Episode 6 : Memulai Kesuksesan

1704 Kata
“Setiap keringat dan air mata akan menjadi cerita indah dari sebuah kesuksesan yang melahirkan kebahagiaan.” **** Bangkit adalah hal yang masih Arunika lakukan. Tidak ada yang berubah, hanya status dan tempat tinggalnya saja yang tak sama. Sebelum adzan subuh berkumandang, Arunika yang memang tidak bisa tidur, sudah sibuk di dapur. Ibu Ningsih sampai terkejut karena semua sayur untuk bahan pecel sudah matang dan tersaji di tampah. Adonan bakwan atau itu bala-bala sudah siap goreng, serta tempe mendoan dan tempe gajes yang sudah dikupas semua. Termasuk tahu isi, semuanya sungguh siap goreng. Sedangkan di lantai berupa tanah, Arunika tengah sibuk mengulek bumbu pecel. “Kamu kesurupan apa gimana, Ka? Kamu enggak tidur?” tegur Ningsih yang perlahan mendekati kemudian agak bungkuk dan meraba kening sang putri. “Aku waras, Mak. Siapa bilang, aku kesurupan? Sudah, Mamak istirahat saja. Mulai sekarang, aku yang urus semua ini. Makanan-makanan ini juga akan aku dagangkan secara online biar pemasarannya lebih luas.” Arunika berbicara menggebu-ngebu seperti biasa. Memulai lembaran baru dan membangun kebahagiaan tanpa Dimas sekeluarga, ia sungguh tengah melakukannya. “Mulai hari ini juga, Mamak enggak usah dagang keliling karena mulai hari ini juga, aku yang akan keliling. Mamak cukup jadi pencip sama jaga Dika! Mbak Wiwin saja jadi pengusaha bunga hias, masa aku enggak ada kemajuan blas? Malu lah sama bulu mata badainya Mbak Wiwin!” lanjut Arunika yang mengakhirinya dengan senyum geli. Ningsih yang berpakaian layaknya wanita kuno setempat yaitu mengenakan kebaya bergaya tua dan menjadikan kain jarit sebagai bawahannya, menggeleng tak habis pikir. Begitulah Arunika putrinya, selalu ceria dan penuh semangat layaknya arti dari nama Arunika sendiri. Sambil membenarkan topi hangat berwarna cokelat mengkilap yang menutupi kepalanya, Ningsih bertanya, “Omong-omong, kalau mulai hari ini kamu akan tinggal di sini, berarti Dimas juga akan nyusul tinggal di sini? Kalian, ... enggak ada masalah, kan?” Hati Ningsih langsung berdenyut ngilu hanya karena ia membayangkan itu. Memikirkan adanya prahara dalam rumah tangga bungsunya dengan anak mantan majikannya. Enggak mungkin. Dimas laki-laki baik, berpendidikan dan Dimas juga mengerti agama. Enggak mungkin Dimas tega. Kalaupun ada masalah, pasti masalah wajar. Apalagi sejauh ini, meski pernikahan mereka sangat tiba-tiba, Dimas dan Nika terlihat sangat saling mencintai. Ditambah, sekarang juga sudah ada Dika, batin Ningsih meyakinkan dirinya sendiri. Iya, meski ibu Marta sangat cerewet, Nika kan bebal dan Dimas juga lebih mendengar Nika! Ningsih sudah sibuk meyakinkan dirinya, tapi melihat Arunika yang sudah kembali bekerja tanpa jeda, kenyataan tersebut seolah menepis keyakinannya. Arunika menyeka cepat sekitar matanya yang basah. Membahas Dimas dan masa lalu mereka sama saja mengorek luka yang bahkan masih menganga. Luka yang juga masih terasa sangat sakit, meski Arunika sudah berusaha melupakan sekaligus menganggap luka itu tak ada. “Ka ...?” Ningsih melongok wajah Arunika. Putrinya yang memiliki rambut lurus tebal hitam legam dan kerap digadang-gadang menjadi bintang iklan sampo oleh warga sekitar, ia dapati tengah berlinang air mata. “Mak, ini kena sambal. Ya ampun ini gimana, Mak? Harus pakai minyak goreng, ya?” rengek Arunika yang detik itu juga langsung bersyukur karena keadaannya langsung membuat sang mamak terbahak-bahak. “Ya ampun, Ka. Dari kecil kan mata kamu sudah terlalu sering kecipratan sambal, tapi ya masa kamu ciprati lagi?” Di tengah rasa panas nan pedih yang menggerogoti kedua matanya akibat sambal yang tengah ia ulek, Arunika menatap bahagia tawa Ningsih. Ke depannya, Mamak akan makin sering begini, Mak. Aku janji. Halo, Mas Dimas. Maaf, Mas. Tangisku bukan karena aku ingin sama-sama kamu lagi, atau aku yang sedih karena kamu lebih memilih Mbak Kenanga. Tangisku karena aku terlalu menyesal kenapa dulu aku mau menikah denganmu! Batin Arunika. *** Menikah muda membuat Arunika kehilangan masa mudanya. Masa di mana harusnya ia sedang sibuk-sibuknya belajar sekaligus menemukan jati diri untuk membangun kesuksesan di masa depan. Namun bagi Arunika semua itu tidak masalah. Karena ibarat pepatah nasi sudah menjadi bubur, sekarang Arunika akan meracik bubur itu dengan rasa yang ia inginkan. Meski penyesalan tetap ada karena penyesalan memang selalu ada di belakang. Lihat saja, kedua sisi rumah Ningsih sampai ditahan menggunakan kayu. Temboknya yang berupa bilik tua sudah jebol dan otomatis akan langsung roboh andai terkena angin kencang. Padahal, Arunika menikah dengan Dimas yang orang tuanya memiliki toko material sekaligus memiliki sawah luas, tapi nasib rumah orang tua Arunika tidak lebih baik dari rumah di sekitar yang anak-anaknya menikah dengan kalangan biasa dan sebagian besarnya berprofesi sebagai petani padi. Di salah satu desa terpencil yang ada di kabupaten Cilacap Jawa Tengah tempat Arunika tinggal, ketika bukan musim panen atau tanam dan memang tidak ada pekerjaan di sawah, biasanya para laki-laki akan hijrah ke kota menjadi seorang kuli bangunan demi tetap bisa mendapatkan penghasilan. Meski sebagiannya juga akan tetap tinggal karena mereka memiliki pekerjaan sampingan berupa menderes nira kelapa yang nantinya akan dijadikan gula merah. Sedangkan untuk para wanita, bila bukan dari kalangan berada dan tidak terikat dengan pendidikan tinggi, biasanya akan dikejar-kejar oleh pria untuk dinikahi. Tak jarang, mereka yang sudah ingin mengubah hidup dan tak mau menghabiskan waktunya untuk menikah muda kemudian sibuk berkutat di sawah atau sibuk mengurus nira menjadi gula merah, memilih hijrah ke kota atau justru menjadi TKW. Kini, Arunika yang mengamati rumahnya berangsur menunduk prihatin. Ka, siapa pun dia, tak peduli agama dan pendidikan bahkan latar belakangnya, bila dia memang tidak memiliki sopan santun, iktikad baik sekaligus komitmen, ya sama saja. Ayo, belajar dari Dimas dan keluarganya. Kamu enggak perlu jadi orang lain. Kamu cukup jadi diri kamu yang tahu diri. Jangan menyakiti orang lain bila kamu tidak mau disakiti. Ayo semangat bangkit. Ingat, kamu hanya akan dilihat bila kamu sudah jadi orang. Jadilah orang sukses agar semua orang melihat sekaligus menyeganimu. Angkat derajat orang tua sekaligus keluargamu! Batin Arunika menyemangati dirinya sendiri. “Oke. Renovasi rumah, renovasi warung, ... semuanya akan aku renovasi termasuk hati dan kehidupanku. Setelah beres jualan, aku juga akan cari kerja lain. Ini Mbak Wiwin sudah jadi pengusaha bunga hias kok pelit enggak mikir buat renovasi rumah, sih? Awas saja nanti aku semprot dia!” Arunika segera menggoes sepedanya. Di boncengan, di kontainer besar, ia menyimpan dagangannya berupa pecel, lontong, juga aneka gorengan. “Berangkat, semangat jadi orang sukses!” gumam Arunika masih mencoba menyemangati dirinya sendiri. Seperti kesepakatan demi meraup pembeli lebih banyak, di warung berupa gubuk di depan rumahnya dan berseberangan dengan keberadaan pohon mangga, bersama Dika yang sudah rapi dan memang sudah Arunika dandani, Ningsih jualan di sana seperti biasa. Sementara Arunika, menggunakan sepeda yang dulu sempat menemaninya menuju sokolah dari ia SMP hingga SMA, Arunika akan keliling mendagangkan jualannya. “Dadah Mamah!” seru Dika ceria. “Dadah Dika sayang! Doakan biar jualan Mamah laris, ya!” Arunika menjadi tertawa geli karena wajah Dika dipenuhi bedak akibat kedua tangannya yang terlalu buru-buru demi mengejar waktu, dalam mengurus Dika. **** “Pecel, lontong, gorengan, sarapan murah meriah!” Arunika terus berteriak di sepanjang perjalanan yang ia lewati. Tentu saja ia sudah