"Sya, kamu nggak di jemput?" tanya Abitha pada sepupu sekaligus sahabatnya itu, mereka satu sekolah hanya berbeda kelas saja, Nasya sudah kelas dua belas sedangkan Abitha baru kelas sebelas.
"Enggak, Papa lagi banyak kerjaan," jawab Nasya, kegiatan belajar mengajar sudah selesai siang ini dan mereka sudah keluar dari kelas masing masing keduanya bertemu di taman dekat lapangan basket yang ada di area dalam sekolah.
"Kamu pulang bareng aku aja, aku bawa motor kamu pulang sama aku aja tapi aku latihan dulu bentar. Satu jam? gimana?" tanya Abitha yang sedang fokus mempersiapkan diri untuk olimpiade matematika yang akan dia ikuti.
"Em ... satu jam lama kali, Tha, aku pulang sendiri aja deh, enggak apa apa," sahut Nasya sambil mengelus lengan Abitha dengan senyum manis menghiasi wajahnya, ujung rambut Nasya yang tergerai tertiup angin yang bertiup cukup kencang di siang ini.
"Ya udah deh, kalau gitu aku ke aula dulu ya udah di tungguin Pak Slamet sama temen temen di sana," pamit Abitha, Nasya menganggukan kepalanya mereka lalu saling melambaikan tangan dengan begitu manis sebelum berpisah.
Melihat Abitha sudah pergi Nasya tidak langsung pulang sendiri seperti yang tadi dia bilang melainkan duduk di bangku kayu panjang yang ada di taman itu dan pengambil ponselnya untuk menelepon seseorang.
Agak lama panggilan itu tidak terjawab tetapi Nasya tidak menyerah untuk menghubungi seseorang yang begitu dia harapkan bisa menjemputnya, padahal tadi pagi sang ayah sudah mengatakan kalau tidak bisa menjemputnya siang ini begitu pula dengan sang ibu yang kini menjabat sebagai sekertaris Samuel kakak iparnya di kantor dan mereka menyuruh Nasya untuk membawa mobil sendiri tetapi gadis itu menolak.
Entah di panggilan ke berapa seseorang yang Nasya hubungi menjawab panggilannya.
"Halo, Sya, ada apa?" tanya Abraar begitu menggeser panel telepon berwarna hijau lalu menempelkan ponselnya di telinga.
"Mas kok lama banget angkat teleponnya?" tanya Nasya yang sebenarnya tidak sabar menunggu untuk mendengar suara Abraar.
"Maaf, Mas lagi di perpus jadi hapenya Mas silent," terang Abraar, Nasya hanya membulatkan bibirnya mengerti, "Ada apa kamu telpon Mas siang siang gini?"
"Mas, bisa jemput aku dari sekolah? Papa nggak bisa jemput aku," pinta Nasya penuh harap, rupanya itu alasan Nasya tidak mau membawa mobil sendiri karena ingin Abraar datang menjemputnya, gadis itu merasa ini adalah kesempatan yang bagus untuk selalu dekat dengan Abraar.
"Aduh, gimana, ya, Mas lagi di kejar deadline. dari tadi Mas di perpus ngerjain tugas karena satu jam lagi harus di kumpulin," jawab Abraar tidak enak hati pada gadis itu tapi juga tidak mungkin dia melalaikan kesempatan terakhir untuk mengerjakan tugas yang dosennya berikan.
"Owh ...." lenguh Nasya kecewa, "ya udah nggak apa apa tapi tumben Mas sampe di kejar deadline biasanya tugas Mas selesai sejak jauh jauh hari."
Nasya sudah hapal betul jika Abraar memang anak yang rajin, semua dalam keseharian pemuda itu serba tertata dan serba terjadwal.
"Iya sebenernya udah Mas kerjain tapi belum selesai karena kemarin kan ada Bella jadi Mas lupa," jawab Abraar sambil tertawa kecil membuat senyum di wajah Nasya menguap, "tadi pagi juga Mas nganterin Bella ke Bandara dulu jadi baru sempet ngerjain sekarang."
"Oh, udah Mas kerjain aja tugasnya aku mau pulang," kata Nasya yang merasa enggan berbincang lagi dengan Abraar jika itu tentang Bella.
"Ya udah, kamu hati hati ya pulang sendiri," kata Abraar yang sebenarnya tidak tega menolak permintaan Nasya untuk menjemputnya tapi dia tidak punya pilihan lain.
"Iya," jawab Nasya datar, gadis itu lalu mematikan teleponnya sambil menggerutu.
"Kak Bella lagi, kak Bella lagi! selalu aja dia yang jadi prioritas utama! Katanya anggep kita bertiga sama tapi nyatanya Mas Abraar pilih kasih, seharusnya aku yang paling Mas Abraar utamain karena aku lebih sayang sama Mas Abraar!" gerutu Nasya dengan hati yang begitu kesal, gadis itu menjejak jejakkan kakinya ke atas tanah berumput tipis terkesan tandus itu, kehadiran seseorang di ujung bangku panjang yang dia duduki membuat gadis itu sedikit terperanjat.
"Ih, bikin kaget aja!" sembur Nasya pada seorang pemuda yang tersenyum geli melihat gadis itu terkejut karena ulahnya.
"Bukan aku yang ngagetin tapi kamunya aja yang terlalu fokus ngomel!" sahut pemuda kelas dua belas D yang berwajah lumayan tampan itu, dia satu angkatan dengan Nasya sekarang hanya berbeda kelas saja mereka sempat satu kelas saat Nasya baru menjadi murid SMA dulu entah pemuda itu sudah berada di kelas sepuluh berapa tahun maka Nasya sudah mengenalnya, Nasya hanya melirik sebal mendengar apa yang pemuda itu katakan.
"Ngomel kenapa sih?" tanya pemuda itu sambil menatap Nasya tajam, "ada yang gangguin kamu? bilang aja sama aku, yah ... walau bagaimanapun kita temen jadi aku siap sedia belain kamu."
"Enggak apa apa," jawab Nasya singkat, gadis itu memang terkenal pendiam dan tidak banyak bergaul di sekolahnya, pada siapapun yang tidak dekat dengannya dia selalu irit berbicara.
"Kok belum pulang? enggak ada yang jemput ya? pulang sama aku aja," tawar pemuda itu penuh semangat, Nasya kembali menatap pemuda yang duduk santai di sebelahnya memindai penampilan pemuda itu. Berantakan, baju sekolah yang keluar dari celananya kancing terbuka menampakan kaos bergambar monster yang ada di dalamnya, sepatu warna warni yang jelas tidak sesuai aturan sekolah, aksesoris yang ada di tangan dan lehernya membuat Nasya sedikit pusing melihatnya. Belum lagi rambutnya yang sedikit panjang meski tertata keren sesuai mode yang sedang berlaku.
"Mungkin emang udah saatnya aku menjalankan rencana bikin Mas Abraar lebih perhatian sama aku, biar nggak melulu Kak Bella terus!"
Nasya tersenyum lebar, sebenarnya bukan senyum untuk pemuda di sebelahnya tapi senyum karena merasa sudah menemukan cara terbaik untuk merebut perhatian Abraar.
"Kalau senyumnya gitu pasti mau, ayo aku anterin pulang!" kata pemuda itu sambil tersenyum penuh kemenangan.
"Boleh deh!" jawab Nasya, gadis itu lalu bangun dari duduknya dan berjalan menuju tempat parkir dengan pemuda itu mengikuti.
"Nih, helemnya, cantik. Mau di pakein?" tanya Pemuda itu sembari memberikan helem pada Nasya, gadis itu sedikit berdecak lalu mengambil helem berwarna hitam itu.
"Nggak usah!" jawab Nasya lalu memakainya, pemuda itu hanya tertawa kecil lalu mengenakan helemnya sendiri, bukan mengenakan secara benar karena dia hanya menyangkutkan helem full face nya di atas kepala karena ada kegiatan yang akan dia lakukan, kegiatan itu terganggu jika pemuda itu mengenakan dengan benar helemnya.
"Udah siap?" tanya pemuda itu saat Nasya sudah naik ke boncengan sepeda motor sportnya.
"Iya ayo!" jawab Nasya yang menaiki sepeda motor itu dengan perasaan kurang nyaman karena menahan tubuhnya agar tidak menempel pada pemuda di depannya.
"Ntar tunggu bentar," kata pemuda itu sambil merogoh sesuatu di sakunya, Nasya melotot melihat pemuda itu menyalakan rokok di bibirnya.
"El! enggak boleh ngerokok di sekolah!" kata Nasya sambil menepuk bahu pemuda nakal bernama Elfatan yang lebih akrab di sapa El itu, sang pemuda hanya tersenyum miring lalu mengapit rokok dengan jari tangan kirinya dan menghembuskan asap rokok yang di hisapnya, angin yang berhembus kencang ke belakang membuat hembusan asap itu mengenai wajah Nasya.
Gadis itu memejamkan mata sambil berusaha mengibas asap itu dengan tangannya, El yang melihatnya dari kaca sepion sepeda motornya malah tertawa.
"Pegangan aku mau jalan!" kata El yang lalu menyetater sepeda motornya membuat suara menderu seperti auman singa di tengah hutan, beberapa siswa memperhatikan mereka, sepertinya El sengaja melakukannya pemuda itu menggeber motornya sebelum meninggalkan parkiran.
"El, sebentar lagi kita lewat pos satpam," kata Nasya sambil mendekatkan wajahnya pada El agar pemuda itu bisa mendengarnya.
"Iya, emang kenapa itu satu satunya jalan keluar kan," jawab El dengan begitu santainya.
"Rokok kamu?" tanya Nasya khawatir tapi pemuda itu malah tertawa kecil dan menghisap rokoknya lagi kemudian sengaja menjepit rokok di bibirnya, Nasya hanya menggelengkan kepalanya heran dengan kelakuan El.
Pemuda itu dengan santainya keluar dari gerbang meski mendapat tatapan tajam dari para Security yang berjaga tampaknya semua sudah hapal dengan sikap arogan dan nakal bocah itu.
Sekitar satu jam kemudian seorang gadis keluar dari aula tempatnya belajar atau berlatih untuk olimpiade matematika yang akan di ikutinya, seorang pemuda berseragam sama dengannya tersenyum menyambutnya.
Dia adalah Fino, murid kelas dua belas yang aktif di organisasi siswa intra sekolah dan kegiatan positif lainnya tangannya memegangi sejuah kaleng berisi minuman ringan dingin yang akan dia berikan pada gadis yang sedang dekat dengannya.
"Kak Fino, udah lama nungguin aku?" tanya Abitha, pipinya bersemu merah jambu melihat senyum pemuda yang sedang menjadi pujaan hatinya itu.
"Enggak, belum begitu lama, minuman ini juga masih dingin belum berubah jadi anget," jawab Fino sambil memberikan kaleng yang ia pegang pada Abitha.
Abitha tersenyum manis, "makasih."
Gadis itu terkejut karena Fino kembali menarik tangan urung memberikan kaleng itu padanya.
"Langsung di minum aja, kamu pasti haus kan latian dari tadi," kata Fino, rupanya Pemuda itu membuka kaleng itu sebelum ia berikan pada Abitha jelas saja Abitha jadi tersenyum semakin lebar karena perlakuan manis pemuda itu.
"Makasih, Kak, Fino," kata Abitha dengan senyum cerianya lalu meminum minuman yang Fino belikan khusus untuknya.
"Tha, kita makan dulu yuk sebelum pulang," ajak Fino, Abitha mengangguk setuju mereka berjalan beriringan menuju tempat parkir.
"Oh iya, tadi sepupu kamu pulang sama El, mereka deket sekarang?" tanya Fino, Abitha yang tidak tahu apa apa membelalakkan mata.
"Hah? El siapa? El badung?" tanya Abitha tidak percaya.
"Iya, El itu Elfatan alian El badung anak dua belas D," jawab Fino membuat Abitha semakin tidak percaya.
"Masa sih?" tanya Abitha memastikan pasalnya dirinya tidak pernah tahu Nasya mau dekat dekat dengan anak itu.
"Iya, aku liat sendiri kok malah aku ikutin sampe parkiran Nasya di boncengin El," jawab Fino, Abitha hanya diam dalam tanda tanyanya.
"Kok bisa Nasya sama El? Kak Abraar harus tau ini!"