Vincent Young, pengusaha penerbit terbesar di Asia. Dia CEO dari berbagai cabang penerbit. Di usianya yang menginjak 26 tahun, dia sudah sukses menjadi pengusaha di dunia media penerbitan.
Berbagai majalah, n****+ dan lebih banyak lagi menjadi usahanya. Namun kali ini Vincent mengganti ayahnya yang sakit, untuk memeriksa perkebunan apelnya di desa pedalaman Siloam. Vincent dan ayahnya berbeda usaha, namun mereka saling mendukung satu sama lain.
Seoul asal ayahnya, Singapura ibunya. Namun Vincent mengawali usahanya di Singapura, dia telaten dan berambisi besar. Pria dengan tinggi 180cm itu, kini berdiri memperhatikan perkebunan yang hampir panen. Dia bahkan berjalan sendiri tanpa menunggu sekretarisnya yang pergi setelah dia minta memanggil penjaga kebun.
Setelah seharian Vincent berada di perkebunan, dia kini mengikuti penjaga kebun untuk menemui pemasok di desa itu. Namun saat dia berdiri di tepi jalan, tiba-tiba sebuah traktor lewat dan memperlihatkan seorang gadis dengan daya tarik yang kuat bagi Vincent, hingga dia enggan melepas pandangannya.
''Wanita yang begitu menikmati suasana di tempatnya berada,'' ucap Vincent.
''Tuan, saatnya kita kembali!'' ajak Yash berjalan dengan berkas di tangannya.
Vincent mengangguk dan berjalan mendahului Yash yang mengejarnya dengan cepat. Kini, dia berdiri di depan kebun apl yang siap panen. Dimana prusahaan ayahnya produksi produk yang brbahandngan buah apel yang untuk produk minuman yang akan menjadi usaha ayahnya agar menjadi besar seperti saat ini.
Perusahaan yang besar di Singapura. Namun Vincent jauh lebih mnggluti perusahaannya yang jauh lebih maju pesat, dalam bidang penerbitan sebuah buku berbagai genre yang menjadi sebuah hobi dan bisnisnya yang maju pesat di dunia internasional.
''Tuan, tuan besar mengatakan jika 2 hari ke depan akan ada pertemuan dengan pengusaha yang menjadi kerjasama dengan perusahaan tuan besar, apa anda akan ikut hadir Tuan?'' tanya Yash.
'''Tidak,'' balas Vincent.
Yash hanya mengangguk, dia tahu apa yang saat ini di rasakan oleh tuannya, dia tampak gagah dan tampan, namun bukan hal yang aneh jika banyak wanita yang menginginkan tuan mudanya untuk menjadi suaminya. Bahkan mereka berbaris setiap acara yang di adakan oleh keluarganya untuk putranya itu.
Hanya karena suatu hal, Vincent tidak ingin berhubungan dengan wanita manapun, yang dimana hanya sebuah sia--sia jika dia bersama dengan wanita lain yang hanya akan menyia-nyiakan waktunya. Maka dari itu, Vincent hanya menghabiskan waktunya untuk bekerja saja. Dengan kesuksesannya itu, tidak sedikit yang ingin berdamingan dengannya, bagi seorang wanita yang tergila-gila dengan ketampananannya dan juga kesuksesannya.
Vincent yang larut dari masa lalunya yang kelam, di tinggalkan oleh kekasih hatinya yang kini menghilang begitu saja. Membuatnya semakin enggan untuk bersama dengan yang namanya seorang wanita. Bahkan kali ini ada hal yang lebih mengerikan terjadi pada dirinya yang mengharuskan Vincent untuk di rawat setiap kali hal itu terjadi padanya.
''Aduh!!
Suara seorang gadis mengaduh dari kejauhan, Vincent yang mendengarnya dia berjalan menghampiri suara itu, dia berjalan memasuki perkebunan yang dimana dia sama sekali tidak di temani oleh asistennya yang sering kali selalu menemaninya, setiap kali kemanapun dia pergi. Dia terkejut saat melihat seorang wanita tengah duduk dengan sebuah jerat di kakinya yang sedikit berdarah.
''Kau tidak apa?'' Vincent menghampiri wanita itu.
''Hah?'' Zara mendongakan kepalanya, namun dia terkejut saat apel yang dia pegang terjatuh dan menghampiri Vincent yang terdiam.
Vincent mengangkat sebelah alisnya dan mengingat-ingat wajah gadis yang sempat dia lihat di tengah-tengah desa. Samun saat dia hendak menghampiri Zara yang terluka di kakinya. Gadis itu tengah pergi berlari dengan apel di tangannya.