dalam keadaan rapi karena penampilan juga menjadi penunjang dagangan. Belum memiliki pembeli tetap, itulah keadaan Arunika sekarang. Hanya dilihat tanpa disapa apalagi dibeli dagangannya. Namun, Arunika tidak menyerah. Arunika nekat mendekati, membagikan sampel dagangannya dalam pincutan daun pisang yang ia semat menggunakan giting terbuat dari lidi. “Cicipi dulu, yah, Pak, Bu ... Dek. Setiap pagi, saya akan keliling jualan. Saya juga menerima pesan antar. Rumah saya itu di dekat makam pahlawan pinggir apur,” jelas Arunika sangat ramah. Pantang pulang sebelum dagangan habis! Batinnya yang tiba-tiba lupa bernapas. Gimana ceritanya aku menerima pesan order apa menjualkan dagangan secara online kalau ponsel saja aku enggak punya? Ponselku pemberian Mas Dimas. Otomatis aku enggak sudi bawa tuh gawai! Ah, titipin nomornya Mbak Wiwin! Batinnya. “Enak, ih. Mau pesan buat acara yasinan malam jumat besok, bisa? Minta nomor hp sekalian alamatnya biar bisa datang lihat, ya,” ucap ibu-ibu berjilbab merah yang mencicipi pecel buatan Arunika. Pecel dengan aneka sayuran, bunga kecombrang atau onje, serta kelandingan atau itu petai cina. Arunika nyaris menangis karena ibu-ibu tadi memesan 60 paket sekaligus. Sementara pencicip lainnya juga langsung menyerbu ikut pesan untuk sekarang. Ya Alloh, mimpi apa aku? Batin Arunika nyaris berteriak. Jangan cengeng, jangan lemah. Sudah, ayo. Pantang pulang sebelum dagangan habis. Dika sudah nunggu di rumah. Kamu juga harus urus ponsel dan keperluan jualan online, Ka. Semangat! Batin Arunika sambil terus membungkus setiap pesanan yang beberapa di antaranya langsung di makan di sana. “Pecel lontongnya dua porsi, Mbak. Sekalian gorengannya,” ucap Dimas yang berdiri di belakang Arunika. Dimas tengah sibuk dengan ponselnya yang ia pakai untuk mengetik. Merinding, Arunika yang masih maladeni pembeli sampai gemetaran selain tubuh Arunika yang seperti didihkan. Arunika mencoba memastikan keyakinannya bahwa suara yang baru saja ia dengar memang suara Dimas. Benar, sosok tinggi yang mengenakan lengan panjang warna biru tua dipadukan dengan celana bahan warna hitam lengkap dengan sepatu kulit memang Dimas. Dan baru Arunika sadari, semangatnya yang menggebu menjual habis dagangannya, membawanya ke pasar yang di sebelahnya merupakan bank Dimas bekerja. “Halo, Sayang? Gimana, kamu sudah bangun? Kamu mau sarapan apa, pesan online saja. Masih pusing mual lemes juga? Ya sudah nanti sore kita pergi ke bidan, ya. Pas kamu hamil Bunga juga gini?” ucap Dimas dengan santainya tanpa tahu penjual pecel lontong yang ia datangi merupakan Arunika. Tega banget kamu, Mas. Kamu sampai enggak mengenali aku dan sepertinya kamu memang enggak niat mencari aku bahkan Dika! Benar, Mbak Kenanga sedang hamil apa malas dan enggak mau kerja bak kuda seperti yang selama ini aku lakukan di rumahmu? Bodo lah. Aku doakan, semoga Mbak Kenanga beneran hamil dan semoga itu beneran anak kamu! Batin Arunika. Arunika berniat memberikan banyak sambal bahkan tambahan cengek, tapi Arunika tidak mau menghancurkan citra baik dagangannya. Ini aku, Mas. Aku yang sudah kamu sia-siakan. Enggak apa-apa, Mas cukup lihat saja karena aku juga akan bahagia dengan caraku! Namun, Arunika sengaja tidak mau membiarkan Dimas melihat wajahnya. Ia menggunakan sapu tangan untuk membekap mulutnya demi meredam suaranya sekaligus menutupi sebagian wajahnya. Apa pun alasannya Mas Dimas tetap kebangetan sih. Dia sampai enggak mengenali aku atau setidaknya merasa bersalah karena akan memakan pecel lontong dan gorengan yang sudah jadi sumber penghasilan mamak! Arunika menuntun sepedanya meninggalkan Dimas. Ia pergi begitu saja seperti yang Dimas lakukan dan tengah sibuk mengobrol penuh sayang melalui sambungan telepon di ponsel dengan Kenanga. Bersambung ....
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN