Prologue
“Elard!!! Aduh ... kamu ini setiap hari pulang jam segini, gimana bisa punya waktu buat cari istri!” Elard baru saja pulang kerja, tapi kepulangannya sudah disambut dengan teriakan Marisa. Sang mama yang cerewetnya minta ampun. Sudah tinggal pisah pun, masih juga suka muncul tiba-tiba mengomel tak jelas.
Refleks Elard menutup telinga, mengelus d**a menenangkan diri dari rasa kaget. “Kerja dulu, Ma. Nanti baru cari istri.” Itulah yang biasa dia jawab saat Marisa menyinggung soal istri.
Pria rupawan dengan tinggi 182 cm, badan tegap, rambut cokelat pendek dengan penampilan selalu rapi itu hanya cari alasan saja. Sebenarnya dia tidak bisa menemukan calon yang sesuai dengan kriterianya. Bukan karena belum ingin, hanya belum hoki.
“Kamu itu udah 30 tahun. Sudah mapan, tampang oke, masih mau tunggu apalagi?”
“Belum ada jodohnya, Ma.” Ini alasan yang selalu Elard gunakan juga. Aslinya gimana mau dapat jodoh ... orang dianya pemilih minta ampun.
“Adik kamu lho udah punya anak. Teman-teman mama udah pada tanya, kok kamu nggak laku-laku. Malu sedikit Nak,” teriak Marisa kemudian.
“Bukannya nggak laku, cuma nggak sempat cari.” Elard mulai menjawab dengan asal. Berjalan cepat ke ruang kerja untuk meletakkan barang bawaannya. Dia mau pulang jam berapa pun, selalu memeriksa kembali beberapa dokumen baru beristirahat.
Kebiasaan Elard yang begitu menjadi alasan kenapa Marisa begini sukanya ikut campur. Karena kalau tak diingatkan, bisa-bisa anaknya menikahi pasiennya. Iya, kalau yang dinikahi pasien cantik, ini data pasien.
“Kalau gitu biar mama bantu carikan.” Salah jawaban, yang ada Marisa menggunakan alasan anaknya untuk semakin ikut campur. Mata belok penuh riasan indah itu menatap berbinar-binar, dipenuhi oleh semangat membara yang membuat Elard merasakan firasat buruk.
“Errr ... nggak, makasih. Anak teman Mama semua dandanannya tebal, bau parfum sampai menyengat gitu.” Elard mengalihkan pandangan, menggaruk kepalanya gelisah.
“Oh, jadi kamu sukanya yang sederhana? Oke, gampang itu. Nanti mama bawakan!” Marisa mau mendengarkan, dia sudah memutuskan. Bicara sambil berjalan cepat kembali ke ruang depan.
“Dengar dulu, Ma! Bukan itu maksudku.” Elard segera menyusul, niatnya menghentikan Marisa.
“Tenang, pasti dapat kok! Udah malam, jangan kerja lagi. Istirahat Nak, mama pulang dulu!” Tentu saja itu mustahil, sejak masih di dalam perut juga Elard selalu kalah oleh suara lantang Marisa.
Brak!
Marisa pun pulang dengan riang gembira, bersenandung riang sambil memeriksa data anak-anak gadis yang dikenalnya. Sedangkan Elard terpaku di depan pintu rumahnya sendiri. Ingin teriak, tapi sudah telat. Ingin menyerah saja, tapi dia tak mau.
Soalnya pilihan Marisa selalu membuatnya illfeel. Selalu saja, cewek cerewet yang punya kepercayaan diri terlalu tinggi. Elard tak suka yang begitu. Dia mau yang patuh, pintar, manis, kalem, bisa masak, bisa urus rumah, perhatian, pengertian, baunya wangi, rambutnya halus, penampilannya menarik dan masih banyak lagi.
***
Marisa celingak-celinguk, berkeliling rumah Bu RT memindai calon menantu idaman. Hari ini kebetulan ibu-ibu PKK di lingkungannya sedang mengadakan kegiatan merajut bersama. Biasanya ada beberapa anak gadis yang tersesat di sana. Entah diseret ibunya atau memang punya jiwa ibu-ibu. Marisa tak peduli, yang penting kesan awalnya sesuai dengan kriteria Elard.