Dia tidak menyangka, ada gadis yang mengabaikan pertanyaan darinya yang bahkan dia mengkhawatirkan keadaan kaki gadis itu yang berdarah. Dia melihat gadis itu lagi berlari dengan cepat dan terlihat sebuah apel yang tentunya gadis itu meninggalkannya tanpa bebvicara dahulu padanya. Vincent tersenyum saat apel itu ada tepat di hadapannya dan mengambilnya.
''Gadis yang unik dan bgitu manis," ucap Vincent tersenyum dan mengigit apel yang ada ditangnnya.
''Gadis nakal ini!" gerutu pamannya melihat Zara berlari dan mengaduh tepat dihalaman rumahnya.
''Kamu kenapa zara?'' tanya Yesha datang dari dalam rumah.
''Hehe, hanya tersandung saja tadi,'' balas zara tersmyum menghampiri Bibinya.
''Iya, karena ulahmu yang selalu mencuri apel di perkbunan orang!'' seru pamannya dengan tatapan tajamnya.
''Aku hanya memintanya saja paman, dan itu juga karena mereka kelbihan buahnya paman,'' balas zara.
''Itubukan kelebihan Zara! Tapi itu mereka sedang panen!'' tgas pamannya.
"Hahaha, sudahlah. Tidak apa, lagipula yang terpenting dalam mencuri itu jangan sampai ketahuan kan?" tawa bibinya.
Zara terdiam, dia tidak ingin menjawabnya dan mencoba untuk mengalihkannya. Namun sudah di ketahui oleh pamannya jika gadis itu tidak mungkin jika tidak ketahuan.
"Tentunya tidak mungkin jika dia tidak ketahuan! Seperti biasa, paling aku harus menemui pemiliknya nanti," tatap pamannya.
"Hehe, Paman memang yang terbaik!" seru Zara tersenyum mendekati pamanya.
"Hah? Jadi kamu beneran ketahuan Ra?" tanya Bibinya yang tersenyum, di balas anggukan oleh Zara.
"Gadis nakal!" seru pamanya dan mengambil apel di tangan Zara, dia memakannya.
Zara dan istrinya tersenyum tipis mendengar penuturan pamannya. Namun berjalan dan mereka menikmati apel yang warna merah dengan berbagai minuman di hadapan mereka.
Kaki Zara sudah di perban sebelum Zara duduk manis di depan rumah bersama pamannya. Yesha, bibinya sudah membalut obat di luka kakinya. Dia hanya tersenyum mendapati paman dan bibi yang begitu menyayanginya.
"Kali ini, siapa yang memergokimu?" tanya Pamannya, dengan mulut memakan apel.
"Emmm, sepertinya belum pernah lihat. Dan lumayan tampan," jelas Zara.
"Kau pikir pangeran ada di kebun hah! Gadis ini," pamanya pukul dahi Zara dengan pelan.
"Hahaha, kenapa kau tidak percaya jika yang aku lihat memang pria tampan paman!" tawa Zara.
"Khayalanmu kelewat nakal, hei gadis!" seru pamannya tertawa.
"Iya, paling pamanmu hanya mau bilang. Kalau hanya dia yang tampan disini!" balas Yesha.
"Eh, Sayang? Memang iya kan?" tatap Nero.
Yesha dan Zara terdiam menilik Nero yang mengenakan pakaian acak-acakan dan kotor setelah kembali dari kebunnya. Mereka saling bersitatap dan tertawa satu sama lain. Kedua wanita itu tertawa begitu lepas menertawakannya.
Nero begitu merasa hangat saat melihat istri dan gadis kesayangannya begitu akrab dan menikmati moment bersama mereka.
"Kalian tidak menyadari ketampananku!" gerutu Nero.
"Bukan tidak menyadari Paman, tapi aku pernah bilang Paman tampan saat tidak mengenakan pakaian apapun," tawa Zara di balas anggukan oleh Yesha.
"Huh, gadis nakal. Juga istriku yang ikut-ikutan nakal!" seru Nero.
Mereka masih menghabiskan waktu sore itu berbincang bersama sembari meminum teh dan memakan beberapa apel yang di bawa oleh Zara. Meski mereka tahu jika itu hasil curian. Namun di desa mereka hal biasa akan hal itu, karena desa mereka hasil panen perkebunan melimpah dan tidak akan terjadi apapun jika sebagian ada yang mengambil hanya untuk makanan.