Satu sakit, semua merasakan

1166 Kata
Sesampainya di rumah sakit, Jiyad langsung berlari tanpa memperdulikan Kevin yang meneriaki namanya. Tempat tujuannya IGD, tadi dia sempat menelfon Mahes dan mengatakan kalau mereka ada di IGD. Clara masih menunggu giliran pemeriksaan oleh dokter. "Mass.." Jiyad menepuk bahu Mahes begitu dirinya tiba di IGD. Hanya melihat punggungnya saja, Jiyad langsung bisa mengenali. Jeo yang melihat kedatangan abangnya, sontak menghampiri dan menyalami sang abang. "Gimana Clara?" "Lagi nunggu dokter dulu Jiy," ucap Varo. Jiyad juga tak lupa menyalimi Mahes dan juga Varo, keduanya lebih tua dari dirinya. Matanya sontak menoleh ke adiknya, "Kamu udah makan?" tanya Jiyad yang dijawab anggukan kepala oleh Jeo, "Udah Bang." Walaupun dia khawatir dengan Clara, Jeo tetaplah adik kandungnya yang harus juga dia perhatikan. "Si bangke, larinya cepet banget," Kevin datang dengan nafas terengah-engah. Jeo menatap abangnya yang baru datang, "Bukan Bang Jiyad yang larinya cepet, tapi Bang Kev aja yang lelet," ucapnya sarkas yang langsung mendapatkan jitakan di dahinya, siapa lagi pelakunya jika bukan Kevin. "Tolong, ini di rumah sakit. Kalo lu berdua mau baku hantam, pulang aja mending," hanya Varo yang bisa menghentikan pertikaian kecil seperti ini. Jika Varo sudah berkata, tidak ada yang berani melawan. Varo kakak sepupu yang paling tua diantara mereka berdelapan. Yang kedua tentunya Yoovan, setelahnya Mahes, lalu Rafa yang sedang ada urusan di luar. Berikutnya Jiyad, Kevin, baru Jeo. Dan yang terakhir perempuan satu-satunya diantara mereka bertujuh, yaitu Clara. "Gak ada yang mau hubungin bang Yo?" tanya Kevin menatap semua yang ada di sana. Varo menghela nafas sesaat, "Baiknya jangan," Varo menatap Mahes yang tengah menatap tubuh Clara yang terbaring di atas brankar, "Menurut lu gimana Hes?" Mendengar namanya disebut, Mahes sontak menoleh, "Biar gue aja yang telfon bang Yo. Bagaimana pun, dia abang gue sama Clara Mas. Dia wajib tahu hal ini," jika sudah membahas seperti ini, sifat dewasa Mahes akan keluar. Varo mengangguk, dia yang notabenenya sebatas sepupu, hanya bisa menuruti apa yang Mahes katakan. "Tapi jangan langsung to the point yang Mas, kasih intro dulu," ucap Jeo. Mahes mengangguk, "Gue titip Clara dulu ya. Mau telfon bang Yo dulu," Mahes melangkah menjauh, walaupun dia sebenarnya tidak mau meninggalkan Clara, tapi harus dia lakukan. Tepat ketika Mahes pergi, dokter datang menghampiri bangsal Clara. Mereka menyingkir sedikit, membiarkan dokter dan perawat menangani Clara. Setelah selesai, dokter berjalan menghampiri Varo dan yang lainnya. "Keluarga pasien, betul?" Varo mengangguk, "Saya Masnya Dok." Dokter mengangguk, "Sepertinya pasien membutuhkan tes darah. Apa pasien ada riwayat typus?" "Ada Dok," kimi gantian Jiyad yang menjawab. "Baik, saya buatkan rujukan dulu untuk ke laboratorium ya." Mereka mengangguk, mereka percayakan ke dokter yang menangani Clara. Beberapa menit kemudian, salah satu diantara mereka dipanggil perawat guna mengambil surat rujukan ke laboratorium. "Ji, lu ikut gue. Jeo sama Kevin jagain Adek ya," titah Varo yang langsung diangguki oleh adik-adiknya. Kevin memilih memutari brankar. Keduanya berdiri di sisi brankar kanan dan kiri. "Pucet banget mukanya Adek ya Bang," ucap Jeo tanpa putus menatap Clara yang masih asik dengan matanya yang tertutup. "Ya namanya sakit, pucet lah Je." Kevin melihat alis Clara mengerut, tangannya langsung memegang jari Clara, "Dek," panggilnya dengan lembut. Berbeda jika Clara dalam kondisi tidak terbaring, pasti Kevin selalu memancing keributan. "Pusing," ucap Clara lirih, sangat lirih. Untungnya Jeo dan Kevin bisa sedikit mendengar. "Aku panggil dokter dulu Bang," Jeo berlalu memanggil dokter yang berjaga di IGD. Tak lama setelahnya, Jeo kembali dengan dokter yang sebelumnya menangani Clara. "Saya periksa dulu ya." Kevin menyingkir, membiarkan dokter memeriksa kondisi adiknya. "Alhamdulillah, pasien sudah sadar. Nanti kalau sudah dapat antrian lab, bisa dibangunkan saja ya." Kevin dan Jeo mengangguk bersamaan, "Makasih Dok," ucap Kevin ketika dokter berlalu dari sana. Jeo sudah berdiri di sisi kanan Clara. Tangannya meraih tangan Clara yang tidak diinfus, "Ra," panggilnya dengan lembut. Perlahan kedua mata Clara terbuka, dia menyamarkan sinar lampu dulu dengan matanya yang baru saja terbuka. "Aku di rumah sakit?" tanyanya pelan. "Iya Dek. Apa yang kamu rasa sekarang?" tanya Kevin. Clara menoleh kearah Kevin, "Pusing Bang," jawab Clara lirih. Tangan Kevin terangkat mengelua dahi sang adik, "Nanti cek lab dulu ya. Mas Varo sama Jiyad lagi ke lab." Clara hanya bisa mengangguk saja. Rasanya ketika dia mau berbicara banyak, kepalanya malah bertambah cenat-cenut. "Mau minum," pinta Clara, dengan sigap Jeo mengambil air putih yang ada di nakas dan membukakan untuk adiknya. Jeo mengkode Kevin untuk membantu Clara menegakkan badannya. Bisa saja Clara meminum sambil tiduran, tapi Clara tidak mau. Dan kebiasaan itu sudah dihafal oleh para sepupunya. "Makasih," ucapnya lagi. Perlahan Kevin membantu Clara merebahkan badannya kembali. Selang beberapa menit kemudian, Varo sudah kembali. "Adek," panggil Varo, dia tahu kalau Clara sudah sadarkan diri. Kevin lah yang menelfon Jiyad tadi. "Mas." Jeo menyingkir, membiarkan posisinya digantikan Varo, "Masih pusing?" tanya Varo seraya mengelus puncak kepala Clara. Clara membalas dengan anggukan kepalanya, "Mas udah dapet antrian labnya. Di sini aja dulu ya, nanti Jiyad telfon kalau udah deket nomor antriannya." Clara hanya bisa merespon dengan anggukan kepalanya, diantara sepupunya yang lain, Clara tidak melihat dua abang kandungnya. "Mas Mahes mana Mas?" "Mas Mahes—" Belum juga Jeo menuntaskan perkataannya, tirai bilik dibuka secara kasar dari luar. "Ya Allah Clara," seorang pria berlari menghampiri Clara dan langsung memeluknya. Clara terkejut bukan main, dia tidak menyangka kalau abangnya akan datang. Clara merasakan bahunya basah, tangannya yang tidak diinfus terangkat mengelua bahu abangnya yang bergetar. "Adek baik-baik aja Abang, don't cry please." Varo ikut mengelus bahu Yoovan, "Yo udah dong. Kesian adek kalo lu peluk begitu." Yoovan langsung memundurkan badannya, air matanya langsung dia elap secara kasar, "Maafin Abang ya sayang?" Clara menggeleng, "Abang ngga salah. Aku kecapean aja ini." Tetap saja, walaupun adiknya berkata seperti iti, Yoovan tetap merasa bersalah. Dia asik dengan dunianya sendiri, sampai-sampai lalai untuk menjaga adik perempuannya. Adik yang dia sayangi. "Apa yang sakit, hm?" tanya Yoovan masih dengan posisi yang sebelumnya. Wajahnya sangat dekat dengan Clara. Tangannya sendiri mengelus dahi sang adik. "Pusing aja Bang." Yoovan menegakkan badannya, "Tadi udah minum obat belum?" tanyanya seraya menatap sepupunya yang lain. "Udah tadi Bang, dikasih sama perawatnya." Yoovan mengangguk, "Makasih ya udah siaga bawa Clara ke rumah sakit." "Apaan sih lu Yo ngomong begitu. Clara juga adek kita lagi," protes Varo merasa tak terima dengan apa yang Yoovan katakan. Dia juga berhak menjaga Clara. Kehadiran Clara dulu, memang sangat dinantikan keluarga besarnya. Ponsel Varo berdering, ternyata panggilan masuk dari Jiyad. Pria itu mengatakan kalau antrian Clara sudah dekat. Dengan sigap, Jeo meminjam kursi roda yang ada di IGD. Yoovan juga demikian, tubuh Clara dia angkat sendiri ke kursi roda. Baginya berat Clara tidak ada apa-apanya. Mereka semua mengikuti langkah Yoovan yang mendorong kursi roda. Tadinya mau Jeo yang mendorong, tapi Yoovan meminta biar dirinya saja yang mendorong. "Gue minta sama kalian, jangan ada yang kasih tau yangti atau yangkung ya kalau Clara masuk rumah sakit." "Aman Bang," jawab Kevin mewakili sepupunya yang lain. Pasalnya kalau sampai yangti dan yangkung mereka tahu, urusan akan panjang. Mereka yang ada tidak diperbolehkan untuk tinggal di markas, dan disuruh kembali ke rumahnya masing-masing. Dan itu sangat amat mereka hindari.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN