50 - May - Hurt

1046 Kata
    Rasanya aku ingin sekali berteriak karena aku tahu Tomoka tidak seperti itu. Ia bahkan tidak pernah meminta apapun dariku dan malah aku yang sangat membutuhkannya. Aku bukanlah seorang selebritas yang hidupnya harus selalu sesuai dengan keinginan penggemar. Aku masih seorang manusia biasa yang membutuhkan kebebasan dan udara segar demi hidupku.     Hari itu aku harus menghadiri urusan bisnis di luar istana. Sepanjang perjalanan, aku melamun memandang pemandangan jalan di China sambil memikirkan solusi untuk semua permasalahan ini. Jika tetap berhubungan dengan putri Garel, aku yakin aku pasti akan tercekik nantinya karena hidupku sudah bukan milikku lagi.     Saat sedang memandang jalanan, aku melihat sesuatu. Ada seorang gadis yang berlari dan beberapa pria mengejarnya. Aku pikir mereka hanya sedang bermain kejar-kejaran saja dan tidak terlalu mempedulikannya. Kejadian itu pas terjadi di jalan menuju taman yang tidak jauh dari lokasi mobilku.     Tapi, saat gadis itu menoleh ke belakang untuk melihat pengejarnya, aku terkejut seketika. Tomoka??? Kenapa dia ada di sana??? Aku tidak mungkin salah mengenalinya karena aku sangat mengenal jelas wajahnya. Tomoka berlari panik menghindari gerombolan pria yang tetap mengejarnya itu. Aku benar-benar terkejut dan langsung menegapkan diriku.     Untungnya, mobilku berhenti karena lampu merah. Aku langsung melompat keluar dari mobil karena aku tahu Tomoka membutuhkan pertolongan.     “Tuan!!!” Sean berteriak terkejut saat melihatku keluar dari mobil secara mendadak seperti itu. Aku tidak menghiraukannya dan terus berlari ke arah Tomoka.     Kupaksakan kakiku agar terus berlari dan berharap agar aku tidak terlambat menyelamatkannya.  Aku juga tahu Sean dan beberapa pengawal mengejarku di belakang. Mereka berteriak memanggilku kembali namun tetap tidak kupedulikan.     Tomoka berhenti di tangga panjang menuju taman. Napasnya tersengal-sengal karena berlari cukup jauh dari tadi. Aku bisa mendengar teriakan-teriakan sepertinya mereka sedang berdebat. Ekspresi Tomoka bahkan terlihat sangat ketakutan sehingga aku semakin mempercepat lariku. Mataku bahkan semakin membelalak saat melihat mereka seperti bersiap-siap hendak memukul Tomoka. Astaga... apa yang terjadi sebenarnya???     Salah satu pria memukul bahu Tomoka sehingga tubuhnya limbung ke belakang. Aku membelalak karena ia akan jatuh dari tangga! Aku sudah tidak terlalu jauh darinya.     “Tomoka!!!” teriakku dan aku langsung mengulurkan tangan untuk menggapai tangannya.     Grep!     Aku berhasil meraih tangannya dan dengan cepat kutarik dia ke pelukanku. Namun, sayangnya tubuhku juga limbung karena berada di ujung tangga sehingga aku membelalak karena kami akan terjatuh bersama.     Kuputar tubuhku agar aku yang berada di bawah dan Tomoka tetap terlindungi di atas. Aku tidak ingin terjadi apa-apa padanya. Kupeluk tubuhnya erat-erat dan hantaman keras di kepalaku membuatku terdiam seketika.     Aku tidak sanggup berteriak karena kepalaku rasanya seperti dilanda gempa. Sangat menyakitkan. Aku mengerang dan sedetik kemudian aku mendengar Tomoka terkejut melihatku. Ia benar-benar panik melihatku terbaring di tanah seperti itu.     Aku lega. Benar-benar lega melihatnya tidak terluka sama sekali. Setidaknya aku benar-benar berhasil melindunginya. Detik berikutnya, kepalaku terasa sangat sakit sekali dan semuanya berubah menjadi gelap...                                                                                           ***       Sean datang ke kamarku pada malamnya. Ia memberitahuku kalau operasinya telah selesai dan Xu Qiang telah dibawa pulang ke istana. Kepalanya baru selesai dijahit dan kesadarannya baru memulih. “Tuan ingin menemuimu. Pergilah sekarang,” kata Sean. Entah kenapa suara Sean sepertinya bergetar. Aku mengangguk dalam diam dan mengikutinya ke kamar Xu Qiang.     Xu Qiang terbaring di ranjangnya sambil memandangku begitu aku masuk. Ia memanggil namaku pelan.     “Xu Qiang!” aku langsung berlari ke sisinya. Akhirnya aku bisa melihat dengan mata kepalaku sendiri bagaimana keadaan Xu Qiang. Air mata yang kutahan dari tadi mulai membuyarkan pandanganku.     “Maafkan aku! Kau terluka karena aku...” suaraku tercekat saat mengatakan itu.     Aku menunduk memegangi lengannya. Xu Qiang mengelus kepalaku perlahan.     “Itu bukan salahmu. Tidak usah minta maaf,” katanya lembut.     “Tapi...” aku baru saja ingin bicara, Xu Qiang langsung tersenyum ke arahku.     “Aku minta maaf karena harus membuatmu mengalami penyerangan seperti itu. Aku berjanji untuk menemukan pria-pria yang mengejarmu itu. Jadi, jangan khawatir... aku akan melindungimu...” ucapnya lirih.     Selama Xu Qiang tetap selamat, hanya itu yang kubutuhkan. Aku benar-benar tidak bisa berkata apa-apa dan hanya sanggup bergelayut di lengannya layaknya anak kecil meminta perlindungan.     Secara kebetulan, karena kelelahan, Xu Qiang tertidur lelap. Aku menatap wajah pucatnya. Aku senang saat mendengar dia akan melindungiku tapi aku tidak ingin dia terluka seperti ini. Kuulurkan tanganku menyentuh pipinya dengan lembut.     Jika aku terus berada di sisinya, Xu Qiang akan kembali terluka karena aku... aku juga ingin melindungimu, Xu Qiang... Satu-satunya caraku untuk melindungimu adalah...     Air mataku kembali jatuh untuk kesekian kalinya. Perlahan-lahan aku mengecup pipinya. Akhirnya aku mendapatkan jawaban untuk diriku sendiri...     Aku menatap wajah tidurnya selama beberapa saat dan kemudian memandang langit malam yang berbintang. Sebuah ketukan pelan terdengar di pintu. Dr. Hirata masuk perlahan dan menghampiriku. “Aku datang untuk melihat keadaannya. Bagaimana dia?” tanyanya. “Dia tertidur sekarang,” kataku pelan. “Sepertinya dia lelah,” komentar Dr. Hirata menatap wajah pangeran.     Kami terdiam selama beberapa saat dan hanya memfokuskan pandangan pada wajah tertidurnya Xu Qiang. Setelah keheningan itu, aku memutuskan untuk memberikan keputusanku. Kutarik napas dalam-dalam dan membuka mulutku untuk bicara.     “Dr. Hirata... aku tidak berpikir kalau aku bisa tinggal di sini...” kataku.     “Apa???” kagetnya. Ia membelalak menatapku.     “Aku akan pulang ke Jepang bersamamu,” jawabku. Kali ini aku menatap mata Dr. Hirata secara langsung. Ia kelihatan sedang mencari kata-kata yang tepat sebelum akhirnya bersuara kembali.     “Apa kau yakin... kalau itu yang kau inginkan?” suaranya sangat rendah seperti bisikan. Aku mengangguk pelan.     “Ya, aku sudah memikirkan itu.” jawabku.                                                                                        ***       Aku tidak tahu sudah terbaring berapa lama karena rasanya waktu berjalan dengan sangat lambat. Saat aku mulai sadar, tubuhku rasanya sangat lemah dan kepalaku juga masih berdenyut menyakitkan. Orang yang pertama kali kulihat saat aku sadar adalah Sean. “Tuan??? Anda sudah sadar??? Ada yang sakit???” tanyanya dengan wajah cemas. Aku menggeleng perlahan dan itu cukup menyakitkan juga. Rasanya ada perban besar yang membalut kepalaku.     “Dimana Tomoka...?” tanyaku pelan. “Dia di kamarnya. Aku sudah menyuruhnya untuk beristirahat setelah kejadian itu. Tenang saja, tuan. Tomoka baik-baik saja,” jawab Sean. Aku menghela napas lega mendengarnya. “Sean... cari orang-orang yang mengejar Tomoka... hukum mereka seberat-beratnya... aku tidak mau ada orang yang berani menyakiti Tomoka lagi... dia tidak bersalah...” ucapku lambat dan mataku terpejam beberapa kali karena cukup lelah. “Baik, tuan.” “Dan... tolong panggilkan Tomoka kemari... aku ingin bicara dengannya...” pesanku lagi.            
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN