PART 11 - Pesta Ulang Tahun

1821 Kata
Natali membuka matanya, merasakan kepalanya serasa pecah dan berat. Perempuan itu melihat jam dinding, mendesah lega ketika masih jam tujuh pagi. Perempuan itu segera berjalan ke kamar mandi dengan sempoyongan. Natali tak pernah menghabiskan banyak waktu di kamar mandi, lima belas menit kemudian perempuan itu keluar, memakai pakaian kerjanya, mengeringkan rambut, lalu memakai riasan tipis di wajahnya. Natali melihat penampilan dirinya sekali lagi di cermin lemarinya. Perempuan itu mengambil tasnya lalu keluar dari kamar. Sebelum pergi ke kantor, ia harus membuat roti bakar untuk ayahnya. Sebelum itu, Natali ke kamar ayahnya. Perempuan itu mengetuk pintu ayahnya beberapa kali sebelum masuk. Melihat ayahnya masih terlelap seperti bayi. "Ayah..." panggil Natali mencoba membangunkan ayahnya. Widan mudah terbangun, karena itu mata ayahnya itu segera terbuka. Pria itu menguap beberapa kali, lalu duduk perlahan. Natali segera membuka jendela dan mengambilkan segelas air untuk ayahnya. "Minum dulu," kata Natali sambil membantu Widan minum. Setelah meneguk air minum sampai setengah gelas, Widan menatap Natali dengan bingung. "Kau - kau siapa?" tanya pria itu dengan bingung. Natali tak terkejut sama sekali. Ayahnya sering tak mengenalinya saat pagi hari. Bahkan Natali pernah diusir dari rumah karena ayahnya tak percaya kalau dirinya adalah anaknya. "Aku Natali." Natali mengambilkan buku catatan ayahnya dan membuka halaman pertama. "Ayah yang menulis sendiri di halaman pertama kalau nama anak ayah adalah Natali. Itu adalah aku. Ayah ingat? Aku anak Ayah," kata Natali sambil menunjuk tulisan ayahnya. "Na - ta- li - na." Mata Widan terbuka lebar. "Kau Natalina? Anakku? Anakku satu-satunya, Natalina? Darimana saja kau selama ini, Nak?" kata Widan lalu memeluk Natali erat. "Aku di rumah, Ayah. Aku selalu ada di sini." Natali melepaskan pelukannya pada ayahnya. "Sekarang, Ayah cuci muka dan turun ke bawah. Aku akan membuatkan roti untuk Ayah. Ayah harus makan baru setelah itu minum obat. Ayah ingat apa yang aku perintahkan kan?" tanya Natali. Widan mengangguk dua kali, "Cuci muka, turun, makan, lalu -" "Minum obat," sambung Natali yang melihat ayahnya bingung. "Minum obat, " ulang Widan seperti anak kecil. Natali pun membantu ayahnya mencuci wajah, lalu perempuan itu keluar dari kamar ayahnya. Natali turun ke dapur dan hampir terperanjat kaget ketika melihat seorang laki-laki berdiri di depan kulkas, menggenggam botol berisi air minum dingin. Laki-laki yang seharusnya tak ada di rumahnya pagi-pagi seperti ini. Bagaimana bisa Alvaro di rumahnya? Apa yang laki-laki itu lakukan sebenarnya? "Kau terlihat lebih cantik di pagi hari. Hanya saja - jika kau tersenyum sedikit saja, aku akan jatuh sekali lagi karenamu, Natali," kata laki-laki itu sambil menutup botol minumnya. "Apa yang kau katakan? Kenapa kau ada di sini Alvaro?" Natali menatap sekelilingnya, takut tiba-tiba Lu atau Rebeca datang. "Kau! Bagaimana kalau Rebeca atau Lu melihat?! Kenapa kau kemari?" tanya Natali dengan panik. "Tenang Natali. Yang pasti aku di sini bukan sebagai penyusup. Lu sendiri yang memintaku menginap di sini," kata Alvaro santai. "Menginap? Lu menawarimu menginap dan kau menerimanya? Apa yang kau pikirkan? Bukankah pernah kubilang kalau kau harus menjauh dari keluargaku?!" ujar Natali. Alvaro menarik kursi dan duduk dengan santai. "Aku hanya mabuk dan tak bisa menyetir kemarin malam. Karena itu Lu menawariku tidur di sini," kata Alvaro. Natali menatap tajam Alvaro. "Kau tak seperti orang yang sedang mabuk sekarang," kata Natali melihat Alvaro yang tampak bugar. Alvaro mendekati Natali lalu berbisik ke telinga perempuan itu. "Aku membohongi Lu agar bisa berangkat bersama denganmu pagi ini," kata Alvaro. Natali mendorong laki-laki itu menjauh darinya. "Pergi dari sini sekarang, Alvaro! Aku akan berangkat sendiri! Dan jangan menggunakan aku untuk membohongi Lu! Kalau Lu tahu - kau akan merusak hubungan kami!" kata Natali dengan serius, lalu melewati Alvaro untuk mengambil roti tawar. Natali memasukkan roti-roti itu ke mesin pemanggang roti. Perempuan itu menyiapkan selai kacang kesukaan ayahnya. Natali hampir berteriak untuk yang kedua kalinya ketika merasakan Alvaro menyentuh punggungnya. Perempuan itu berbalik dan melotot tajam. "Kau tak akan berhenti sebelum aku memohon padamu, kan?" tanya Natali dengan putus asa. Laki-laki itu tersenyum pahit. "Maafkan aku. Aku tak ada niatan sama sekali untuk merusak hubunganmu dengan Lu, Natali. Aku tak peduli dengan Lu, tapi aku peduli denganmu," kata Alvaro dengan tulus. "Kalau kau peduli padaku, pergilah dari sini sekarang. Sebelum Lu bangun dan melihat kita berdua di sini, Alvaro," kata Natali. Natali menunggu Alvaro melangkah pergi, tapi laki-laki itu masih terdiam di tempatnya. Perempuan itu memilih tak memedulikan Alvaro dan membuat dua gelas s**u. Natali meletakkan roti panggang di meja. Perempuan itu baru saja akan menjemput ayahnya di kamar ketika mendengar suara langkah menuruni tangga. "Alvaro, kau sudah bangun? Aku harusnya cuci muka terlebih dulu kalau tahu kau sudah bangun," kata Lu yang masih mengenakan lingerie-nya. Natali hanya melirik kakaknya itu. Lu tak pernah mengenakan lingerie saat di rumah. Natali tahu kakaknya itu pasti sengaja memakai lingerie terbaiknya untuk menemui Alvaro. Natali juga melihat kakaknya itu sudah memakai riasan tipis, hampir tak terlihat, tapi membuat wajah perempuan itu terlihat lebih segar dan muda. Rambutnya juga sudah lurus dan tertata rapi. Sama sekali bukan penampilan orang yang baru bangun tidur - apalagi belum mencuci wajahnya. Lu melirik Natali dan tersenyum tipis, "Natali, bisakah kau membuatkanku s**u juga? Oh ya - sekalian untuk Alvaro juga. Alvaro suka minum s**u putih saat pagi," kata Lu lalu mendekatkan tubuhnya pada Alvaro. Natali mengangguk kecil lalu kembali ke dapur. Menyiapkan dua gelas s**u lagi sesuai permintaan kakaknya. Beberapa kali Natali melihat Alvaro berdiri tak nyaman di dekat Lu. Laki-laki itu jelas tak menyukai Lu dan terganggu dengan keberadaan kakaknya itu. Tapi, kenapa kakaknya itu pura-pura tak tahu dan terus mendekati Alvaro? Kenapa Lu bisa tergila-gila pada laki-laki itu? "Bagaimana tidurmu tadi malam? Kau pasti tak bisa tidur, ya? Kau selalu susah tidur di tempat asing. Saat menginap di rumah ini, kau kan tak pernah tidur di kamar tamu," kata Lu sambil menyentuh bahu Alvaro dan mendorongnya lembut agar duduk di kursi makan. "Aku bisa duduk sendiri," kata Alvaro sambil melepaskan tangan Lu dari bahunya. "Baiklah. Aku tadi ingin membuatkanmu sarapan, tapi aku harus berangkat kerja jam sembilan ini. Maaf aku tak memiliki waktu untuk masak dan belanja, Alvaro. Di rumah ini sudah tak ada pembantu lagi yang bisa berbelanja setiap pagi," jelas Lu dengan wajah sedih. Alvaro tak membalas perkataan Lu. Laki-laki itu hanya berdiri ketika Natali sampai di depannya. Alvaro membantu Natali meletakkan gelas s**u di meja. Dengan sengaja menyentuh jemari Natali yang memegang nampan, tapi Natali tak memberikan reaksi sama sekali. Membuat Alvaro mendesah pendek ketika perempuan itu naik ke lantai dua untuk menjemput ayahnya. Dengan menuntun ayahnya, Natali kembali ke meja makan. Natali mengambil piring dan mengoleskan selai kacang ke roti panggang, lalu memberikannya ke Widan. Pria yang rambutnya masih basah karena habis keramas itu makan dengan lahap. Sedangkan Natali tampak sibuk menyiapkan obat yang akan di minum Widan. Alvaro hanya memperhatikan setiap pergerakan Natali. Tentu saja dengan sembunyi-sembunyi agar Lu tak menyadarinya. Sedangkan Lu terus bercerita tentang pekerjaannya, pestanya kemarin, hadiah yang diterimanya, dan hal lain yang tak bisa Alvaro ingat. "Karena itu aku pikir kau tak akan datang. Karena kau tak menemuiku di kantor seminggu yang lalu." Lu melirik Natali yang masih sibuk mengurusi ayahnya. "Natali! Apa kau benar-benar memberitahu Alvaro kalau aku datang ke kantor?" tanya Lu dengan sinis. Natali melirik Alvaro, "Tentu saja," kata Natali tenang. "Natali memberitahuku. Memangnya apa yang kau pikirkan? Kau pikir Natali sengaja tak memberitahuku?" sahut Alvaro. Lu menggeleng, "Tidak. Aku hanya - sebentar..." Mata Lu semakin menajam menatap Natali. "Kau memberitahu Alvaro langsung? Bukankah kau berkata hanya memberitahu sekretarisnya? Kenapa kau berbohong padaku?" tanya Lu. "Aku hanya berbicara dengan Riyan, Lu. Aku tak pernah bertemu Alvaro saat di kantor," kata Natali dengan sedikit lelah. "Oke. Hanya Riyan. Baiklah," kata Lu dengan lega. "Memangnya kenapa kalau Natali yang memberitahuku langsung? Memangnya apa yang salah?" tanya Alvaro dengan kening berkerut. Lu melirik Natali. "Tak ada yang salah. Aku hanya tak suka Natali dekat-dekat denganmu," kata Lu. Kening Alvaro semakin berkerut tajam. "Kenapa memangnya?" "Sudahlah. Kenapa malah membahas masalah ini?" Natali membantu ayahnya berdiri dengan hati-hati. "Aku harus berangkat bekerja sekarang," kata Lu. "Tidak. Aku harus tahu kenapa kau tak memperbolehkan adikmu dekat-dekat denganku." Alvaro menatap Lu dengan tajam dan penuh kebencian. "Dengar, Lu. Aku datang ke pesta ulang tahunmu bukan karena aku ingin memperbaiki hubungan denganmu atau aku masih memiliki perasaan padamu. Aku bahkan belum memaafkanmu. Dan kau sadar kau sekarang sangat berlebihan, kan? Kau bukan istriku lagi! Kita bukan siapa-siapa. Lalu kenapa kau melarang orang lain untuk dekat denganku? Kau sudah tak memiliki hak untuk itu, Lu!" ucap Alvaro dengan tegas. Lu mengepalkan tangannya, terlihat sangat terluka dengan perkataan Alvaro. "Kau salah! Aku memiliki hak! Walaupun aku tak memiliki hak padamu, tapi aku memiliki hak pada Natali! Dia adalah adikku! Dan memangnya kenapa kalau aku tak suka adikku dekat-dekat denganmu?" tanya Lu dengan alis terangkat pada Alvaro. "Natali sudah dewasa. Kau tak bisa mengaturnya seperti yang kau mau," ucap Alvaro ketus. Melihat dua orang itu membicarakan dirinya, Natali memegang tangan ayahnya dan berkata, "Ayah, bisakah Ayah naik ke kamar lebih dulu? Naik ke kamar dan aku akan segera menyusul," kata perempuan itu dengan lembut. Widan mengangguk, menatap Lu dan Alvaro cukup lama, tapi tak mengatakan apa-apa. Mulutnya tertutup rapat dan matanya masih tak fokus. Dengan langkah kecil, pria itu menaiki tangga satu persatu. Hingga saat ayahnya sudah mencapai setengah tangga, Natali mendekati Lu. "Sudahlah, Lu. Apa yang kau khawatirkan? Aku tak akan dekat-dekat dengan Alvaro," kata perempuan itu sambil memegang tangan Lu. Tapi Lu menepis tangan Natali dengan kasar. Cukup kuat hingga tubuh perempuan itu hampir terjatuh ke belakang jika saja Alvaro tak menangkapnya. Natali segera melepaskan dirinya dari pelukan Alvaro dan melihat wajah Lu yang berubah 180 derajat dari pertama ia turun dari tangga tadi. "Aku tak bicara denganmu! Aku bicara dengan Alvaro! Kalau kau ingin berangkat bekerja, sana pergi! Jangan mencampuri pembicaraanku dan Alvaro!" kata Lu dengan kesal. Alvaro menarik tangan dan membawa perempuan itu ke belakang tubuhnya. "Natali berangkat denganku hari ini. Bukankah itu yang kau inginkan tadi malam?" tanya Alvaro. Lu menatap Alvaro tak percaya. "Jadi kau mau menginap di sini, hanya agar bisa berangkat berdua dengan Natali, Al? Kau serius? Apa yang kau pikirkan?!" teriak Lu. Natali mencoba mendekati Lu, "Lu, kau salah paham! Alvaro tak mungkin seperti itu. Alvaro hanya atasanku, Lu. Aku bahkan tak mengenalnya sebelumnya. Apa kau pernah melihatku bersama Alvaro saat kau masih menjadi istrinya dulu? Aku bahkan tak mau menemuinya. Lalu apa yang kau pikirkan? Kau kira kami memiliki hubungan istimewa? Itu sama sekali tak mungkin," kata Natali diakhir dengan tawa kecil. "Apa yang tak mungkin?" tanya Alvaro pada Natali setengah berbisik. Natali melotot tajam pada Alvaro. Mungkin tatapan tertajam yang pernah ia layangkan pada laki-laki itu. Natali sedikit lega - tatapannya itu masih berpengaruh pada Alvaro dan membuat laki-laki itu diam. Natali menjauh dari Alvaro dan menatap Lu, "Aku akan berangkat ke kantor sendiri. Kau tahu aku selalu berangkat bersama Arnold. Jadi meskipun kau yang memintaku berangkat bersama Alvaro, aku tak akan mau," kata Natali lalu pergi meninggalkan dua orang yang membuat kepalanya pusing di pagi hari itu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN