Seira mengendap-endap masuk ke rumah sendiri. Selain karena menginap tanpa bilang, masih ada luka yang harus disembunyikan. Dia pikir kalau pulang sore, ibunya sedang sibuk gosip dengan tetangga. Jadi aman.
“Habis dari mana kamu?” Seira tak tahu saja, ibunya tengah menunggu di kamarnya. Sudah bisa membaca jalan pikiran anaknya itu.
“Ngampus Bu ... kan Ibu tahu, masih ada makul aku yang masih nyicil.” Refleks Seira menyembunyikan tangannya di belakang punggung. Memang terlapis jaket, tapi bau obatnya masih sisa sedikit.
“Sebelumnya ke mana?” Ibunya galak begitu, mana mungkin melepaskan Seira hanya karena alasan begitu. Jelas-jelas salah Seira itu tak pulang semalam, ditelepon tak diangkat. Bukan soal pulang sore hari.
“Cari materi sama teman,” bohong Seira.
“Cari materi apa! Itu judul juga belum ke terima! Kelas masih ada yang belum kelar. Temanmu itu lho, banyak yang udah pada mikirin mau kerja di mana. Kau itu apa-apa lambat, bukannya mau usaha malah main saja dipikirin!” Tuh, kan! Apa pikir Seira, pasti dia bakal kena omel.
Begitu saja dia kena omel, apa kata kalau ketahuan menginap di rumah cowok nggak terlalu dikenal? Bisa habis kupingnya terbakar ceramah berhari-hari.
“Aku juga mikir kok,” balas Seira pelan.
“Alasan saja! Makanya ibu bilang dari awal, kuliah Ekonomi saja yang gampang. Ini sok-sokan ambil Pertanian! Udah tak tahu mau kerja di mana, buat tugas selalu kacau, kerjakan skripsi saja lambat. Bisa-bisa tunda tahun depan wisudamu itu!” Balasannya menggelegar, panjang lebar sampai semua hal diungkit.
“Tapi passion Seira di Pertanian.” Seira masih saja menjawab, tak kapok-kapok.
“Omong aja kamu bisanya! Itu pohon cabe yang kamu tanam di depan rumah saja mati!” Kena diingatkan kelalaiannya, Seira mengalihkan pandangan.
“Sesekali serius mikirin masa depan, Seira! Kalau nggak kerja mau jadi apa kamu? Mau ibu nikahkan apa?”
“Nggak mau! Seira bisa wisuda tahun ini kok. Pasti terkejar.” Karena panik, Seira membuat janji asal. Masalah direalisasikan pikirkan nanti. Biasanya juga bisa kok. Pakai the power of kepepet.
“Kalau begitu buktikan! Jangan main saja dipentingkan. Ingat, jangan menginap nggak bilang-bilang lagi!” Seira angguk-angguk saja. Pokoknya sok patuh biar ceramahnya cepat selesai.
***
Beberapa jam berlalu. Karena ibunya sudah sibuk memasak makan malam, Seira pergi lagi diam-diam. Dia tak betah di rumah, lelah otak habis omeli tiga jam. Maunya tangkap anak kucing tetangga, main sampai puas baru nanti usaha memikirkan judul baru.
Jadilah Seira lari-lari di jalanan kompleks, sengaja mainnya ke blok sebelah biar nggak kelihatan ibunya. Seira lupa aja, blok sebelah itu ya tempatnya rumah Marisa.
“Eh Seira, kebetulan banget. Tante baru aja mau hubungi kamu!” Sekali dipanggil Marisa, badan Seira menegang karena kaget. Kucing yang dia tangkap lepas, kabur meninggalkannya membatu di depan pagar rumah Marisa.
“Hehe ... ada apa Tante?” Pelan-pelan Seira berbalik, memberi senyuman canggung. Rasanya tak enak sekali. Ingatan malam sebelumnya kembali masuk kepala, membuatnya merasa bersalah saat melihat senyuman ramah Marisa.
“Makan di sini yuk! Menantu tante masak banyak lho!” Malah diundang makan di sana pula. Biarpun Elard tinggal pisah, tapi tetap saja Seira ogah.
“Lain kali aja Tante, ini Seira udah mau pulang. Ibu suruh pergi beli kecap di warung.” Alasan dia saja. Warungnya ada di arah berlawan kok, masa iya mau ke warung nyasar sampai di sini.
Marisa mana bisa dikibuli. Dia pikir Seira hanya malu-malu kucing. Atau mungkin agak sebal dengan Elard karena acara pengenalan mereka minggu lalu gagal total. Wanita paruh baya itu segera menahan tangan Seira saat dia mau kabur.
Senyuman super memaksa itu membuat Seira berkeringat dingin. “Nanti tante telepon ibumu. Ayo masuk. Mumpung semua keluarga lagi ngumpul nih.” Itu lagi. Memang apa hubungannya dengan dia coba? Orang cuma tetangga kok.
“Udah masuk yuk! Jangan bengong begitu.” Seira masih mikir mau pakai alasan apa buat kabur, tapi Marisa sudah menariknya masuk ke dalam rumah. Dia agak takut Marisa hubungi ibunya. Takut ketahuan bohong dan kabur main kucing.
“Mama bicara dengan siapa di pagar – ”
“AHHH!”
“DIAM SEIRA! KENAPA SIH KAMU ITU LIHAT WAJAH SAYA LANGSUNG TERIAK!”
“SEIRA PULANG YA TANTE!”
“DASAR KURANG AJAR! JANGAN LARI KAMU!”
“LEPASKAN! LEPASKAN!”
“Ya ampun ... kalian udah akrab ternyata. Seira-nya dibawa masuk ya, Elard.”
Ah! Mampus. Kedua orang yang sibuk saling teriak itu baru sadar dengan apa yang mereka lakukan. Bukannya bertingkah sok tak kenal, mereka malah refleks saling merespons satu sama lainnya. Marisa juga cepat sekali bertindaknya, sudah memastikan Seira tak bisa kabur.
Pintu depan dia kunci. Pasang senyuman memaksa, suruh Elard yang sudah kepalang basah – sedang menarik tangan Seira sekalian bawa itu cewek ke ruang keluarga.
Mata Seira melotot horor, seakan tengah mengutuk kebodohan Elard. Dia itu agak lemot dan suka keceplosan. Takutnya nanti malah tak sengaja membongkar malam penuh kesalahan yang mau dia lupakan itu.
“Tapi Ma, Seira bilang mau pulang. Mungkin orang rumahnya udah tungguin.” Elard pura-pura tak lihat tatapan Seira. Dia usaha dulu, mengusir Seira secara halus.
“Iya Tante! Kecapnya belum kebeli!” Seira sebal sih, tapi dia kerja sama aja demi keselamatan sendiri.
“Udah ... kok kalian malu-malu begitu sih? Masuk sana. Ngobrol-ngobrol dulu, biar saling kenal. Tante telepon ibumu sekarang deh, biar nggak cemas.” Mampus, malah berakhir gali kubur sendiri. Ini mah ketahuan bohongnya Seira, kena omel pasti pas pulang ke rumah nanti.
Akhirnya Seira dan Elard didorong ke ruang keluarga. Habis itu Marisa telepon rumah Seira, entah bilang apa sama ibunya. Adiknya Elard juga disuruh jangan turun, biar kasih mereka waktu berduaan.
Semua perintah itu terdengar sangat jelas di telinga mereka. Suara Marisa itu lantang sekali, sampai Seira yakin tetangga sebelah pun kedengaran. Makanya, sekarang Seira dan Elard duduk dengan canggung di ruang keluarga. Hanya suara televisi yang terdengar.
Belum juga sehari putuskan tak mau ketemu lagi, ini sudah ketemu. Terjebak berduaan dengan keadaan yang nggak nyaman. Seira risih sekali, berkali-kali melirik Elard yang diam dengan tampang jutek. Duduk jauh-jauhan, pelototi Seira dengan garang setiap kali mata mereka bertemu pandang.
“Ngapain kamu ke sini?” Setelah lumayan lama saling diam, Elard bertanya.
“Kamu sendiri ngapain? Nggak tinggal di sini, kan?” Seira balik tanya, mukanya cemberut sekali.
“Ini rumah orang tua saya. Salah kalau saya mau datang menjenguk mereka?” Benar juga sih ... pertanyaan Seira memang nggak berbobot.
“Ya ... nggak.”
Elard menghela napas. Kemudian dia kembali bertanya, “Jadi ada perlu apa kamu ke sini?”
“Nggak tahu. Lagi tangkap kucing, eh ... malah ditangkap sama Tante Marisa.” Jawaban Seira membuat Elard tercengang. Tak bisa dijadikan alasan untuk menyalahkan Seira, soalnya terlalu aneh untuk dipahami.
“Tangkap kucing? Memangnya kamu anak SD?” Elard pijat kepala mulai pusing.
“Biar! Lagian yang salah kamu! Ngapain tadi tarik-tarik! Kalau nggak kamu tahan, aku udah berhasil kabur!” Seira mulai menyalahkan Elard.
“Itu namanya kurang ajar! Masa habis bertamu, belum masuk sudah mau kabur! Datang baik-baik, pulang juga baik-baik!”
“Usah banyak ceramah deh! Kamu itu kayak ibuku tahu!”