Sederhana. Ya, hanya itu kriteria patokan Marisa. Mengenai list panjang dan betapa pemilih anak sulungnya itu sama sekali tidak dia ketahui. Mungkin sudah tahu, hanya tak mau didengarkan saja.
“Tante sempat? Boleh tolong ajarkan saya sebentar?” Pas lagi mencari, eh ... mangsa datang sendiri.
Di hadapan Marisa berdiri seorang anak gadis. Kalau tak salah namanya Seira, tinggal di Blok B. Mahasiswi tahun terakhir yang jarang sekali ikut muncul di kegiatan lingkungan sekitar, tapi sering terlihat lari sore-sore kejar kucing liar.
Penampilan Seira sederhana. Hanya memakai sebuah gaun simpel, rambutnya bergelombang terlihat bagus. Wajahnya cantik dengan kulit yang tampak terawat dengan baik. Bahkan sikapnya sopan, menyapa dengan benar. Keterampilannya menyedihkan sih, merajut syal yang gampang saja sampai bolong-bolong, menggumpal tak jelas.
Ah, biarlah! Toh Elard hanya bilang maunya istri yang sederhana kok. Nggak dandan menor dan nggak pakai parfum kuat.
“Kamu habis wisuda ada rencana apa?” Marisa tidak menjawab pertanyaan Seira, dia langsung pada tujuan. Interogasi rencana masa depan korban.
“Ahaha.” Seira tertawa dangkal, mengalihkan perhatian.
Jangankan wisuda, ini judul skripsi saja belum diterima. Dia lari ke kegiatan PKK ya karena sudah muak bergulat dengan laporan. Istilah lainnya sedang lari dari kenyataan. Tak disangka, sudah sampai kumpul dengan ibu-ibu masih saja kata keramat itu dia dengar.
“Belum kepikiran,” jawab Seira mencicit.
Gadis itu melirik Marisa dengan gelisah. Siap-siap deh diomeli seperti yang biasanya ibunya lakukan. Disuruh pikirkan masa depan serius, diceramahi biar segera bereskan skripsi yang nggak kelar-kelar, sampai dibanding-bandingkan dengan anak tetangga.
“Bagus dong! Anak gadis zaman sekarang banyak yang terobsesi sama kerjaan. Bilang soal kesetaraan gender apalah. Itu mah nggak penting. Cewek itu sudah selesai sekolah ya menikah. Jaga suami, besarkan anak. Kalau kamu belum ada pilihan, sama anak tante gimana?”
“Hah?”
Seira tercengang. Perasaan dia hanya kadang menyapa Marisa saja saat berpapasan. Sisanya sama sekali tak pernah bicara. Kenapa tiba-tiba malah dia ditawarkan jadi menantu?
“Tante bercanda ih! Anak Tante, kan sudah nikah.” Ya sudah, dia luruskan saja jadi candaan. Tertawa polos tak memikirkan apa pun.
“Aduh ... yang itu yang bungsu. Yang sulung masih single. Ganteng lho! Mapan lagi, sini tante tunjukkan fotonya.” Marisa menanggapi dengan penuh semangat. Tangannya refleks pukul-pukul lengan Seira, kebiasaan saat sedang asyik sendiri.
“Oalah, mau kenalkan sama Elard? Bagus itu. Lajang lama-lama nggak bagus.”
“Seira single, kan. Memang jodoh mereka itu.”
“Iya dong, makanya sini lihat fotonya. Ngapain mundur-mundur begitu?”
“Eh? Eh?”
Sebelum Seira sadar, dia sudah dikerumuni oleh ibu-ibu rumpi. Wajahnya pusat pasi, suaranya kalah oleh suara-suara promosi yang saling menyahut. Awalnya datang untuk lari dari kenyataan, mau belajar merajut untuk menyantaikan kerja otak. Akhirnya entah kenapa dia malah dipaksa ketemuan dengan anak tetangga yang bahkan nggak pernah dilihatnya sekalipun.
***
Hari Minggu, Seira duduk bengong di sebuah kafe. Tadi datangnya sama Marisa, tapi mamanya Elard itu langsung kabur setelah melihat mobil anaknya masuk ke tempat parkir. Bukan kabur sungguhan, tapi pindah meja agak jauh sambil mengintip karena penasaran.
Tampang Seira masih saja terlihat agak b**o. Matanya kedip-kedip aneh saat Elard telah sampai di depan mata. Mulutnya agak sedikit terbuka, terpesona pada wajah Elard. Bahkan badannya terlihat gagah, lebih ganteng dari yang di foto.
“Meja No. 3, jadi kamu yang namanya Seira?” tanya Elard sambil memeriksa pesan, memastikan dia tak salah membaca info dari Marisa.
“Tapi kok tua.”
“Apa?”
“Ganteng sih ganteng, tapi kok aslinya lebih tua. Perasaan di foto kemarin masih muda.”
“Apa yang kamu bicarakan.”
“Ah, aku tahu! Fotonya fake!”
Belum apa-apa, Seira sudah bicara semaunya. Elard langsung kesal. Harusnya dia tak datang hanya untuk bertemu cewek tak jelas begini. Sudah tampangnya terlihat bodoh, bicara sembarangan sebelum mengenalkan diri.
“Kamu pikir saya mau bertemu denganmu! Dasar cerewet!” Bukannya duduk, Elard memukul meja. Memberi tatapan menghina pada Seira.
Seira ikut berdiri, pukul d**a Elard lebih keras. “Aku juga terpaksa kok! Yang nggak laku sampai minta mamanya carikan istri, kan kamu. Bukan aku!” Dia membalas dengan tajam dan galak.
“Yang datang karena mau dijodohkan yang berharap. Udah putus asa nggak sanggup cari pacar apa?”
“Ngaca, Om!”
“Bilang apa kamu?”
“Ngaca, udah tua jangan pemilih. Cari cewek muda pakai foto lama. Yang fair dong! Pakai foto terbaru biar nggak ada yang tertipu.” Elard tak percaya apa yang dia dengar, mulut Seira kelewatan kurang ajar. Siapa yang tahan mendengar ocehan dari orang yang tak dikenal begitu.
“Baik, saya pulang,” kata Elard.
Elard berbalik, memutuskan untuk tidak meladeni Seira dan tidak akan pernah mau bertemu lagi. Buang-buang waktu saja. Sejak awal memang seharusnya dia tidak percaya pada perkataan Marisa. Apanya yang calon menantu idaman, tingkahnya seperti bocah kurang ajar begitu.
“Eh? Kok main pulang sih? Kenalan aja belum.” Seira malah tak jelas. Sudah ngomel-ngomel seakan di-PHP tadi, eh ... masih saja menahan tangan Elard entah untuk apa.
“Saya tidak mau berkenalan denganmu,” balas Elard datar. Dia menepis tangan Seira, berjalan lebih cepat tanpa menoleh sama sekali.
Seira yang ditinggalkan jadi tak enak. Dia bukannya mau kenalan dengan cara begitu. Hanya saja mulutnya kadang ceplas-ceplos tak bisa direm. Udah ganteng, sia-sia dong kalau kenalannya nggak jadi.
“Nggak usah dipikirkan, Seira. Elard memang selalu begitu. Sok jual mahal, nanti-nanti ketemuan ulang ya!” Ini lagi Marisa, habis anaknya pulang dia memunculkan diri. Masih belum menyerah menjodohkan mereka.
Tumben-tumbenan ada yang berani mengomeli Elard. Mungkin ada bagusnya mendekatkan mereka. Kali saja Seira bisa mengubah kepribadian anaknya yang pemilih dan perfeksionis itu.
“Nggak usah – ”
“Tenang, nanti tante yang atur.”
“Tapi Tante – ”
“Pokoknya kamu ikut saja. Semua pasti beres. Ini belum kenal aja, nanti juga ketemu sisi baiknya kok.”
Begitu saja terus. Tiap kali Seira ingin menolak, Marisa selalu memotong dengan berbagai bujukan sampai Seira mengangguk setuju. Biarlah, nanti saat ketemu lagi dia akan minta maaf sudah kurang ajar sama orang tua. Soal perjodohan si bodoh amat. Om-om sok jual mahal begitu kayaknya bikin pusing kepala, Seira mana sanggup.