Karena bagiku kehilanganmu adalah penyesalan terbesarku. Sekeras apa pun aku mencoba, hatiku tetap tak akan berubah. Aku masih begitu menginginkanmu. Aku masih sangat mencintaimu, Kim.
- Oh Sehan
*****
Sehan tidak berkutik ketika bibirnya dan Nara bersentuhan. Netranya tidak terpejam ataupun berkedip. Ia hanya mampu melotot terkejut, tapi tidak kuasa mendorong Nara menjauh sebagai tanda penolakan atas apa yang gadis itu lakukan. Bukan berarti ia menerimanya, hanya saja ia masih terlampau kaget untuk melakukan sesuatu sebagai respons.
Sehan tidak tahu sudah berapa lama Nara menciumnya, yang jelas ketika kesadarannya kembali ia langsung mendorong tubuh gadis itu agar menjauh. Membuat Nara gantian merasa terkejut atas tindakannya. Dengan tangan yang masih berada di bahu Nara Sehan bertanya, “Kim Nara, apa yang kau lakukan?”
Alih-alih raut bersalah yang Sehan dapati, Kim Nara justru tersenyum. Namun, senyumnya terlihat sedikit … menyeramkan. “Bukannya Guru ingin jawaban? Itu tadi adalah jawabanku.”
Sehan menatap Nara tak mengerti. “Apa maksudmu?”
Lagi-lagi Nara hanya menampakkan senyumnya. Gadis itu membebaskan diri dari kuasa Sehan dan justru melancarkan pertanyaan, “Menurut Guru untuk apa aku menciummu seperti tadi?”
Si Pria Oh tidak menjawab. Tiba-tiba rautnya mengeras. Raut penasaran tidak lagi menghiasi wajahnya, walau begitu ia tetap memfokuskan atensi kepada Nara guna mendengar kalimat yang meluncur dari bibir gadis yang duduk di sampingnya.
“Aku menyukaimu, Guru Oh. Aku mencintaimu.”
Deg!
Entah kenapa saat Kim Nara mengatakan hal itu perasaan Sehan menjadi aneh. Campur aduk sekali rasanya. Ia benar-benar tidak menyangka sang murid akan bicara seperti itu kepada dirinya. Sejak awal Sehan memang sudah merasa ada yang aneh dari sikap Nara kepadanya, tapi ia tidak pernah mengira akan begini jadinya.
Oh Sehan mengalihkan atensi dari Nara yang masih betah menatapnya. Pria itu buru-buru membereskan buku-buku di atas meja dan menyerahkannya pada sang murid. “Kim Nara, lebih baik kau pulang sekarang. Aku masih punya banyak urusan. Maaf,” ujar Sehan tanpa mau menatap gadis itu.
Sehan tidak dapat melihat bagaimana raut Nara saat ini, tapi ia merasa bahwa gadis itu tidak merasa keberatan atau tersinggung sama sekali dengan pengusiran secara halus darinya. Hal ini terbukti dari nada suaranya yang terdengar ceria dan tanpa dosa sama sekali saat merespons, “Baiklah, kalau begitu aku pulang dulu, Guru. Sampai jumpa di sekolah!”
Nara bangkit dari sofa sambil membawa tas beserta buku-bukunya. Sehan masih enggan untuk menatap kepergian gadis itu sampai akhirnya ia mendengar suara pintu yang tertutup. Tepat setelah itu Sehan pun menghembuskan napas berat yang sedari tadi di tahannya sambil menyandarkan tubuh ke sofa. Kepala Sehan menengadah kemudian ia memejamkan mata.
Satu kata yang bisa mendeskripsikan kondisi Sehan saat ini; kacau.
*****
Park Chanyoung hanya mampu tersenyum dan menggelengkan kepalanya saat melihat kelakuan sang adik perempuan yang sedang asyik melihat-lihat deretan pakaian di sebuah butik. Gadis berusia tujuh belas tahun itu tampak antusias memilih berbagai model baju yang entah akan dibelinya atau justru hanya akan menjadi sasaran untuk dicoba.
“Kak, mana yang lebih cocok untukku?” Sang adik bertanya pada Chanyoung sambil menunjukkan dua model dress. Yang satu berwarna merah, sedangkan yang lain berwarna baby pink. Keduanya sama-sama terbuka di bagian bahu, tapi yang berwarna pink memiliki tali di bagian pinggang.
Chanyoung tampak berpikir. Sungguh, ia tidak mengerti apa-apa soal model pakaian perempuan, jadi agar mudah ia langsung menjawab, “Kurasa dua-duanya cocok denganmu.” Well, bagi Park Chanyoung semua jenis pakaian memang cocok dipakai oleh adiknya yang cantik dan bertubuh langsing bak model.
Adiknya itu berdecak. “Sudah kuduga kau akan bicara begitu. Percuma saja aku minta pendapatmu.”
Mendengar rajukan sang adik Chanyoung pun terkekeh. Sambil mendekati gadis itu dan merangkul bahunya ia berkata, “Lho, apa yang salah dengan pendapatku, Chae? Bagiku kau memang cantik dan cocok memakai semua jenis pakaian kok.”
Park Chaeyoung memutar bola matanya malas dan segera melepaskan diri dari sang kakak. “Karena kau bilang dua-duanya cocok, berarti tidak apa-apa kalau aku beli semuanya?” tanyanya.
Chanyoung mengangguk. “Tentu saja! Bahkan kalau kau mau membeli semua baju yang ada di butik ini juga tidak apa-apa.”
Chaeyoung langsung berbinar dan tampak antusias. “Serius?”
Lagi-lagi Chanyoung mengangguk. “Pilih mana saja yang kau mau, aku akan membayarnya.”
“Asyik! Terima kasih, Kak!” Dengan gembira Chaeyoung mendekap Chanyoung lalu menciumnya tepat di pipi. “Aku sayang Kakak!”
Chanyoung mengacak surai Chaeyoung gemas dan mendaratkan ciuman di puncak kepalanya. “Aku lebih menyayangimu,” ujarnya.
Chaeyoung pun menarik diri dan kembali memilih-memilih pakaian sambil membawa kedua dress tadi. Tingkahnya ini membuat Chanyoung geleng-geleng kepala. Namun, semakin lama senyum lebar Chanyoung berubah menjadi senyum sendu. Ada rasa sedih yang tiba-tiba merasukinya. Membuatnya teringat pada seseorang yang berhasil membentuknya jadi sosok Park Chanyoung yang sekarang.
“Kak, sini!”
Teguran sang adik membuat Chanyoung mengerjap dan tersadar dari lamunannya. Ia tersenyum menanggapi. “Aku ke sana!”
*****
Chanyoung dan Chaeyoung menghabiskan waktu dua jam di butik. Rupanya Chaeyoung tidak hanya membeli beberapa helai pakaian, tapi juga membeli sepatu dan tas yang harganya tidak main-main. Awalnya Chanyoung keberatan, tapi karena tidak tega melihat sang adik terus-menerus merengek, ia pun memperbolehkan. Bagaimana lagi? Ia memang sesayang itu pada adiknya.
“Kak, berhenti dulu di depan sana!” pinta Chaeyoung tiba-tiba sambil menepuk-nepuk bahu sang kakak yang sedang asyik menyetir. Mau tak mau Chanyoung pun menuruti perkataan gadis itu.
“Ada apa?” Chanyoung bertanya, tapi Chaeyoung tak menjawab dan justru menurunkan kaca mobil. Ia memanggil seseorang yang sedang duduk di kursi halte bus. “Kim Nara!”
Dahi Chanyoung berkerut penasaran mendengar nama itu. Ia mencoba melihat ke luar kaca depan dan matanya membulat sempurna saat melihat siapa gerangan sosok yang sedang berjalan ke mobilnya. Gadis itu adalah gadis yang berebut payung dengannya di minimarket dua hari lalu.
Sial, ternyata dia seumuran Chaeyoung! batin Chanyoung merutuk. Padahal ia mulai penasaran dan tertarik pada gadis itu, sayangnya perbedaan umur mereka terlalu jauh. Tunggu! Bukankah cinta itu tidak memandang usia? Tapi, apakah pantas jika Chanyoung menaruh hati pada gadis yang juga teman adiknya?
“Kau sudah sembuh? Mau ke mana?” Chaeyoung bertanya.
Chanyoung kembali terkejut. Jadi kemarin Nara yang dijenguk oleh Chaeyoung? Dia sakit apa? Apakah karena kehujanan waktu itu? batinnya bertanya-tanya.
Nara tampak tersenyum. “Ya, aku sudah sembuh. Tadi aku hanya sedang jalan-jalan saja dan sekarang sudah mau pulang. Aku sedang menunggu bus.”
“Tidak perlu menunggu bus, kau pulang saja bersama kami. Tidak apa-apa kan, Kak?”
Ditodong pertanyaan seperti itu oleh Chaeyoung membuat Chanyoung gelagapan. Sejak tadi ia memang hanya diam dan menyimak, bahkan ia tidak berani menunjukkan wajahnya kepada Nara. Tapi karena situasinya jadi sepert ini, ia pun jadi kikuk dan tidak tahu harus merespons bagaimana.
“Kau bersama kakakmu?” Sebelum Chanyoung sempat menjawab Chaeyoung, Nara sudah lebih dulu melontarkan pertanyaan. Posisinya saat ini membuat gadis itu masih belum bisa melihat wajah Chanyoung.
Chaeyoung terkesiap. “Oh iya aku lupa! Aku kan belum memperkenalkan kalian berdua.” Gadis cantik itu meringis. “Kalau begitu masuklah, Nara! Kami akan mengantarkanmu pulang sekaligus aku ingin memperkenalkan kalian berdua. Ayo!”
“Memang tidak apa-apa?” Nara tampak merasa tidak enak.
“Ck! Sudah, tidak perlu sungkan! Masuklah!” Kali ini Chaeyoung tidak menunggu respons Chanyoung lagi dan terus meyakinkan Nara agar mau menumpang mobil sang kakak. Nara menurut.
Setelah Nara masuk, Chanyoung pun melajukan kuda besinya membelah jalanan kota Seoul. Chanyoung sempat menanyakan ke mana tujuan mereka, dan Chaeyoung yang menjawabnya. Sejak Nara berada di dalam mobil, Chanyoung tak pernah sekalipun menoleh ke jok belakang. Ia takut gadis itu akan mengenali wajahnya. Akan tetapi, kenapa ia harus merasa malu? Entahlah, Chanyoung sendiri tak tahu.
“Jadi, Kim Nara ini adalah sahabatku sejak masuk sekolah, Kak. Yang sering aku ceritakan padamu,” Chaeyoung mulai bercerita. “Dan Nara, ini Kak Chanyoung. Dia lama tinggal di Tokyo untuk mengurus hotel keluarga kami.”
“Senang berkenalan denganmu, Kak,” Nara berujar sambil tersenyum sopan.
Chanyoung merespons sambil melirik ke spion depan guna melihat wajah Nara. “Senang berkenalan denganmu juga, Kim Nara.”
Usai Chanyoung berkata begitu, Nara tampak mengerutkan dahi. Gadis itu mencoba mengintip untuk melihat wajah Chanyoung, tapi pria itu dengan sigap menghindar. Berusaha menyembunyikan wajahnya sebisa mungkin.
“Hei, kau kenapa?” Chaeyoung menegur Nara yang masih menatap Chanyoung penasaran.
Nara terkesiap pelan dan menggeleng. “Tidak apa-apa, hanya saja aku seperti pernah mendengar suara kakakmu, tapi entah di mana dan kapan.”
Diam-diam Chanyoung tersenyum tipis. Ia tidak menyangka bahwa Nara masih mengingat suaranya.
Chaeyoung lantas terkekeh. “Mungkin kau pernah bertemu dengan seseorang yang suaranya kebetulan mirip kakakku.”
Nara mengangkat bahu. “Mungkin. Entahlah. Tidak terlalu penting juga sebenarnya.”
Setelah mendengar perkataan Nara, raut Chanyoung berubah lesu. Namun, pada detik selanjutnya ia justru kembali tersenyum. Tidak apa-apa kalau Nara tidak mengingatnya, mungkin nanti atau di lain waktu Chanyoung akan menunjukkan wajahnya agar gadis itu tahu siapa ia sebenarnya.
*****
Hari ini tanggal 4 Juli. Sehan memutuskan untuk tidak pergi ke sekolah untuk mengajar. Ia beralasan sedang tidak enak badan, padahal sejatinya ia sedang menghindari seseorang. Siapa lagi kalau bukan Kim Nara?
Selama beberapa hari ini, terhitung sejak ciuman waktu itu, Sehan merasa semakin tidak nyaman jika Nara berada di sekitarnya. Pasalnya, gadis itu semakin berani menunjukkan ketertarikan terhadap dirinya. Yang paling membuat Sehan tak tahan adalah ketika Nara mulai bersikap seperti Kim Dain, mendiang kekasihnya.
Benar, Dain sudah lama meninggal dunia. Gadis cantik itu meninggal saat usianya masih belia, yaitu tujuh belas tahun. Ia meninggal karena tabrak lari yang dilakukan oleh seorang pria mabuk. Hari peringatan kematiannya jatuh pada hari ini dan itu menjadi alasan lain kenapa ia memilih untuk tidak masuk saja.
Hanbeonman nae mameul deurojwo
(Tolong dengarkan jeritan hatiku ini, meskipun hanya sekali saja)
Everyday everynight I am missing you
(Setiap hari dan malam, aku merasa kehilanganmu)
Nae gyeote eobseodo, ijen beorsu eobsodo
(Meskipun kau tak di sampingku lagi, meskipun aku tak mampu melihatmu sekarang)
Eonjena nae mameun tto gateun neo ingeol
(Di hatiku kau tak akan pernah berubah)
Saat ini Sehan sedang berada di dalam mobilnya, berkendara ditemani lagu lawas dari Fly To The Sky yang berjudul Missing You. Ironisnya, lagu ini dulunya dirilis bertepatan dengan setahun meninggalnya Dain. Itu sebabnya Sehan menjadikan lagu ini sebagai lagu favoritnya. Lagu yang selalu mengingatkannya kepada mendiang Dain selain lagu favorit gadis itu, yaitu I’m Your Girl dari S.E.S.
Setelah berkendara selama tiga puluh menit, Sehan sampai di tempat yang ia tuju. Sebuah area pemakaman tempat Dain dikebumikan. Sebelum turun, Sehan terlebih dahulu mengambil sebuket bunga dari jok belakang. Bunga kesukaan Dain, krisan putih yang juga bermakna kesetiaan. Ya, Sehan memang sesetia itu kepada mendiang kekasihnya. Saking setianya ia bahkan belum berkeluarga hingga sekarang.
Dengan penuh kemantapan Sehan melangkahkan kaki demi menuju pusara sang kekasih hati. Namun, saat tinggal beberapa meter lagi, Sehan justru memelankan langkahnya. Ia merasa terkejut usai mendapati ada seseorang yang berdiri di dekat nisan Dain dengan posisi membelakanginya. Sosok berseragam sekolah yang sempat mengacaukan perasaannya belakangan ini.
“Kim Nara, sedang apa kau di sini?”
Pertanyaan Sehan membuat sang gadis bersurai panjang itu berbalik. Nara tersenyum manis, tapi ada kesan sendu di dalamnya. Wajah Sehan yang awalnya mengeras karena tidak suka dengan kehadiran Nara di sana sedikit mengendur karenanya.
“Aku tahu kalau Guru pasti ke sini, itu sebabnya aku—“
“Dan dari mana kau tahu kalau aku akan pergi ke sini? Kenapa kau membolos hanya untuk menemuiku? Kalau ini soal perasaanmu kepadaku, harus kutegaskan kalau aku tidak bisa menerima perasaanmu itu, Nara. Jadi kumohon—“
“Guru tidak penasaran kenapa aku bisa tahu tempat ini? Kau tidak ingin tahu siapa aku sebenarnya?”
Pertanyaan Nara membuat Sehan terdiam. Ia tidak merespons sampai pada akhirnya Nara mengucapkan deretan kata-kata yang membuatnya membulatkan mata tak percaya.
“Aku adalah reinkarnasi dari Kim Dain.”