“Bilang apa? Coba ulangi!”
“Om cerewet! Sok jual mahal!”
Akhirnya mereka berantem lagi. Seira lari ke depan Elard hanya untuk menjulurkan lidah meledek. Jadi Elard emosi dan menempeleng kepalanya. Setelah itu Seira misuh-misuh, tendang kaki Elard buat balas dendam.
“Dasar cewek resek!” Kekesalan Elard bertambah, dia ikut berdiri menjitak kepala Seira berkali-kali.
“Apaan sih! Sakit tahu!” Seira mendorong Elard sekuat tenaga, berusaha melepaskan diri saat Elard mulai mencengkeram kepalanya dengan kedua tangan. Jadinya mereka saling dorong tak jelas, terpeleset karpet bulu yang tak dipasang dengan benar.
Brak!
Sekali lagi mereka jatuh saling tindih. Mengulang kesialan malam sebelumnya. Kali ini Seira yang berada di atas tubuh Elard. Kepalanya membentur d**a Elard saat jatuh.
“Aduh ... duh ... keras amat,” cewek itu mengaduh.
“Kamu itu yang berat amat!” Elard refleks mendorongnya menjauh.
Jadinya dari sudut pandang yang lihat, Seira seperti tengah mendorong Elard jatuh. Menyerang dengan agresif padahal baru ditinggalkan sebentar saja. Ruang keluarga itu lho, tak ada sekatnya sama sekali. Jadi dari ruang tamu bisa terlihat jelas apa yang terjadi di sana.
Marisa yang baru selesai teleponan di depan rumah, terkaget saat masuk ke dalam dan melihat apa yang terjadi. Dia berseru, “Kalian ngapain sore-sore gini?” Seakan bukan dia saja yang memaksa mereka berduaan di sana.
“AHHH! TANTE TOLONG SEIRA!” Sialan, Seira malah memanfaatkan kesempatan lari sembunyi ke belakang Marisa. Padahal dia yang salah, cari ribut lebih dulu.
“JANGAN BANYAK DRAMA KAMU! JELAS-JELAS KAMU YANG DORONG SAYA!” Elard langsung membela diri. Dia tak salah. Dilihat dari sisi mana pun, dia yang jadi korban.
“Bercanda kok,” balas Seira sewot. Bersedekap, buang muka saat Elard menatapnya begitu emosi.
Oh ... jadi hanya kedua orang itu hanya sedang bercanda. Marisa juga pikir aneh kalau yang tadi dilihatnya itu memang adegan p*********n. “Tapi bagus lho! Kalian pasti udah akrab sekali, sampai bisa bercanda selepas itu.” Perkataan Marisa berikutnya membuat Seira dan Elard saling diam lagi.
Mereka baru sadar, tingkah mereka semakin membuat situasi mereka terjepit. Bukan ini yang harusnya mereka lakukan. Bisa-bisa rencana perjodohan itu kembali diungkit.
“Akrab apa, ini cewek tingkahnya lebih parah dari anak SD. Aku sampai kira sedang jaga keponakan, Ma.” Alasan Elard. Langsung buang muka bertingkah sebal.
Seira lebih sebal lagi. Mengepalkan tangan, menggeretakkan gigi ingin rasanya membalas omongan Elard. Tapi dia tak bisa menemukan kalimat pembelaan diri. Lagian juga Marisa tertawa-tawa gemas, sepertinya salah paham lagi mengira kalau Elard hanya sedang bertingkah sok jual mahal.
“Iya, mama tahu. Kamu suka sama Seira, bagus dong.” Tuh, kan! Apa Seira pikir, Marisa seenaknya mengartikan reaksi mereka.
“Gimana kalau kalian mulai dari pacaran dulu?” Udah itu seenaknya memutuskan pula.
Lihat saja tampang Elard. Masam sekali seakan disuruh melakukan hal yang paling dia benci. Seira juga tak mau kok, masa Elard bersikap seakan-akan dia yang mau.
“Ogah, Elard rempong begitu. Semua hal dibesar-besarkan. Kotor sedikit teriak-teriak, cerewet pula.” Pokoknya Seira tak terima. Dia yang akan menolak lebih dulu.
“Dari pada kamu ceroboh! Gampangan!” Elard jadi tersinggung. Masa dia yang begini kece, malah ditolak mentah-mentah.
“Bawel! Pokoknya aku nggak mau sama Elard!”
“Saya lebih tak mau denganmu!”
“Iya, iya, kalian udahan dulu. Ayo makan, ngobrolnya lanjut nanti.” Marisa tak menanggapi mereka dengan serius. Dia kemudian menarik Elard dan Seira ke meja makan. Menghentikan pertengkaran itu sejenak.