“Jangan menjadi orang lemah bahkan meski kita seorang wanita, agar tidak dipandang sebelah mata.”
***
Dagangan Arunika hanya tersisa sedikit dan itu pun langsung Arunika makan karena wanita muda itu kelaparan dan memang belum sempat sarapan. Arunika sengaja berhenti di depan pos satpam yang juga baru menjadi tempat terakhirnya dagang hari ini. Langkah nekatnya memang telah membawanya sampai di kawasan perumahan elite yang ada di kotanya.
“Ya ampun Lalisa? Tolong!” seru suara seorang pria dari dalam rumah bernuansa putih di hadapan pos satpam keberadaan Arunika dan halamannya dipenuhi bunga hias. Gerbang rumahnya saja dan tingginya ada tiga meter, sampai dihiasi tumbuhan hias merambat.
Lalisa black pink? Pikir Arunika yang refleks tersedak karena suara jeritan pria tadi.
“Ya ampun kamu sakit!” Suara pria tadi kembali terdengar.
“Pak, itu ada yang lagi kesusahan,” ucap Arunika sesaat setelah selesai meminum bekal minumnya demi meredam keadaannya yang sempat tersedak.
Satpam yang Arunika panggil, menggeleng santai sambil terus menikmati pecelnya di dalam pos. “Sudah biarkan saja. Dokter Arland memang begitu kalau sama bunga dan taman hiasnya.”
Arunika mengernyit bingung. Nih satpam budeg apa bagaimana, jelas-jelas suara tadi terdengar kesulitan dan panik genting banget? Batinnya. “Bukan bunga, Pak.” Arunika berusaha menjelaskan, tapi dari rumah yang masih sama, suara pria tadi kembali terdengar.
“Ya Tuhan Irene, kamu juga sakit parah!”
“Tuh, Pak! Irene sakit parah!” lirih Arunika panik.
“Semuanya nama bunga, Mbak. Bunga-bunga ibu Melati—istri dokter Arland yang sedang sakit. Saking cintanya sama ibu Melati, dokter Arlan juga memperlakukan bunga-bunga koleksi istrinya layaknya bayi!” jelas si satpam sesaat setelah minum dan menghampiri Arunika.
“Serius, nama-nama tadi nama bunga, Pak? Dokter Arland waras, kan?” Arunika makin heran sekaligus penasaran.
“Saya ragu karena setiap berurusan dengan bunga-bunga ibu Melati, dokter Arland kesannya jadi rada-rada!” ucap si satpam yang kali ini sengaja berbisik sambil meletakan jari telunjuk kanannya di kening dalam keadaan miring.
Penasaran, Arunika pun setengah berlari mendekati rumah berlantai dua tersebut. Ia melongok dari balik gerbang. Benar, rumah tersebut dipenuhi bunga hias berpot. Semuanya tersusun rapi dan benar-benar asri. Namun, Arunika tidak mendapati dokter Arland yang dimaksud. Suara pria tadi terdengar ada di dalam rumah bagian samping dan pintunya dibiarkan terbuka sempurna. Arunika berpikir bila dokter Arland ada di sana.
“Irene ... Irene, bertahanlah ... bertahanlah Irene, Melati bisa sangat sedih kalau kamu sampai kenapa-kenapa! Aku akan merawatmu, ... iya aku akan mengobatimu sekarang juga!”
Memang, ya, kalau sudah terlalu cinta bisa jadi terlalu waras. Mas Dimas saja begitu kan ke Mbak Kenanga? Ya sudahlah, ngapain juga aku mikirin mereka yang sudah sengaja menumbalkan aku? Lebih baik sekarang aku pulang, batin Arunika.
“Bagaimana, Mbak?” tanya satpam sambil makan bala-bala yang juga ia beli dari Arunika.
Arunika melangkah mendekat sambil menggeleng. “Enggak lihat, Pak. Hanya sebatas suaranya saja.”
“Orangnya ya ganteng, tapi kelakuannya kalau sudah berurusan dengan bunga, beneran rada-rada. Tapi enggak apa-apa sih, asal enggak mengamuk. Apalagi sejauh ini orangnya juga baik,” balas si satpam.
“Ya sudah, Pak, saya mau pulang!” pamit Arunika ceria.
“Besok ke sini lagi, kan, Mbak? Harusnya pas masih anget pasti lebih enak! Ya pecel lontongnya, ya gorengannya! Rasanya beneran selera rakyat. Bisa pas begini,” balas si satpam.
Anggapan sang satpam membuat Arunika berpikir, dirinya harus mencari cara agar dagangannya tetap dalam keadaan hangat ketika sampai di tangan pembeli, meski jarak tempuhnya mendagangkan dagangan, memakan waktu lama.
Benar juga, sih. Rasa dan kepuasan pembeli jadi kunci utama dagangan makanan. Sebentar, pakai semacam aluminium foil, apa boks tahan panas, jadi enggak ya? Eh tapi, gorengan ya tetap melempem kalau dingin apalagi ditaruh di tempat tahan panas pasti menguap dan justru jadi basah kurang enak. Apa, aku bikin gerobak dan semua gorengannya aku goreng dadakan? Pikir Arunika yang langsung berpikir keras. Arunika langsung menyusun banyak rencana untuk strategi bisnis terbarunya.
****
“Assalamualaikum, Mak!” sapa Arunika.
Sekitar pukul dua belas siang, Arunika sampai di rumah. Di warung, ibu Ningsih langsung menyambutnya dengan senyum hangat. Tampak ada ayunan di kusen jendela gubuk tersebut dan ternyata berisi Dika yang tertidur lelap.
“Walaikum salam, Ka. Bagaimana dagangnya? Lancar?” balas ibu Ningsih sambil mengayun Dika.
Arunika tersenyum ceria sambil meletakan dua kantong besar berisi sayuran bakal bahan pecel untuk besok.
“Pintarnya anak Mamah main sama Nini sambil belajar dagang, ya, biar nanti jadi pengusaha sukses! Amin Ya Alloh,” lirih Arunika sambil mengelus pipi Dika penuh sayang.
Dagangan di warung masih tersisa sedikit, tapi ternyata ibu Ningsih juga menyanding karedok atau itu gado-gado.
“Wah, Mamak jualan karedok juga, sedangkan dagangan pecel sama gorengan tinggal dikit? Laris dong!” ucap Arunika sengaja memuji sang mamak.
“Alhamdullilah, Run. Terus bagaimana dengan dagangan kamu?” balas Ibu Ningsih yang meraih satu kantong sayuran dan menuangnya pada tampah yang ia ambil dari kolong meja ia menaruh dagangan.
“Alhamdullilah, Mak. Daganganku habis, tadi hanya sisa dikit tapi aku makan buat sarapan daripada keluar uang buat beli yang lain.”
Pengakuan Arunika barusan langsung membuat ibu Ningsih syok. Ibu Ningsih sampai tidak jadi duduk. “S-sebanyak tadi habis, Run? Kamu jualan sampai mana? Apa jangan-jangan kamu jual murah?”
Memasang senyum tak berdosa, Arunika berkata, “Sampai kompleks perumahan elite di kota, Mak. Lumayan, dapat banyak langganan langsung. Nih!” Ia memamerkan isi tas kecilnya yang dipenuhi uang meski dari sebagian besarnya merupakan uang receh.
“Masya Alloh, Run. Kamu hebat banget bisa mikir sampai jualan ke situ? Lihat, kulitmu sampai gosong!” Ibu Ningsih sampai menitikkan air mata. Ia menggunakan kedua tangannya untuk menyeka sekitar matanya yang telanjur basah karena terlalu bahagia.
Arunika mendekati sang mamak sambil memeluknya. “Ini baru awal, Mak. Insya Alloh, setelah ini akan lebih baik lagi. Asal pinter atur strategi.”
Ibu Ningsih mengangguk-angguk haru. “Kamu hebat, Run. Ibu beneran enggak menyangka, belajar dagang pada keluarga Dimas bikin kamu pintar bisnis.”
Dimas? Mas Dimas sudah jadi almarhum dalam kehidupanku, Mak! Aku begini karena meski aku wanita, aku harus serba bisa! Aku tidak boleh lemah agar kita tidak dipandang sebelah mata. Berjuang sendiri memang tidak mudah dan kerap membuat kita ingin menyerah. Namun, tidak ada hasil yang mengkhianati usaha apalagi perjuangan sendiri akan selalu terasa spesial daripada kita berharap pada orang lain yang biasanya justru membuat kita kecewa! Batin Arunika.
Berbeda dengan kebersamaan Arunika dan ibu Ningsih yang diwarnai suka cita, di kediaman ibu Mirna, dengan pelipis dan kening yang ditempeli koyok, ibu Mirna mendobrak pintu kamar Kenanga.
Yang membuat ibu Mirna langsung tambah migren, tak lain karena Kenanga masih tidur sedangkan keadaan kamar lebih cocok disebut kandang ternak. Tak hanya berantakan barang-barangnya termasuk dinding bercat putih yang penuh noda make-up dan sepertinya ulah Bunga. Karena di lantai bahkan kasur, ada ee yang bercecer hingga suasana di sana beraroma tidak sedap.
Ibu Mirna langsung tidak bisa berkata-kata. Tak hanya migren karena ia juga langsung mual. Ibu Mirna yakin, ee yang tercecer itu merupakan ee Bunga dan terbukti dari p****t Bunga yang diserbu lalat. Anehnya, Kenanga justru mengeloni bocah itu.
“KENANGAA ... KAMU TIDUR APA BELAJAR MATI?!” ibu Mirna berteriak.
“Mah, enggak enak banget ih rasanya. Lagian Dimas juga bebasin aku mau ngapain aja,” balas Kenanga sambil terus terpejam tanpa perubahan berarti.
Balasan tak berdosa Kenanga membuat ibu Mirna geram. Yang membuatnya tak terima, setumpuk boks bekas makanan antar menumpuk di meja sebelah tempat tidur. Tak tahan, ibu Mirna keluar dengan langkah lebar sekaligus tergesa. Ibu Mirna pergi ke kamar mandi, mengambil ember dan mengisinya dengan air nyaris penuh. Wanita tua yang menggelung asal rambut putihnya itu membawa ember berisi air tersebut ke kamar Kenanga.
Byuuuuuurrrr!
“Mamaaaaah!” teriak Kenanga yang seketika kuyup. Kenanga menatap kesal sang mamah mertua.
“Melek matamu, lihat, belum genap satu hari kamu di sini, kamu sudah membuat kamar ini seperti kandang bebek! Mati rasa apa memang sudah enggak waras kamu? Anak boker sampai dibiarin lalat sudah di mana-mana. Jadi wanita ya jangan cuma terima beres, mandiri kayak Arunika!” semprot ibu Mirna yang kemudian membanting embernya. Membuat Bunga yang ikut terbangun refleks ketakutan memeluk Kenanga.
Mamah berani menyamakanku dengan Arunika? Baiklah, Mah. Rasakan pembalasanku! Sumpah Kenanga dalam hatinya.
“Turun, bangun, sudah mau malam masih saja tidur!” ibu Mirna masih meluapkan kekesalannya. “Lima menit kamu belum bangun juga, saya undangin b**o buat meratakan kamar ini!” ancamnya serius.
Tak lama setelah ibu Mirna, Kenanga memulai misinya. Kenanga turun dan pura-pura terjatuh. “Aduh, Mah ... sakit banget. Ya ampun saaakittt!”
Panik, ibu Mirna buru-buru kembali masuk ke kamar Kenanga. Di depan tempat tidur, Kenanga sudah menggeliat kesakitan sambil memegangi perut.
“Nga, ... Nga, kamu kenapa?” tanya ibu Mirna sambil memepat hidungnya karena tak tahan dengan aroma di sana.
“Sakit, Mah. Sakit banget tadi kepleset lantainya licin!” rintih Kenanga masih bersandiwara.
Duh Gusti, kenapa jadi begini? Bisa marah besar si Dimas kalau keadaannya begini? Batin ibu Mirna ketar-ketir.
Bersambung ....