72 - August - Hesitating

1069 Kata
    “Tomoka, kemarilah...” panggilnya sambil masih memegang tanganku. Kami mendaki bukit kecil itu bersama-sama.     “Aku ingin menunjukkanmu pemandangan dari bukit ini,” katanya tersenyum.     “Pemandangan dari sini?” aku langsung menoleh ke arah yang dimaksud Xu Qiang dan mataku membelalak kagum.     Begitu kami mencapai puncak bukit, pandanganku langsung menyapu pemandangan negara China yang terbentang di depan kami.     “Ini indah sekali...” kagumku. Dunia yang biasa kulihat hanyalah sebagian kecil dari pemandangan ini.     “Ini adalah tempat favoritku. Aku sering kemari dengan menunggang kuda. Kau adalah orang pertama yang pernah kubawa ke tempat ini,” Xu Qiang tersenyum dan ikut memandang pemandangan di depannya.     Ini adalah negaranya... ketika aku melihat bangunan-bangunan kecil yang sudah berdiri berpuluh-puluh tahun itu, aku merasa tersentuh.     “Ini adalah negara yang menjadi tanggung jawabku,” katanya pelan. Aku kembali diam mendengarkannya.     “...saat kau meninggalkanku, aku selalu menyalahkan takdir dan membencinya. Kenapa aku harus terlahir di keluarga kerajaan? Tapi, yang bisa kulakukan hanya menerima takdir itu,” Ia menatap sendu ke kejauhan.     “Demi negaraku dan demi rakyatku... tapi, diatas semua itu, aku ingin hidup sebagai diriku sendiri,” Xu Qiang terlihat muram saat mengatakan hal ini. Kurasa... ini adalah jawaban yang telah dipilihnya.     “Ada banyak hal yang hanya bisa dilakukan oleh presiden. Sama seperti hal-hal yang hanya dapat kau lakukan,” hanya itu komentar yang bisa kuberikan saat aku berdiri di sampingnya. Ia mendengus tertawa pelan dan meletakkan tangannya di kepalaku.     “Hal yang sama berlaku untukmu juga,” katanya kemudian. “Seperti hanya kau yang bisa membuat onigiri dan teh yang enak. Dan aku juga telah banyak berubah... semuanya karena kau ada di sini. Tidak ada orang yang bisa melakukan hal yang telah kau perbuat padaku,” Xu Qiang menatapku dengan sangat lembut. Hatiku langsung terasa begitu sakit.     “Tidak peduli sebagai pangeran ataupun sebagai pemimpin... aku akan melakukan apa yang menurutku terbaik. Apapun yang dapat kulakukan, akan kulakukan dengan sepenuh hati. Itulah ikrarku. Dan saat aku melihatmu, aku ingin menjadi pria seperti itu.”     Setelah ia mengatakan hal ini seperti bergumam pada dirinya sendiri, Xu Qiang kembali melemparkan pandangannya ke pemandangan negaranya.     Ketika aku melihat dirinya, ia lebih terlihat seperti seorang pangeran daripada waktu dulu. Saat aku terus menatapnya yang sedang memilih jalan apa yang akan diambilnya sebagai pemimpin berikutnya, aku mulai merasa kesepian kembali merayapi hatiku. Mulai sekarang, jarak antara kami akan semakin melebar dan menjauh. Aku tidak bisa berhenti berpikir bagaimana akhirnya ia akan memimpin negaranya. Mendukungnya adalah salah satu cara yang dapat kulakukan...     Jika kami dapat saling mendukung... pikiran itu mulai membuatku membayangkan kami berdua dapat tertawa bersama-sama kembali. Tapi, bayangan itu sangat jauh dari kata jelas. Bayangan itu akan segera menghilang dan menguap di udara. Satu-satunya hal yang dapat kulakukan sekarang adalah tetap mendukungnya dengan senyuman.     “Aku tahu kau bisa melakukannya,” kataku lirih.     “Benarkah? Aku juga berpikir demikian,” balasnya. Mendengar kata-kata arogannya membuatku tidak bisa berhenti tersenyum. “Kau terlalu percaya diri,” ledekku.     “Tidak. Rasanya sangat menyenangkan saat kau memujiku seperti itu. Kau seharusnya sering melakukannya,” Xu Qiang tertawa dan mengacak-acak rambutku dengan lembut.     “Jika ada yang bisa kulakukan untukmu, katakan saja padaku.” ucapku saat terjadi keheningan sesaat.     “Kapan saja? Tapi, kau akan segera meninggalkan negari ini hanya dalam beberapa jam, bukan?” ia kembali muram dan aku menatapnya pilu.     “Xu Qiang...”     Segulung awan berpindah dan memperlihatkan raut wajah Xu Qiang yang terlihat benar-benar sedih. Tiba-tiba, ia menengadah memandangku dan memegang bahuku dengan kedua tangannya. Aku tertegun melihatnya.     “Tomoka, aku...” ia menatapku dengan ekspresi yang sangat serius. Kata-katanya terputus seketika.     RING! RING! Ponsel Xu Qiang berdering tiba-tiba. Ia langsung melihat nama Sean muncul di layar ponsel.     “Dari Sean. Sepertinya waktu kita sudah habis. Ayo kembali ke mobil,” katanya dengan suara datar. Aku hanya mengangguk dan mulai berpikir apa yang ingin dikatakannya?     Kami memandang pemandangan itu sekali lagi untuk yang terakhir kalinya sebelum melangkah pergi meninggalkan bukit indah itu.                                                                                       ***       “Aku minta maaf karena tidak bisa mengantarmu ke bandara,” Xu Qiang memandangku saat berada di dalam mobil. Aku menggeleng dan tersenyum padanya.     “Tidak masalah. Terima kasih telah membawaku ke tempat seindah itu.”     Xu Qiang turun terlebih dahulu untuk menghadiri pertemuan bisnisnya. Aku sudah mengatakan padanya kalau aku akan berangkat menggunakan taksi saja. Tapi, Sean mengatakan ia ingin mengantarku sampai ke bandara.     “Tomoka... sampai jumpa.” Xu Qiang memandangku untuk terakhir kalinya dan ia menjabat tanganku.     Ketika kami berpisah, aku tahu akhirnya akan seperti ini. Yang bisa kuucapkan dari bibirku hanyalah, “Jaga dirimu baik-baik.”     “Ya. Aku akan menjumpaimu lagi,” keningnya berkerut sesaat seperti ingin mengatakan sesuatu. Tapi, kemudian ia mengurungkannya dan melepaskan tanganku.     Dalam sekejap, Xu Qiang telah dikelilingi oleh pengawal begitu pintu mobil terbuka. Ia berjalan pergi dan hilang dalam kerumunan.   ˜                                                                                    ***       Tomoka akan kembali ke Jepang hari ini. Aku sedih tapi kali ini aku meneguhkan hati bahwa aku akan mengantarnya. Aku tidak ingin perpisahan yang menyedihkan dan aku juga tidak ingin lari lagi untuk menghindarinya.     “Aku akan mengantar Tomoka ke bandara,” ucapku pada Sean pagi itu. Sean terlihat terkejut sekali. “Tapi, tuan ada pertemuan bisnis hari ini! Bahkan pertemuannya juga akan dihadiri media massa! Anda tidak akan sempat...” jawab Sean. Aku melirik arlojiku. “Pertemuannya jam 1 bukan? Sama dengan jam keberangkatan Tomoka. Aku rasa kita akan mengantarkannya lebih dulu,” kataku memutuskan hal itu begitu saja. Sean nampaknya tidak bisa berkata-kata karena aku menunjukkan tanda-tanda tidak menerima bantahan lagi.     Aku segera mengenakan pakaian formal kerajaan dan menunggu Tomoka di mobil. Sean yang pergi menjemput Tomoka di kamarnya. Saat Tomoka tiba, ia terkejut melihatku berada di dalam mobil juga.     Sepanjang perjalanan, kami tidak berbicara karena sibuk tenggelam dalam pikiran masing-masing. Ada yang ingin kukatakan pada Tomoka namun kupikir aku akan mengatakannya nanti saja. Ada Sean di dalam mobil dan aku tidak mau dia mendengarnya. Tapi, kapan aku bisa mengatakannya? Setelah tiba di bandara pasti tidak ada kesempatan lagi untuk mengatakannya.     Aku teringat dengan tempat pribadi yang sering kukunjungi. Kusuruh Sean untuk membawa kami ke sana karena aku masih memiliki waktu untuk bersama Tomoka. Aku tahu Tomoka pasti penasaran kemana dia akan dibawa. Tapi, aku tetap tidak memberitahunya. Biarkan saja dia melihat tempat favoritku.     Aku menghampiri kuda kesayanganku. Tidak ada orang yang bisa menaikinya selain aku. Kudaku bahkan sangat senang sekali saat melihatku. Mungkin karena sudah jarang aku datang mengunjunginya hingga dia merasa kesepian.            
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN