Setelah menghabiskan kopi dan rokoknya. Niko bergegas menjemput Sabine.
"How's your school, Sweetheart?" tanyanya ketika Sabine sudah memasuki mobil dan duduk di belakang.
"Okay, as usual."
Tampak beberapa teman Sabine menyapa Niko dengan sopan. Setelah itu mereka cekikikan. Aneh, menurut Niko. Tapi dia tetap bersikap biasa setelahnya.
Selama perjalanan menuju pulang Niko memperbaiki kaca spion mobil. Dilihatnya Sabine tengah menatapnya sambil mengerdipkan matanya. Entah apa maksudnya, Niko hanya menggeleng.
***
"Boleh aku cium pipi Om Niko?" tanya Sabine setelah Niko membacakan buku sebelum tidur.
Niko tersenyum.
"Sabine. Kamu masih sepuluh tahun. Nggak seharusnya kamu memikirkan hal-hal seperti ini. Memikirkan Om. Tugas kamu belajar. Om tau kamu suka sama Om. Tapi coba kamu buang jauh-jauh perasaan kamu itu pelan-pelan ya? Om sudah punya pacar. Tugas Om jaga kamu, supaya kamu jadi anak baik, pintar, dan selalu bahagia,"
Niko lalu merangkul Sabine erat.
Ini yang ditakutkan Niko sejak awal bekerja. Dia sayang Sabine. Tapi bukan sayang yang 'itu'. Dia pun bertanya ke dirinya sendiri, apa sikapnya berlebihan? Sepertinya tidak juga. Aneh rasanya disukai gadis kecil sepuluh tahun. Berkali-kali dia menggeleng tidak percaya. Sabine memang memiliki paras cantik, senyum manis, gigi yang rapi, mata yang indah, rambut pendek sedikit pirang.
Dan hari-hari berikutnya, perasaan Niko tidak begitu semangat mengurus Sabine. Dia terus berusaha menahan diri. Hingga tidak disadari sikapnya cenderung dingin terhadap Sabine. Ini membuat Sabine sedih. Biasanya Niko selalu tersenyum dan hangat.
"Kamu kalo terus-terusan begini, gimana kamu meraih nilai yang bagus? Sebentar lagi kenaikan kelas lo. Kamu pernah bilang mau naik ke kelas unggul. Kalo begini? Om nggak yakin kamu masuk kelas itu," keluh Niko dengan nada kecewa. Akhir-akhir ini Sabine malas-malasan ketika dibimbing Niko. Kosentrasinya pun menurun drastis.
"Om nggak akan bacain cerita malam ini. Ini hukuman buat kamu," ancam Niko malam itu.
Sabine menahan tangis mendengar ancaman Niko. Matanya mengerjap seolah ingin menguasai dirinya agar tidak sedih. Sabine berusaha mengerjakan PR-PRnya dengan baik malam itu.
"Om. Baca cerita ya? Ini Aku udah ngerjain PRnya," mohon Sabine lirih. Dia takut tidak bisa tidur, jika Niko tidak bersedia membacakannya buku cerita.
"Ok," ucap Niko pendek. Sinisnya tidak bisa dia sembunyikan. Dia kesal.
Setelah membersihkan Sabine di kamar mandi dan memakaikan baju tidur ke tubuh Sabine, seperti biasa, Niko lanjut membacakan cerita buat Sabine.
Malam itu beda. Niko yang biasanya semangat membacakan cerita, malam itu nadanya terdengar datar. Tidak ada ekspresi di wajahnya. Tidak ada intonasi. Niko tidak menjiwai apa yang dia baca.
Sabine yang di sampingnya tentu kecewa. Tapi dia juga tidak ingin menuntut banyak. Dia mulai menyadari bahwa sikapnya tidak disukai Niko.
"Ok, goodnight, Sabine," ucap Niko setelah tugasnya selesai. Sabine diam saja tidak membalas ucapan Niko. Dia malah menarik selimutnya dan menutup wajahnya.
Niko benar-benar dingin. Dia tidak memberi kecupan di kepala Sabine. Niko langsung ke luar kamar tanpa berkata apa-apa. Ini sangat menyakitkan Sabine. Dia terisak dari balik selimutnya.
Niko ternyata tidak benar-benar menuju kamarnya. Dia malah menyenderkan tubuhnya di balik dinding kamar Sabine, mendengar isak tangis Sabine. Kini perasaannya kembali terusik. Tidak tega mendengar isak tangis seorang gadis kecil.
Niko kembali memasuki kamar Sabine.
"Sabine, please, no more cry." Niko yang duduk di atas kasur, membuka perlahan selimut yang menutupi penuh wajah Sabine.
"Maaf, Om," ucap Sabine yang masih terisak.
"Aku nggak bisa ngilangin perasaan ini. Maaf," ulangnya memohon maaf.
Sesak d**a Niko melihat wajah Sabine yang penuh dengan air mata. Ini kali pertama Niko melihat seorang gadis menangis. Evi tidak pernah menangis. Karena Niko memang selalu membuatnya bahagia. Sabine?
Perasaan Niko kacau. Ternyata wajah perempuan yang menangis itu sungguh sangat menyayat. Sedih.
Niko hanya diam menatap wajah Sabine yang penuh dengan air mata.
"Om, satu ciuman aja," mohon Sabine di tengah isaknya.
Niko menyeka keningnya setelah melepas kacamatanya. Ditatapnya wajah Sabine yang memohon. Perlahan dia mendekatkan wajahnya ke wajah Sabine. Lalu mengecup pipi gadis kecil itu dengan mata terpejam, sedikit tersentuh ke bibirnya.
Sabine langsung tenang. Dia tidak terisak lagi. Wajah sedihnya berubah senang.
"Makasih, Om Niko. Aku sayang Om Niko," ucapnya bahagia.
Niko memperbaiki letak selimut Sabine. "Goodnight, Sabine," ucapnya seraya mengenakan kacamatanya.
"Goodnight, Om Niko," balas Sabine.
***
Keesokan harinya.
"Kamu bisa jaga rahasia nggak?" tanya Niko ketika dirinya dan Sabine berada di dalam mobil. Sabine waktu itu sedang membenarkan sabuk pengamannya.
"Rahasia apa, Om?" Sabine balik bertanya.
"Tentang semalam. Jangan sampai orang lain tau."
Senyum tipis menghiasi wajah Sabine. "Of course I will keep it a secret."
Niko lega mendengarnya. Nada suara Sabine terdengar sungguh-sungguh.
Niko kembali menyetir menuju pulang siang itu.
Tiba-tiba di dalam perjalanan, Sabine merasa ada yang aneh dengan posisi duduknya. Seperti ada yang mengalir deras dari sela pahanya. Sabine pun cemas. Ingin dia melapor ke Niko. Tapi sepertinya Niko sedang kosentrasi menyetir.
"Hei, Sabine! Apa-apaan kamu!!" teriak Niko yang tidak sengaja melihat Sabine sedang membuka celana dalamnya di dalam mobil lewat kaca spion.
"Om Nikoooo, Kok bedaraaaahhh!" pekik Sabine histeris.
"Apaan, Sabine?"
Niko langsung menepikan mobil.
"Iniiiii!" Sabine menunjukkan jari tangannya penuh darah dari tempat duduknya.
Niko panik. Dia langsung ke luar dari mobil menuju Sabine.
Sabine menangis sejadi-jadinya.
***
Mungkin ini jawaban kenapa Sabine berubah. Sabine mengalami perubahan menuju dewasa. Niko tersenyum selama menyetir menuju pulang. Dia lega.
"Oh, kamu haid namanya itu. Udah gede,"
"Mbak Erni juga pernah?"
"Lah iya, setiap perempuan dapat gituan. Setiap bulan, selama seminggu,"
"Setiap bulan?"
Erni dan Sabine sedang dalam diskusi serius mengenai periode pertama yang baru saja dialami Sabine.
"Eh, Sabine. Kamu jangan dekat-dekat dengan cowok mulai sekarang."
Dahi Sabine mengernyit. Kata-kata Erni mirip dengan apa yang dikatakan Niko semalam.
"Kalo dekat-dekat, trus terlalu dekat, kamu bisa hamil," jelas Erni selanjutnya dengan sorot mata tajam.
"Kalo kamu hamil, hiiii ... kamu nggak bisa sekolah. Kamu juga nggak bakal punya teman lagi. Sodara apalagi, nggak mau dekat-dekat kamu lagi. Kamu akan dikucilkan,"
"Nggak boleh dekat-dekat laki-laki? Termasuk Om Niko?"
Erni mengangguk cepat.
"Trus gimana? Kan Om Niko yang urusin aku,"
"Ya..., jaga jarak."
Sejak diskusi hangat dengan Erni, sikap Sabine kembali berubah. Niko sempat sedikit merasa aneh dengan sikap Sabine yang terkesan menjauh darinya. Anak itu juga lebih banyak diam.
Sudah dua malam Sabine menyuruh Niko untuk tidak membacakan cerita sebelum tidur. Dan Niko sih asyik-asyik aja.
Tapi malam ini, Sabine kembali murung.
"Om ... baca cerita. Aku susah tidur,"
Niko pun menurut.
"Om duduk di situ aja ya bacanya?" perintah Sabine menunjuk kursi belajarnya.
Niko lagi-lagi menurut. Dia membacakan cerita malam itu dengan penuh hikmad.
"Om," panggil Sabine ketika Niko mematikan lampu kamar Sabine dan menyalakan lampu tidur yang ada di sisi tempat tidur Sabine.
"Ya?"
"Kata Mbak Erni kalo deket laki-laki, aku bisa hamil ya? Karena sudah haid?" tanya Sabine dengan wajah takut-takut.
Niko tertawa. Kantuk yang sempat menderanya tiba-tiba hilang begitu saja.
"Geser." Niko menyuruh Sabine memberinya ruang untuk duduk di sisinya.
"Ih, Om, takut ntar aku hamil."
Niko tertawa keras kali ini. Dia langsung saja duduk selonjoran di samping Sabine yang masih takut-takut.
"Sabine, bukan dekat-dekat yang begini yang membuat kamu hamil. Tapi kamu berhubungan badan dengan laki-laki," Niko lalu menjelaskan pelan-pelan mengenai hubungan badan yang dimaksud.
"Jadi Mbak Erni salah dong?"
"Nggak juga. Mbak Erni benar. Karena awalnya dekat-dekat, sayang-sayang, dan bisa saja terjadi sesuatu,"
"Oh...,"
"Itu biar kamu jaga-jaga. Harus berusaha jaga diri,"
Sabine mengangguk mengerti.
"Jadi Om Niko masih bisa baca cerita tiap malam ya?"
Niko mengangguk.
"Ok, Om."
Sabine tampak lega.
***
Sepertinya Niko sukses membimbing Sabine lebih mandiri. Sabine sudah bisa melakukan yang dibutuhkannya dengan tangannya sendiri. Mandi sendiri, membersihkan tubuhnya sendiri, membersihkan dan merapikan tempat tidur sendiri, juga merapikan baju-baju sendiri.
Awalnya Sabine kesulitan. Tapi berkat bimbingan Niko yang sabar, akhirnya Sabine mampu melakukannya.
Hari-hari berikutnya pun dilalui Sabine dengan senang hati. Dia lebih percaya diri. Niko sangat lega. Karena tugas dan tanggung jawabnya pun berkurang. Hal ini cepat dia laporkan ke Bu Carmen, dan Bu Carmen sangat senang.
"Dia memang sangat berubah sejak diurus kamu, Niko. Dia jauh lebih baik. Meski saya jarang berdekatan dengannya, saya bisa amati kesehariannya sekarang. Jangan khawatir dengan tanggung jawab kamu yang berkurang. Gaji kamu tidak akan saya kurangi."
Niko tersenyum lega mendengar kata-kata Bu Carmen. Kata-kata yang membuatnya lebih semangat membimbing dan mengurus Sabine. Apalagi hari wisudanya semakin dekat. Tidak sabar rasanya Niko memakai baju kelulusan dan memamerkannya ke keluarga di kampungnya. Tidak sabar segera membuat lamaran pekerjaan ke beberapa perusahaan dan bekerja jika lamarannya diterima. Seperti yang dilakukan sahabat-sahabatnya, juga kekasihnya. Tidak sabar juga akan meminang Evi.
Impian Niko hanya sesederhana itu.
Bersambung