PART 4 - Raven Bar

2070 Kata
"Aku ke depan sebentar, kau tunggu di sini. Jangan langsung pulang, Natali. Aku butuh bantuan untuk membersihkan riasanku nanti," kata Lu lalu meninggalkan Natali. Lu berjalan ke tempat pemotretan. Mengenakan gaun berwarna kuning dengan lengan sabrina yang cukup pendek. Di depannya berdiri fotografer yang memotret Lu. Natali bisa mendengar fotografer memberikan arahan gaya untuk Lu. Sedangkan Natali duduk di meja rias, memasukkan alat-alat make up-nya ke tas sambil menunggu Lu selesai. Pagi tadi, Lu masuk ke kamar Natali dan meminta Natali untuk ikut dengannya ke pemotretan. Asisten Lu yang biasanya merias kakaknya itu sedang sakit dan Lu tahu Natali pintar merias orang dari dulu, karena itu Lu meminta Natali untuk menjadi penata riasnya sementara. Natali tak bisa menolak karena ini hari Minggu dan Natali memang tak ada pekerjaan. Selain itu, Lu terlihat sangat putus asa karena pemotretan hari ini Lu menggunakan gaun dari Laurents, desainer kesukaannya. "Sudah selesai?" tanya Natali ketika Lu kembali ke meja rias. Lu mengangguk dan duduk di depan Natali. "Sudah. Tapi mereka mengajakku pergi makan malam. Dan kau harus ikut, Natali," kata Lu. "Aku tak bisa. Besok aku harus bekerja," kata Natali sambil membersihkan riasan kakaknya. "Ini cuma makan malam. Tidak akan lama dan aku tak membawa mobil. Kau harus ikut agar bisa mengantarkanku pulang," kata Lu dengan memaksa. Natali menghapus lipstik Lu dengan kapas. "Tapi -" "Tak ada alasan. Pokoknya kau harus ikut. Mereka mengajak kita berdua. Kau melihat fotografer yang memotretku tadi? Dia juga ingin kau ikut," kata Lu. Natali akhirnya mengangguk. Menuruti permintaan Lu untuk ikut makan malam. Setelah riasan Lu sudah dihapus semua, Lu berganti pakaian. Kakaknya itu mengganti pakaiannya dengan gaun yang lebih pendek daripada tadi. Berwarna hitam dengan potongan d**a rendah dan melekat erat di tubuh Lu yang tinggi. Tapi Natali tak mengomentarinya karena pakaian Lu memang kebanyakan seperti itu. Lu tak memiliki pakaian yang panjangnya sampai bawah lututnya. "Kau tak ingin berganti pakaian?" tanya Lu. Natali menatap pakaiannya. Sebuah celana jeans biru panjang yang sobek di bagian paha dan kaos putih, Natali tak merasa harus berganti pakaian. "Tidak." "Ya sudah. Ayo kita keluar, yang lain sudah menunggu," kata Lu sambil membantu Natali membawakan kotak rias. Mereka keluar dan fotografer beserta timnya sudah menunggu di parkiran. Fotografer itu adalah seorang laki-laki berambut agak panjang, dengan kulit pucat dan alis mata tebal. Laki-laki itu mendekati Natali dan mengangkat tangannya di depan Natali. Natali menatap laki-laki asing itu dengan bingung. "Apa?" tanyanya. "Kunci mobil. Biar aku yang menyetir," kata laki-laki itu. Natali melewatinya dan membuka mobilnya. "Tidak perlu. Aku tak suka orang asing mengendarai mobilku," kata perempuan itu. Laki-laki itu hanya tersenyum kecil dan mendekati Lu. "Butuh bantuan, Cantik?" tanyanya pada Lu. Dengan senyum manis, Lu memberikan kotak rias yang agak besar itu ke fotografer itu. "Kau sangat perhatian, Devan," kata Lu. Laki-laki yang dipanggil Devan itu membuka bagasi dan meletakkan kotak rias itu di dalamnya. Laki-laki itu berbicara dengan teman satu timnya lalu kembali ke mobil Natali. Membuka pintu di samping Natali, sedangkan Lu duduk di kursi belakang. Natali hanya menatap laki-laki di sampingnya dengan datar. "Kita mau kemana?" tanya Natali dengan ketus. "Roberts Restaurant. Tahu, kan? Sampingnya Raven Bar? Kita akan kesana," kata laki-laki di sampingnya. Natali tak membalas perkataan laki-laki itu dan langsung menyalakan mobilnya. Natali mengingat jalannya karena pernah menjemput Lu di Raven Bar sebelumnya. "Aku menunggu kalian berbicara, tapi tidak ada yang membuka mulut. Apa aku perlu mengenalkan kalian dulu? Jadi Devan, kenalin ini Natalina, adik aku yang baru pulang dari Amerika, seorang pengacara" Lu menggeser duduknya di tengah dan menunjuk Devan. "Dan ini Devan, fotografer di Wilmime Model, agensiku," kata Lu. "Aku tidak tahu kalau Lu punya adik dan sama cantiknya dengan Lu," kata Devan dengan senyum kecil. Natali hanya melirik kecil laki-laki itu. Perempuan itu hanya fokus pada jalanan. Tak ingin terlibat pembicaraan dengan kenalan Lu. Devan mendekati wajah Natali, membuat perempuan itu tak nyaman. "Sepertinya wajahmu tidak asing. Apa kau pernah bertemu denganku, Natalina?" tanya Devan. "Natali saja. Dan aku tak pernah bertemu denganmu," kata Natali pendek. "Natali -" Devan seperti berpikir keras. "Benar. Aku ingat sekarang. Kau juga seorang model dulu. Wajahmu beberapa kali muncul di majalah fashion sekitar enam tahun yang lalu. Itulah kenapa wajahmu tak asing. Aku benar, kan?" tanya Devan. Lu menimbali dengan sedikit kesal. "Benar. Dia dulu model, tapi hanya sebentar dan bukan profesional. Natali cuma bekerja sampingan menjadi model, jadi kau tak mungkin pernah bertemu dengannya, karena Natali tak mungkin pemotretan bersama fotografer terkenal seperti kau," kata Lu. "Benarkah, Natali? Kenapa kau tak berbicara?" tanya Devan. "Sudah kubilang kita tidak pernah bertemu," jawab Natali pendek. Devan tersenyum kecil. "Sepertinya kau perempuan yang sulit, ya," lirih laki-laki itu. **** "Lu, bangun..." kata Natali sambil mengangkat tubuh kakaknya yang tergeletak di meja. "Sepertinya Lu minum terlalu banyak," sahut Devan di depannya. "Aku akan mengantar Lu pulang. Kau pasti bisa pulang sendiri, kan?" tanya Natali pada Devan. Devan menunjuk teman-temannya yang duduk di meja berbeda dengannya. "Tenang saja, aku bersama teman-temanku," kata laki-laki itu. "Baiklah, kalau begitu aku akan membawa Lu pulang sekarang. Sudah terlalu malam," ucap Natali sambil mengambil tas Lu dan menggantungnya ke bahunya. "Butuh bantuan? Sepertinya Lu sangat mabuk. Kau tak bisa membawa Lu sendiri," kata Devan lagi. Natali menggeleng. "Tak perlu, aku bisa sendiri," kata Natali. Laki-laki di depannya itu tersenyum kecil. "Baiklah. Sepertinya kau tak terbiasa menerima bantuan, Natali. Padahal aku tak ada niatan lain selain ingin membantumu." "Aku hanya tak suka menerima bantuan dari orang yang baru aku temui," balas Natali tanpa menatap Devan. Natali mengangkat tubuh Lu yang lebih tinggi darinya dengan susah payah. Sedangkan Lu sudah membuka mata, menggumamkan kata-kata tak jelas pada Natali. Perempuan itu berjalan dengan sempoyongan hingga Natali kesusahan menuntunnya. Hingga ketika mereka berada di lobi hotel, Lu berhenti melangkah. "A-aku i-ngin ke toilet - toi-let..," ujar Lu dengan suara tak jelas. Natali pun mengantarkan Lu ke toilet yang ada di lobi. Perempuan itu menuntun Lu masuk, lalu keluar dari toilet. Dari tempatnya berdiri, Natali melihat Devan berkeliling loba seperti mencari seseorang. Natali seketika tahu bahwa laki-laki itu sedang mencarinya ketika melihat tasnya yang menggantung di bahu Devan. Natali begitu fokus pada barang-barang Lu sehingga lupa kalau dirinya membawa tas. Perempuan itupun mendekati Devan dan memanggil laki-laki itu. "Devan, apa kau mencariku?" ujar Natali. Laki-laki itu tersenyum dan Natali baru menyadari laki-laki itu memiliki lesung di pipi kirinya. Sangat kecil tapi dalam, hingga tak terlihat kalau Devan tak tersenyum lebar seperti sekarang. "Tasmu ketinggalan di restoran. Kupikir kau sudah pergi," kata Devan sambil memberikan tas Natali. "Terima kasih, aku benar-benar melupakannya," kata Natali. "Dimana Lu?" Natali menunjuk toilet di belakangnya. "Di toilet, sepertinya ia ingin muntah," kata Natali. "Kau benar-benar tak butuh bantuanku? Kalau Lu pingsan di jalan, kau tidak akan kuat menggendongnya, Natali," kata Devan. "Parkiran hanya sekitar seratus meter dari sini, Devan." Laki-laki itu tersenyum. "Aku suka mendengarmu memanggil namaku, Natali" kata Devan. Natali tak menjawab dan berjalan ke toilet. Merasakan Devan mengikutinya di belakang, tapi Natali mencoba tak peduli. Perempuan itu masuk ke toilet dan sedikit panik ketika semua pintu toilet sudah terbuka. Natali mengeceknya satu-satu dan tak menemukan Lu dimanapun. Dengan panik, Natali keluar dan langsung mendekati Devan. "Lu tidak ada," kata Natali. "Maksudmu?" "Aku tadi mengantar Lu sampai masuk toilet, tapi sekarang dia tak ada," ujar Natali. "Coba aku telepon." Natali melirik tas Lu yang ia pegang. "Tidak bisa, aku membawa tasnya," kata perempuan itu. Devan terlihat bingung, lalu berjalan keluar hotel. Mencari di sekitar halaman hotel dan parkiran, sedangkan Natali mencari di dalam lobi. Mereka sudah mencari lebih dari lima belas menit, tapi Lu tak juga ditemukan. Natali pun keluar hotel, menatap gedung tinggi di sebelah hotel dan sebuah pikiran masuk ke kepalanya. "Aku sepertinya tahu dimana Lu," kata Natali. Devan menatap Natali, "Dimana?" Natali tak menjawab dan masuk ke gedung itu. Perempuan itu masuk ke lobi tapi seorang bodyguard menahannya. Natali ingat, untuk masuk ke gedung itu, ia harus memiliki kartu anggota. Dan Natali tak memilikinya. Karena itu sekarang dirinya tak bisa masuk. Natali berbalik dan menatap Devan. "Kau tak memiliki kartu anggota di klub ini?" tanya Natali. "Aku punya, tapi aku tak membawanya. Sepertinya tertinggal di mobil," kata Devan. Natali mendesah pelan, tahu bahwa mobil Devan masih berada di studio pemotretan, karena laki-laki itu tadi ikut dengan mobil Natali. "Bagaimana aku bisa jadi anggota di klub ini?" tanya Natali dengan kesal. Bodyguard muda yang memiliki tatapan tajam itu menjawab, "Anda harus datang besok, Nona. Pendaftaran anggota hanya bisa dilakukan saat pesta terbuka di bar ini besok." "Tapi aku butuh masuk sekarang! Aku hanya ingin mencari kakakku, apa aku tak boleh masuk? Walau hanya sebentar?" tanya Natali. "Maaf, tapi tak boleh. Bos kami sangat sensitif soal keamanan bisnisnya. Kami hanya menghindari pengedar narkoba dan bisnis prostutitusi masuk ke bar kami, jadi setiap orang yang masuk harus memiliki identitas yang jelas," kata laki-laki berseragam hitam itu. Devan menarik tangan Natali. "Percuma saja, Natali. Raven Bar tak akan membiarkan orang baru masuk begitu saja. Lebih baik aku cari temanku yang masih di restoran, siapa tahu mereka membawa kartu anggota," kata Devan. Natali mengangguk, perempuan itu baru saja pergi dari pintu masuk ketika suara tak asing terdengar di belakangnya. "Biarkan dia masuk. Perempuan ini datang bersamaku," kata seseorang di belakang Natali. Natali menoleh ke belakang dan melihat laki-laki beramput cepak dengan bola mata biru seperti lautan. Tubuhnya tertutupi jaket hitam dan celana jeans biru yang terlihat santai, tapi sebuah jam tangan di tangannya menunjukkan kesan mahal dari laki-laki itu. Sebelum Natali mencerna apa yang terjadi, laki-laki itu menarik tangan Natali mendekatinya dan memeluk pinggang Natali dengan mesra. "Perempuan ini datang bersamaku, apa kalian tak akan membiarkan kami masuk?" tanya laki-laki itu lagi, kali ini dengan nada sedikit tinggi. Dua orang bodyguard di depan Natali langsung minggir. "Maaf Tuan Alvaro, kami tak tahu kalau Nona ini bersama Anda. Maafkan kesalahan kami," kata salah satu penjaga dengan sedikit panik. "Ingat wajah perempuan ini, lain kali kalian harus membiarkannya masuk, meskipun tanpa kartu anggota sekalipun, kalian paham?" tanya Alvaro. Dua orang penjaga itu mengangguk berbarengan. "Baik, Tuan. Kami akan mengingatnya. Kami pasti akan membiarkan Nona ini masuk kapapun dia ingin," kata penjaga itu lagi. Alvaro menarik pinggang Natali masuk ke bar bersamanya. Natali menahan diri, meskipun ia ingin menampar Alvaro karena menyentuh pinggangnya tanpa izin, tapi perempuan itu hanya diam. Karena Natali butuh masuk ke bar untuk mencari Lu. Saat mereka sudah berada di bar, Natali pun segera menjauh dari Alvaro. "Terima kasih, tapi kau tak harus merangkulku seperti tadi," kata Natali ketus. "Hanya cara itu yang terpikir olehku, Natali. Karena tak ada perempuan yang aku ajak masuk ke bar ini, selain pacarku. Dan aku sedang membuat mereka percaya kalau kau adalah pacarku," kata Alvaro. "Apapun itu, terima kasih." Natali memutar tubuhnya mencari Devan. Merasa bersyukur laki-laki itu berhasil masuk ke bar. Natali pun menarik fotografer itu mengikutinya. "Ayo kita cari Lu dan segera pulang dari sini," kata Natali. Alvaro masih berjalan mengikuti Natali. Membuat Natali mempercepat langkahnya, tapi Alvaro tak menyerah dan tetap mengikuti perempuan itu. Devan berbisik di telinga Natali. "Itu Alvaro, kan? Pemilik bar ini dan putra tunggal keluarga Alejandra? Bagaimana bisa kau mengenalnya?" tanya Devan. "Lu tak memberitahumu?" tanya Natali. "Apa?" "Laki-laki itu mantan suami Lu," ujar Natali. "Sumpah? Aku baru tahu. Lu tak pernah bercerita dan memang kami baru bekerja bersama beberapa kali. Aku baru pindah ke kota ini dua bulan yang lalu," kata Devan. "Berhenti mengoceh dan carilah Lu. Kenapa aku tak melihatnya dari tadi?" tanya Natali. "Karena semua orang berkerumunun di sekitar kita. Sepertinya mantan kakak iparmu itu sangat terkenal di antara pengunjung bar," kata Devan. "Berhenti mengatakan mantan kakak ipar, aku tak pernah menganggapnya mantan kakak iparku. Dia hanya perusak hidup kakakku, itu saja," kata Natali. Devan tak menyahut dan Natali melepas tarikan tangannya di tangan Devan. Meminta laki-laki itu mencari Lu di lantai dansa, sedangkan Natali mencari di meja bar. Natali baru saja masuk ke toilet bar untuk mencari Lu, khawatir kakaknya itu terjatuh di toilet tanpa ada yang menyadarinya - karena Natali tahu Lu sangat mabuk dan Lu adalah perempuan yang bisa melakukan apapun ketika mabuk. Saat membuka pintu toilet yang paling akhir, Natali mendengar langkah berat seseorang di belakangnya. Sebelum Natali bisa berbalik dan melihat orang itu, sebuah tangan mendorong Natali masuk ke toilet, lalu orang itu ikut masuk dan mengunci toilet yang terlalu kecil untuk mereka berdua itu. "Apa maksudmu, Alvaro?!" tanya Natali dengan kesal. Sedangkan laki-laki di depannya itu hanya tersenyum kecil. Mendudukkan Natali di toilet sedangkan dirinya masih berdiri dan mengurung Natali dengan tubuh besarnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN