan menggosok bibirnya berkali-kali dengan kasar. Ia kesal sekali dengan apa yang telah diperbuat oleh pria m***m berengsek itu. Seenaknya menciumnya dan mencuri ciuman pertamanya di depan pria yang ia sukai pula. Naas sekali sepertinya nasib Naara. "Dasar the Jerk Billionaire! Aku membencimu! Demi Tuhan aku sangat membencimu, pria m***m k*****t!" umpat Naara dalam pantulan wajahnya di cermin. "Kenapa harus aku? Oh, sial. Ini benar-benar mengerikan.” Naara bermonolog. Naara kembali mengingat ucapan Caroline saat ikut mengantarnya pulang bersama Hanie. Teman barunya itu mengatakan, jika dirinya sedang dikelilingi aura hitam saat ini dan akan mendapatkan kesialan beruntun jika terus membangkang pada sesuatu hal. Namun, Caroline tidak menjelaskan secara detail apa hal itu. Ia sangat mati penasaran dan cukup khawatir dengan hidupnya sekarang. Naara mengusap bibirnya kembali lalu mendesah dan memejamkan matanya. "Ciuman pertamaku hilang begitu saja," lirih Naara. 'Demi Tuhan, aku tidak akan berada di dekat pria itu lagi. Tidak akan.' tekatnya penuh dalam hati. ****** Aderaldo bersiul saat berjalan menuju ruang kerjanya. Pria itu tidak berhenti memegangi bibirnya sambil tersenyum. Sekretarisnya menatap bingung pimpinannya. Tingkah laku Aderaldo sangat berbeda dari biasanya. Banyak yang bingung mengapa pengusaha kaya raya seperti Aderaldo masih saja ingin kuliah. Bukan karena hanya haus ilmu, tapi pria itu juga memiliki keinginan yang kuat untuk memiliki wanita yang masih mengenyam dunia pendidikan. Mahasiswi cantik yang pintar dan tentunya yang memiliki penampilan serta paras yang rupawan juga sebagai penunjang. Tidak ada wanita yang jelek wajahnya yang pernah menghabiskan waktu bersama Aderaldo. Hampir rata-rata wajah mereka cantik bahkan di atas rata-rata wanita eropa dan Amerika pada umumnya. Hanya saja, belum ada satu pun wanita yang berhasil membuat Aderaldo jatuh hati. Duduk di kursi utama di ruangan kerjanya dan tetap memegangi bibirnya. "Kali pertama aku menginginkan untuk mengecup bibir itu lagi, lagi, lagi dan lagi," "Ah- ini gila! Kenapa rasa bibirnya manis sekali atau ada heroin di sana?" Aderaldo tersenyum lebih lebar. "Naara Kiva, welcome to my world. Permainan sudah kumulai dan kau harus menikmatinya," gumam Aderaldo sambil tersenyum miring. Pria itu menelepon seseorang dari ponselnya. "Aku ingin kau mencari tahu siapa itu Tibra Xion. Berikan aku data lengkapnya. Segera!" perintah Aderaldo pada detektif sewaannya. Aderaldo mengetuk-ngetuk atas meja dengan jemari panjang miliknya. Selama ada uang, semuanya akan terasa lebih mudah. "Ternyata kau mencoba mengajakku bermain juga, Xion. Hmm- kita lihat, sejauh apa kau tahan bermain denganku.” Sedang asik berpikir, tiba-tiba pintu ruangannya diketuk. Seorang wanita seksi dengan d**a yang terbuka lebar dan paha terekspos jelas melangkah masuk ke dalam ruangan sambil tersenyum lebar. Sekretaris Aderaldo itu tersenyum menggoda ke arah pimpinan tampannya. Namun, ternyata gayung tak bersambut. Reaksi Aderaldo tidak seperti biasanya. Wajah cerah dan senyum merekahnya tadi lenyap begitu saja saat Sandara masuk dan duduk di hadapannya. "Ada perlu apa?" kata Aderaldo dingin. "Kenapa sikapmu aneh sekali hari ini? Kau tidak sehangat biasanya," protes Sandara. Aderaldo melirik tajam. "Aku ini pimpinanmu, jika kau lupa. Jaga cara bicaramu. Kau hanya kacungku. Kalau kau tidak ada kepentingan, lebih baik pergi dari hadapanku," ucap Aderaldo kasar. Sandara melotot tidak percaya atas apa yang keluar dari mulut pria di hadapannya. "Kau berubah!" desis Sandara sambil membanting beberapa berkas di atas meja kerja Aderaldo. "Pergi dari sini dan tidak usah datang lagi. Kau dipecat!" ucap Aderaldo datar. "HAH? Sir, kau becanda bukan? Aku dipecat?" tanyanya terkejut. "YA. Telingamu masih berfungsi dengan baik, bukan? Pergilah sebelum aku menyeretmu paksa," "Aku tidak butuh jalang sepertimu. Kau mengerti! Dasar menjijikkan!" bentak Aderaldo. Tidak sampai sepuluh detik. Sandara memilih untuk segera angkat kaki dari ruangan Aderaldo. Pria itu tidak pernah main-main dengan ucapannya, jadi lebih baik ia pergi dibanding pria itu murka karena sikapnya. Aderaldo menghela napas beratnya. "Ternyata semua wanita itu murahan. Tidak menarik sama sekali, tidak menantang!" gumam pria itu sepeninggalan Sandara dari hadapannya. ****** PENULIS TIDAK PERNAH MENJUAL CERITA INI DALAM BENTUK PDF! YANG MENJUAL BERARTI MALING!
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN