"Apa kau benar-benar masih menyimpan foto telanjangku, Nat? Kau bilang sudah menghapusnya!" teriak Arnold yang duduk di sebelahnya.
"Bagaimana bisa aku menghapusnya jika itu adalah satu-satunya hal yang membuatmu diam?"
"Tapi itu foto waktu aku lima belas tahun, Nat. Kalaupun kau mengunggahnya di i********:-mu, tidak ada orang-orang yang mengenalinya."
"Aku tinggal menambah petunjuk kalau itu adalah dirimu."
Arnold menyisir rambutnya dengan jari-jarinya. "Aku tak peduli. Unggah saja jika membuatmu senang. Memangnya apa sih yang lucu dari foto telanjang anak lima belas tahun. Lebih baik kau memfotoku sekarang."
"Kau yakin aku boleh mengunggahnya?" Natali mengeluarkan ponselnya dari tasnya. "Aku akan mengunggahnya sekarang kalau begitu," kata Natali.
Arnold ingin merebut ponsel Natali, tapi perempuan itu berhasil menghindar. "Kau tak boleh bermain ponsel saat mengemudi. Kau ingin kita kecelakaan?" kata Arnold dengan kesal.
"Aku bisa menyetir dengan satu tangan. Kau masih meragukan kemampuan menyetirku? Kau tidak ingat aku sering ikut pertandingan balap mobil waktu SMA?" tanya Natali.
"Tapi selama kuliah kau tak memakai mobil lagi. Kau mungkin lupa cara mengerem. Jadi, untuk keselamatan kita berdua, berikan padaku ponselmu sekarang," ujar Arnold.
Natali masih memegang erat ponselnya. "Aku bisa mengerem, oke? Kau tak perlu khawatir, aku akan mengunggah fotomu penuh - tanpa editan sama sekali. Kau masih terlihat manis seperti dulu," kata Natali dengan senyum kecil.
Arnold menyugar rambutnya lagi. "Jangan - oke, aku tidak akan mengirim foto si Alvaro lagi. Tadi aku cuma kebetulan melihatnya di beranda i********:-ku dan kebetulan kita sedang membicarakannya, jadi aku tanpa sadar mengirimnya kepadamu. Jangan unggah fotoku. Yang benar saja, itu waktu aku masih memiliki berat badan 90 kg. Kau ingin mengingatkan teman-teman kita lagi kalau aku pernah obesitas? Kau sungguh keterlaluan, Natali," kata Arnold dengan sedih.
Natali tersenyum kecil, lalu memasukkan ponselnya ke tas. "Aku juga tak akan mengunggahnya, Arnold. Meskipun aku mengancammu ratusan kali, aku tak pernah mengunggahnya, kan? Kenapa kau tak percaya padaku?" tanya Natali.
"Tapi kenapa kau masih menyimpannya? Hapus sekarang foto itu, Nat!" kata Arnold.
"Aku menyimpannya, siapa tahu kamu akan merindukannya suatu saat nanti. Kalau kamu sudah bertemu perempuan yang kamu cintai dan mencintaimu secara tulus, aku akan memperlihatkan foto itu padanya," kata Natali.
"Kau gila! Aku tak akan membiarkanmu memperlihatkan foto itu pada orang lain, walau pada seekor semut sekalipun," balas Arnold.
Natali tak menimpali, mobilnya berbelok ke gang rumah Arnold yang dekat dengannya. Arnold membuka pintu mobil dan Natali menurunkan kaca mobilnya.
"Besok, jangan lupa jam tujuh tepat aku jemput. Kalo telat, aku tinggal," kata Natali.
Arnold tersenyum kecil. "Katanya ingin berangkat jam lima," balasnya.
"Terserah. Pokoknya, besok jangan telat."
Arnold membalikkan tubuhnya sambil berkata, "Padahal hari ini kau yang telat," gerutu laki-laki itu.
Mendengarnya, Natali tersenyum kecil. Menutup kaca mobilnya dan melaju ke rumahnya yang hanya berjarak beberapa meter dari rumah Arnold. Natali memarkirkan mobilnya di rumah besar keluarganya dan masuk ke dalam. Perempuan itu cukup kaget saat melihat Rebeca berdiri dengan wajah tajam, tangannya menyilang di d**a seolah ingin menerkam Natali. Perempuan itu menghembuskan napas kecil, rupanya kesialannya hari ini tidak berhenti saat di tempat kerja saja.
"Baru pulang? Kau tahu ini jam berapa?" tanya Rebeca dengan nada tajam.
"Ini hari pertamaku di tempat kerja baruku. Aku capek dan ingin mandi," kata Natali sambil melewati wanita itu.
Tapi Rebeca tak menyerah dan menghadang Natali. "Mana uang belanjaku bulan ini?" tanyanya sambil mengangkat tangannya meminta pada Natali.
"Aku sudah memberikannya seminggu yang lalu. Apa kau sudah menghabiskannya? Bagaimana bisa? Apa kita makan Kaviar atau Truffle setiap hari? Aku bahkan tak makan daging seminggu ini," kata Natali dengan sarkas.
"Jadi apa? Kau pikir aku menggunakan uangmu seenaknya? Kau tak tahu berapa banyak uang yang harus kekeluarkan untuk pengobatan ayahmu selama ini. Uang yang kau berikan padaku selama ini bukan apa-apa dibanding yang kukeluarkan, Natali!"
"Kau berkata seolah kau yang membayarnya. Tapi bukan, Rebeca. Aku yang mengirimimu uang selama ini. Bahkan saat aku kuliah, tapi aku mengirimu uang untuk pengobatan Ayah dan jumlahnya tak sedikit. Jangan bilang seperti kau yang membayar pengobatan Ayah," ujar Natali dengan tajam.
Rebeca mendekatkan dirinya pada Natali. Menatap anak tirinya itu tepat di depan matanya. "Apa kau boleh memperlakukanku seperti ini?" tanyanya.
Natali mengangguk, "Aku akan memberimu uang," katanya.
"Apa kau pikir aku peminta-minta? Setelah kau berkata seperti aku parasit yang menghabiskan uangmu, sekarang kau akan memberikanku uang karena apa? Kau kasihan padaku? Jangan mengasihaniku, Natali!" kata Rebeca.
Natali memandang datar perempuan di depannya. "Aku tak kasihan padamu. Aku akan memberikanmu uang, agar kau tak mengangguku seperti ini lagi. Kau hanya akan diam jika aku memberimu uang, kan?" tanya Natali.
"Apa kau bilang?"
"Kau hanya akan membiarkanmu hidup dengan damai di rumah ini, jika aku memberikanmu uang, kan?" tanya Natali lagi.
Rebeca mendongakkan kepalanya. "Benar. Aku hanya akan diam jika kau memberiku uang. Katakan padaku, berapa uang yang bisa kau berikan sekarang?"
"Aku akan mentransfernya, kau tak perlu khawatir. Kalau kurang, kau bisa meminta lagi, itupun jika aku memiliki uang, karena kau mengambil semua yang aku hasilkan selama ini, Rebeca."
Rebeca menyilangkan tangannya di d**a. "Oke, aku tunggu," katanya lalu pergi.
Natali sudah melangkah menuju lantai dua ketika ibu tirinya itu berkata lagi. "Oiya, mulai sekarang kau harus pulang sebelum pukul lima. Aku sudah memecat Bu Marla, pembantu kita. Kau tau aku tak punya uang untuk membayarnya lagi. Karena itu - mulai sekarang kau yang harus menggantikan semua pekerjaan Bu Marla, termasuk membersihkan rumah dan memasak. Ingat itu, Natali! Jam lima sore!" kata Rebeca diakhiri dengan senyum licik.
Natali mendesah panjang. Tak pernah membayangka bahwa ia akan kembali menjadi pesuruh di rumah itu. Enam tahun yang lalu Rebeca memang sering memerintahnya - tapi tak terlalu berat karena ada Bu Marla, tapi sekarang, Bu Marla sudah dipecat. Natali tak tahu bagaimana ia bisa mengurus rumah sebesar itu - dengan waktunya yang delapan jam berada di kantor.
Tapi seperti biasa dan seperti semestinya - Natali tak akan bisa menolak perintah Rebeca. Karena selain menjadi ibu tiri yang jahat untuknya - Rebeca juga seorang peri penolong bagi ayahnya. Dan apapun yang menyangkut ayahnya, Natali tak akan berpikir dua kali.
Karena ayahnya satu-satunya keluarga yang tersisa untuk Natali. Orang yang benar-benar keluarganya - dan menyayanginya dengan tulus.
***
Natali baru saja selesai mandi. Menggulung rambutnya dengan handuk dan berjalan ke meja rias ketika terdengar bunyi ketukan di pintu. Natali membuka pintu dan melihat ayahnya berdiri di luar.
"Ayah..." lirih Natali.
"Natali, anakku. Bolehkan Ayah masuk? Atau Ayah mengganggumu?" tanya pria paruh baya itu dengan wajah ragu.
"Mana mungkin? Ayah tak pernah menganggu. Masuklah, aku ingin mengeringkan rambut dulu," kata Natali sambil membuka pintunya lebar, membiarkan ayahnya masuk.
"Padahal aku baru saja akan menemui Ayah." Natali membuka handuk di kepalanya dan menghidupkan hair dryer. "Apa ayah sudah minum obat?" tanya Natali.
Widan menggeleng, bibirnya terlihat pucat. "Belum. Ayah belum makan. Apa Natali bisa membuatkan Ayah sarapan? Seperti kemarin, nasi goreng telur?" tanya Widan dengan nada seperti anak kecil.
Natali mematung, meletakkan hair dryer-nya dan menatap ayahnya. "Ayah belum makan? Tapi ini sudah malam. Kenapa Ayah baru meminta sarapan di malam hari? Ini sudah malah, Ayah," kata Natali dengan sedih.
"Ayah ingin nasi goreng telur, seperti kesukaan ibumu, apa Natali bisa membuatkannya?" tanya Widan lagi.
Natali mengangguk, matanya berkaca-kaca. "Tadi malam, Ayah sudah makan, kan? Katakan padaku kalau Rebeca memberi Ayah makanan tadi malam," ucap Natali.
"Tadi malam?" Widan mendongakkan kepalanya berpikir keras. "Ayah makan - Ayah makan roti. Rebeca tidak memasak karena baru saja dari salon kuku. Dia marah saat Ayah meminta makanan," cerita Widan dengan putus-putus.
Natali mengepalkan tangannya. Marah pada Rebeca yang tidak mengurus ayahnya dengan baik. Enam tahun yang lalu, Natali memberanikan diri meninggalkan ayahnya untuk kuliah di luar negeri karena Natali percaya dengan Rebeca. Ibu tirinya itu - meskipun dengan omelan dan bentakan yang membuat Natali selalu menutup telinganya dengan earphone di rumah - selalu mengurus ayahnya. Bahkan ketika Rebeca berkata membenci ayahnya, wanita itu tetap membuatkan makanan untuk Widan. Tapi kenapa wanita itu berubah sekarang?
Sekarang Rebeca hanya mengurus Widan seadanya. Natali bekerja dari pagi sampai sore dan ketika malam, Natali tak jarang menemukan ayahnya belum makan. Padahal ayahnya harus meminum obat. Saat seperti itu, Natali menahan diri dan memasak untuk ayahnya. Tapi kejadian itu terus berulang dengan alasan yang tak masuk akal hingga Natali tak bisa menahan diri lagi - seperti sekarang.
"Aku keluar dulu, Yah," kata Natali dengan rambutnya yang masih basah.
Natali berjalan ke kamar Rebeca di lantai satu - kamar yang berseberangan dengan kamar ayahnya. Natali mengetuknya dan terdengar suara Rebeca dari dalam.
"Masuk," kata wanita itu.
Natali membuka pintu kamar dan melihat ibu tirinya itu sedang mewarnai kukunya dengan cat warna merah. Wanita itu melirik kaca di depannya dan melihat Natali.
"Aku pikir Lu. Kenapa kau kesini?" tanya Rebeca dengan santai.
"Kenapa kau tak memasak untuk Ayah?" tanya Natali.
"Memasak? Aku tak pernah memasak selama ini. Kenapa kau mempermasalahkannya sekarang?" kata wanita yang masih fokus dengan kukunya itu.
"Aku tak peduli kau tak memasak. Kau bisa membelikan Ayah makanan dari luar, Rebeca. Kau bisa pesan online jika tak mau keluar. Lakukan apapun asalkan Ayah tak telat makan seperti hari ini!" kata Natali dengan nada yang semakin tinggi.
Rebeca menghadap belakang, menatap Natali datar. "Sudah kubilang uangku habis. Bagaimana bisa aku membelikan makanan untuk ayahmu?"
"Tapi kau memiliki uang untuk merawat kuku di salon! Jangan pikir aku tak tahu! Kau memiliki uang untuk spa dan ke salon setiap hari!"
Rebeca berdiri, tatapan matanya semakin tajam. "Itu uangku, Natali. Uang yang diberikan Lu untukku. Kenapa aku harus menggunakan uang pemberian Lu untuk membelikan ayahmu makanan?" tanya Rebeca.
Natali menatap tak percaya wanita di depannya. "Lalu, apa kau berniat membuat ayahku mati kelaparan? Iya?" tanya Natali.
"Kau anaknya! Kau bisa mengurusnya! Hanya memberinya makan, kau pasti bisa melakukannya! Kau bisa memesan makanan dari kantor untuk ayahmu. Apa itu hal yang susah?"
"Lalu apa yang kau lakukan? Kenapa aku harus memberimu uang jika aku yang mengurus semuanya?" ujar Natali.
"Uangmu itu - aku gunakan untuk pengobatan ayahmu. Kau tanya apa yang aku lakukan? Aku membawa ayahmu ke rumah sakit setiap minggu! Aku menemaninya berkonsultasi dengan dokter tanpa mengeluh padamu sedikit pun! Saat ayahmu tak ingat apapun - bahkan namanya sendiri, aku yang berbicara dengannya, aku bahkan yang memandikannya! Aku sudah melakukan apa yang aku bisa, Natali. Jadi jangan berkata aku tak melakukan apapun lagi di sini!" kata Rebeca.
Natali mendesah pelan. Hari ini ia sangat lelah dan bertengkar dengan Rebeca hanya akan menguras lebih banyak tenaganya. Jadi, sebisa mungkin Natali menahan diri pada wanita di depannya itu.
"Kalau begitu, aku akan mengurangi uang yang kuberikan padamu," kata Natali.
Mata Rebeca terbuka lebar, terlihat marah. "Apa yang kau kurangi?! Kau hanya memberiku sedikit dan kau akan menguranginya lagi? Tidak bisa, Natali! Kau harusnya beruntung aku tak meminta seluruh gajimu!" teriak Rebeca.
Natali tak peduli dengan bentakan Rebeca. "Dan aku akan bertanya pada dokter Ayah, apa benar biaya pengobatan Ayah sebanyak itu. Kalau aku tahu kau menggunakan uangku untuk berfoya-foya, aku tak akan memberikan sepeser apapun padamu, Rebeca. Aku yang akan membawa Ayah berobat sendiri," kata Natali sambil keluar dari kamar Rebeca.
Rebeca berteriak beberapa kali, menyuruh Natali kembali dan menarik kata-katanya. Tapi Natali tetap berjalan lurus. Perempuan itu melihat ayahnya sudah duduk di meja makan dengan wajah pucat. Natali teringat ayahnya belum makan dari pagi dan langsung berjalan ke dapur. Berniat membuatkan ayahnya nasi goreng telur kesukaannya.
Tapi ketika Natali membuka lemari pendingin, perempuan itu tak menemukan apa-apa kecuali air minum. Bahkan tak ada beras di dapur itu. Hanya ada sebungkus besar roti tawar yang Natali pikir sering Rebeca berikan pada ayahnya.
Natali mendekati ayahnya dan berkata, "Natali pergi belanja sebentar dulu, Yah. Tunggu di sini, Natali akan membuatkan nasi goreng telur kesukaan, Ayah."
Widan mengangguk dan Natali pun masuk ke kamar untuk mengambil uang. Mulai sekarang, Natali berjanji tak akan membuat ayahnya kelaparan lagi. Natali akan lebih memperhatikan ayahnya - menebus enam tahun yang ia habiskan jauh dari ayahnya itu.