Agreement

2202 Kata
Tiga hal dalam hidup yang tidak akan pernah kembali; waktu, kenangan, dan kesempatan.   -          Anonim   *****   ‘Maaf, aku terlambat memberitahumu. Aku harus menjemput Nana karena mobilnya mogok. Bir dan keripik kentangnya untuk kau saja.’   Sehan menghela napas berat usai membaca pesan singkat dari Baekwon. Setelah menjejalkan ponsel ke saku celana, atensi Sehan kini beralih pada gadis yang duduk di sofa apartemennya sambil menikmati keripik kentang. Gadis yang beberapa saat lalu melemparnya dengan bantal karena masuk kamar tanpa mengetuk terlebih dulu. Seorang siswi yang menyelinap masuk ke apartemen gurunya sendiri.   Siapa lagi kalau bukan Kim Nara?   “Kau belum menjawab pertanyaanku, Kim Nara,” Sehan mendesis, kentara kesal. Tatapannya terhunus tajam pada Nara yang rambutnya basah dan memakai hoodie hitam kebesaran yang hanya menutupi tubuh gadis itu hingga sebatas paha. Hoodie milik Sehan, lebih tepatnya.   Nara masih asyik mengunyah keripik kentang ketika menjawab, “Pertanyaan yang mana? Seingatku Guru mencecarku dengan banyak pertanyaan saat menyeretku kemari.”   Jawaban Nara berhasil memantik amarah yang sejak tadi ditahan-tahan oleh Sehan. Pria itu membuka mulutnya, hendak marah, tapi urung. Ia terlebih dulu menetralkan napas dan kembali melontarkan pertanyaan, “Bagaimana bisa kau masuk ke apartemenku dan untuk apa?”   “Oh,” Nara terlebih dahulu menelan makanan di dalam mulutnya lalu menjawab, “Aku masuk dengan memasukkan pin dan seperti yang Guru lihat, aku masuk ke sini karena ingin meminjam baju.”   “Dan dari mana kau tahu pin apartemenku? Apa yang kau lakukan di lingkungan tempat tinggalku?”   “Aku hanya memasukkan hari jadi hubungan kita—bukan, maksudku kau dan Dain lalu pintunya terbuka. Tadi aku kehujanan saat menuju ke sini, jadi aku memutuskan untuk menumpang mandi dan meminjam bajumu saja sekalian karena aku basah kuyup.” Gadis itu menjeda kata-katanya sebelum menyengir dan melanjutkan, “Aku ke sini karena aku merindukanmu.“   Alih-alih merasa terkejut mendengar kalimat terakhir yang Nara sampaikan, Sehan justru bertanya-tanya mengenai satu hal.   “Kau tahu … hari jadi hubungan kami?”   Nara tertawa lalu bangkit dari sofa guna mendekati Sehan yang sejak tadi berdiri di depannya. Gadis itu bersedekap. “Tentu saja aku tahu. Sudah kubilang kalau aku reinkarnasi Dain dan memiliki ingatannya, kan? Aku tahu semuanya.”   Sehan diam dan hanya menatap Nara tajam.   Nara memanfaatkan keterdiaman Sehan untuk kembali melancarkan amunisi. Ia sedikit berjinjit dan berbisik di dekat telinga Sehan, “Bahkan aku tahu apa yang hampir kau dan Dain lakukan saat hari jadi kalian yang pertama di rumah Dain tujuh belas tahun lalu.”   Netra Sehan langsung membola dan kedua tangannya refleks menahan bahu Nara agar bisa menatap wajah gadis itu dengan jelas. Sehan tampak terkejut dan sedikit panik.   “Apa maksudmu bicara seperti itu?”   Nara tersenyum miring dan membebaskan dirinya dari kuasa Sehan. Sehan tak berusaha menahannya lagi. “Kau tahu benar apa maksudku, Guru. Itu adalah sesuatu yang hanya kau, Dain, dan Tuhan yang tahu. Aku tidak perlu menjelaskannya, bukan? Oh, atau kau ingin aku—“   “Cukup!” Tanpa basa-basi Sehan menarik tangan Nara dan meraih tas gadis itu. Dengan sedikit kasar menyeret sang murid menuju pintu apartemennya. “Kau harus keluar dari sini!”   “Aku tidak mau!” Oh, tentu saja Nara tidak semudah itu diseret keluar. Gadis itu memiliki tenaga yang cukup kuat untuk menolak kuasa Sehan atas dirinya. Buktinya, tangan Sehan terhempas begitu saja dari pergelangan tangannya.   “Kim Nara!”   “Aku merindukanmu, tidakkah kau pahami itu?”   Suara Nara yang meninggi membuatnya dan Sehan hanya mampu saling bertatapan dalam kebisuan. d**a keduanya tampak naik-turun, terengah. Namun, berbeda dengan Sehan yang rautnya masih saja mengeras, Nara justru tampak berkaca-kaca. Tidak lama kemudian, air mata menetes dari hazelnya.   Sehan terkejut.   “Selama beberapa hari ini aku sengaja menjauhimu karena aku ingin memberimu ruang dan waktu untuk bisa menerima semuanya,” Nara mulai bersuara. “Aku tahu kau pasti merasa kalau apa yang kukatakan mengenai reinkarnasi tidak masuk akal, bukan? Tapi itulah yang terjadi sebenarnya. Aku adalah Kim Dain di masa lalu. Kau harus percaya padaku.”   Sehan masih terdiam, belum berani membalas. Pria itu bahkan sedikit mengalihkan pandangan karena tidak tahan melihat tangisan Nara. Sebenarnya Sehan memang tipe pria yang tidak tega jika melihat seorang perempuan menangis, hanya saja kali ini ia merasa ada yang berbeda. Hatinya ikut merasa sakit, entah kenapa.   “Saat berumur sepuluh tahun tiba-tiba saja aku bisa mengingat semuanya saat aku masih menjadi Kim Dain. Aku ingat soal dirimu, Jeongin, dan Ibu. Bahkan aku juga masih ingat bagaimana rasanya saat mobil itu menghantam tubuhku dan akhirnya aku jatuh ke aspal,” Nara melanjutkan. “Sejak aku ingat tentang kehidupan masa laluku, aku terus mencari keberadaan kalian. Dari situ aku tahu kalau Ibu ternyata sudah meninggal dunia beberapa bulan setelah kematianku dan Jeongin mendapatkan beasiswa ke London. Aku juga tahu kalau rupanya kau pindah ke New York beberapa minggu setelah pemakamanku.”   Nara mencoba mengatur napasnya terlebih dahulu sebelum kembali bercerita, “Kau tahu? Saat tahu bahwa kalian semua pergi aku merasa sangat sedih. Aku ingin sekali mencarimu dan Jeongin, tapi aku tidak bisa. Aku masih terlalu kecil saat itu. Yang bisa lakukan hanyalah menunggu sampai kalian kembali atau aku sudah cukup dewasa untuk pergi sendiri. Lalu tiba-tiba penantianku terbayarkan dengan kembalinya dirimu ke Seoul dan menjadi guru di sekolahku. Aku merasa sangat bahagia dan ingin menceritakan semua padamu saat itu juga, tapi aku menahan diri. Aku ingin mengungkapkan semuanya jika waktunya sudah tepat. Aku sudah menduga kalau kau tidak akan percaya begitu saja, tapi aku tetap merasa sedih karenanya.”   Sehan masih saja enggan menimpali atau melakukan sesuatu untuk menenangkan gadis itu. Lebih tepatnya, ia tidak bisa melakukan semua itu karena sibuk dengan lukanya sendiri. Luka lama yang tanpa sadar hadir kembali selama mendengarkan cerita Nara.   Sejak awal Sehan berusaha mati-matian agar tidak percaya begitu saja pada semua yang Nara katakan. Namun sekarang, entah kenapa ia seolah ingin menjilat ludahnya sendiri. Penjelasan Nara terdengar begitu menyakinkan. Hati Sehan mulai percaya, tapi logikanya tetap ingin menyangkal. Masalahnya, jika benar Nara adalah apa yang dikatakannya selama ini, lalu apa?   “Katakanlah aku percaya,” Sehan akhirnya angkat bicara. Kali ini pria itu mau tak mau harus menatap Nara yang sudah tidak terisak lagi, tapi masih menangis dalam diam. “Lalu apa yang kau inginkan?”   “Tentu saja aku ingin dirimu, Oh!” Nara beringsut menggenggam tangan Sehan. Tentu saja Sehan terkejut dengan sikap tiba-tiba gadis itu, tapi ia tidak mencoba untuk mengelak. “Aku ingin kita bersatu lagi seperti dulu lagi. Merajut kembali kisah lama kita yang bahkan belum usai.”   “Tapi itu tidak mungkin, Kim Nara!” Sehan menarik tangannya agar lepas dari genggaman Nara. Tubuhnya sedikit menjauh dari sang Gadis Kim. Ia menggeleng keras. “Kau dan aku tidak bisa bersatu. Kita guru dan murid.”   “Persetan dengan status, Oh!” Nara menyentak. “Cinta tidak memandang usia apalagi status.”   “Tapi aku masih mencintai Kim Dain. Kau dan dia tetap orang yang berbeda di mataku, itu sebabnya aku tidak bisa bersamamu. Aku tidak mencintaimu.”   “Apa bedanya? Perbedaanku dengannya hanya fisik, nama, dan kecerdasan saja. Selebihnya kami sama. Perasaanku adalah perasaan Dain juga. Dia mencintaimu, dan aku juga sama.”   Sehan hendak kembali menimpali, tapi mulutnya justru hanya berakhir terbuka lalu terkatup kembali. Ia kehabisan kata-kata untuk menolak keinginan sang murid. Sehan benar-benar tidak tahu bagaimana caranya menjelaskan pada Nara agar gadis itu mengerti.   “Kim Nara, tolong mengertilah!” desah Sehan. Tatapannya seolah memohon. “Aku tidak ingin membuat sebuah skandal antara guru dan murid. Aku juga tidak ingin menjadikanmu sebagai bayang-bayang Kim Dain nantinya.”   “Begini saja, bagaimana kalau kita membuat kesepakatan?” Nara memberi usulan. Dahi Sehan tampak berkerut penasaran, tapi ia tidak melontarkan pertanyaan sampai gadis di hadapannya kembali melanjutkan, “Biarkan aku berada di sisimu selama tiga puluh hari. Kalau sampai tiga puluh hari perasaanmu padaku tidak berubah, aku bersedia mundur. Aku tidak akan memaksamu lagi untuk mau menerimaku. Aku akan menjauhimu. Tapi kalau dalam tiga puluh hari itu perasaanmu berubah, kau tidak boleh menyangkalnya.”   Sehan mengerang. “Kim Nara ….”   “Kenapa? Kau takut? Kalau kau yakin perasaanmu pada Kim Dain akan tetap sama sampai akhir, harusnya kau bersedia mengambil tantangan dariku. Bukankah dulu kau juga butuh waktu selama itu untuk mendekati Dain? Sekarang giliran aku yang membuatmu jatuh cinta kembali padaku dalam kurun waktu itu.”   Sehan membelalak terkejut. Pasalnya, apa yang Nara memang benar. Sehan butuh waktu tiga puluh hari untuk mendekati Dain sebelum akhirnya berani menyatakan cinta. Ia harus berjuang sangat keras karena Dain bukanlah sosok gadis yang mudah didekati. Wajah tampan, postur tubuh ideal, dan otak pintar yang Sehan miliki tidak serta merta dapat meluluhkan hati Dain begitu saja.   “Dain saja mau memberimu kesempatan waktu itu, tapi kenapa kau tidak mau memberiku kesempatan yang sama?”   Sehan menghela napas pasrah. Sepertinya ia memang tidak punya pilihan. “Baiklah, aku terima tantangan darimu. Tapi kau harus berjanji kalau kau akan berhenti mendekatiku jika perasaanku padamu tidak berubah.”   Nara mengangguk penuh keyakinan dan mengulurkan tangannya. “Dan selama kurun waktu itu kau tidak boleh menghindar dariku. Kalau perasaanmu berubah, kau harus mau mengakuinya.”   “Deal!” Sehan menjabat tangan Nara dengan penuh keyakinan. Nara tersenyum karenanya.   Keduanya pun melepaskan tangan masing-masing. Nara menghapus jejak air mata di pipi kemudian mengulurkan tangan guna mengambil tasnya yang masih berada dalam kuasa Sehan.   “Kesepakatan sudah dibuat. Kalau begitu sekarang aku pulang dulu.” Nara mulai angkat kaki, tapi Sehan dengan sigap menahan tangannya sehingga membuatnya harus tetap tinggal.   “Kau tidak mungkin pulang dengan pakaian seperti itu, kan?” Sehan tampak khawatir. Pasalnya setengah paha gadis di hadapannya terekspos. Mana mungkin Sehan membiarkan Nara pulang dengan pakaian yang bisa saja mengundang mata lapar orang-orang jahat, bukan? Lagi pula, ia juga tidak mau orang tua Nara bertanya-tanya nantinya karena anak gadis mereka mengenakan hoodie seorang pria.   Nara mengamati penampilannya saat ini kemudian kembali menatap Sehan bertanya-tanya. “Memang apa yang salah dengan penampilanku?” tanyanya dengan nada polos.   Sehan menghela napasnya. “Jangan pulang dulu sebelum kau mengganti pakaianmu dengan sesuatu yang lebih layak daripada ini. Mungkin sebentar lagi Nana dan Baekwon pulang. Kau bisa meminjam pakaian Nana nanti.”   “Nana? Siapa itu?”   “Dia istrinya Baekwon, tetangga sekaligus teman kuliahku di New York dulu.”   Nara hanya menganggukkan kepalanya tanda mengerti. “Memangnya kenapa aku harus ganti baju? Aku tidak masalah kok memakai hoodie-mu.”   “Masalahnya sebentar lagi gelap. Aku tidak mungkin mengantarkanmu pulang, tapi aku juga tidak bisa membiarkanmu pulang dengan pakaian yang cukup mengundang seperti itu. Bagaimana kalau nanti ada lelaki yang mau macam-macam padamu?”   Nara terkekeh mendengar penjelasan Sehan. Tentu saja hal ini membuat Pria Oh itu keheranan. “Kenapa tertawa?”   Nara menggeleng. “Aku merasa lucu saja karena kau mengkhawatirkan sampai sebegitunya. Padahal aku sudah biasa bepergian dengan celana pendek, tapi aku masih aman-aman saja sampai sekarang—“   “Itu karena kau masih diberi perlindungan oleh Tuhan dengan tidak dipertemukan dengan orang-orang jahat. Tapi kau juga harus ingat kalau keberuntungan tidak akan selalu berpihak padamu. Kau tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya di dalam hidupmu.”   Kata-kata Sehan rupanya membuat wajah Nara yang tadinya mulai tampak ceria kini kembali sendu. Sepertinya Sehan salah bicara. Secara tidak langsung perkataannya menyinggung soal masa lalu Nara sebagai Dain yang harus mengalami nasib buruk akibat kecelakaan.   Sadar akan kesalahannya, Sehan buru-buru berdeham. “Ya sudah, duduklah dulu! Akan kubuatkan sesuatu yang hangat untukmu.” Sehan pun berlalu menuju dapur, tapi niatannya harus terdistraksi karena Nara menahan lengannya.   “Terima kasih karena telah mencemaskanku,” ujar Nara disertai senyum manis. Benar-benar manis sampai membuat Sehan hampir lupa dengan niat awalnya pergi ke dapur.   Pada detik kedelapan barulah Sehan terkesiap pelan dan menarik tangannya dari kuasa Nara. “Duduklah!” katanya sebelum pergi menuju dapur sambil berusaha menetralkan detak jantung yang tiba-tiba bekerja di atas normal.   *****   Pagi yang indah. Nara bangun tidur dengan senyum terkembang di wajah cantiknya. Hari ini akhir pekan, biasanya Nara malas sekali untuk bangun pagi. Namun, pagi ini sepertinya berbeda.   Nara bangkit dari ranjang dan segera melakukan rutinitas paginya. Usai mencuci muka dan menggosok gigi, gadis itu berganti pakaian dengan baju olahraga. Sepertinya ia ingin pergi jogging, sesuatu yang hanya dilakukannya jika sedang bahagia. Ya, Nara cenderung rajin melakukan sesuatu di luar kebiasaannya jika suasana hatinya sedang sangat baik seperti ini. Aneh sekali, bukan?   “Bu, aku jogging dulu, ya!” Nara setengah berteriak pada sosok sang ibu yang sedang berkutat di dapur.   “Hah? Tumben sekali kau—“   Kata-kata Jihyun tidak pernah utuh karena Nara sudah terlebih dulu menutup pintu. Gadis itu berlari menuju taman yang berada di kompleks lingkungan tempat tinggalnya. Tempat itu memang biasa digunakan warga sekitar untuk melakukan berbagai aktivitas olahraga atau hanya sekedar menikmati udara segar.   Saat Nara sampai, rupanya sudah ada beberapa orang yang sedang berolahraga di taman. Tidak ingin membuang waktu, gadis itu segera melakukan pemanasan. Setelah selesai, ia pun memasang headset di telinga, memutar playlist lagu-lagu favoritnya lewat ponsel, kemudian mulai jogging mengelilingi taman yang cukup luas tersebut.   Kegiatan jogging itu berjalan mulus sampai tiba-tiba Nara merasakan kalau tangannya ditarik dengan cukup kuat oleh seseorang sehingga membuat tubuhnya oleng dan ….   Brukk!    … ia jatuh tepat di atas tubuh orang itu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN