Setelah makan siang bersama klien, Ben kembali ke ruangannya, ia menghela napas halus dan memukul pelan bahunya, rapat tadi sangat lama hingga memakan waktu hampir dua jam duduk dan melihat proposal. Ben lalu masuk dan menghempaskan tubuhnya di sofa.
Memiliki segalanya, memiliki uang, kekayaan, harta, asset, ketampanan dan kepintaran, tak membuat Ben bahagia. Ia pikir memiliki segalanya adalah hal yang paling ia butuhkan, bahkan cinta tak pernah ia pikirkan sebelumnya. Ia tidak pernah memikirkan bagaimana nanti dan bagaimana masa depannya bersama istrinya kelak.
Evalinda berhasil merubah Ben menjadi lebih normal dan tidak m***m lagi, biasanya Ben akan menikmati segala yang Tuhan berikan termaksud menikmati setiap wanita yang setiap malam menemaninya. Namun, pertemuannya dengan Evalinda adalah hal terakhir yang ia rasa membahagiakan dan nyaman sekali.
“Buatkan aku kopi ekstra latte, Jack,” perintah Ben.
“Baik, Tuan,” jawab Jackie lalu melangkah meninggalkan Ben yang masih berbaring di atas sofa. Embusan napasnya keluar, ia berusaha memejamkan matanya.
Ketika hendak memejamkan matanya, ponsel Ben bergetar. Ben menghela napas dan melihat nama ayahnya di ponselnya. Ben mengabaikannya dan tidak pernah mengangkatnya, terakhir kali bertemu ayahnya 4 bulan yang lalu ketika rapat bersama para investor untuk membahas mobil yang akan ia luncurkan akhir tahun ini.
Ben selalu menghindari telpon sang Ayah dan tidak pernah mengangkatnya. Karena jika bertemu dengan ayahnya yang terjadi hanya lah perdebatan. Ben dan ayahnya memang tidak pernah akur semenjak ia tahu bahwa Catherine bukanlah Ibu kandungnya. Prinsip Ben dan ayahnya memang sama, namun cara mereka menjalaninya berbeda.
Kembali lagi ponsel Ben terdengar, sesaat ia menoleh dan melihat nama Erra di layar ponselnya, bukan lagi ayahnya yang menelpon, melainkan Erra.
Ben menghela napas dan mengangkat telpon tersebut.
‘Halo? Ada apa?’ tanya Ben.
‘Wah. Apa ini? Kamu membuatku tertawa, Ben, kamu mengangkat telpon Erra namun mengabaikan telpon ayahmu?’ Suara wanita jelas terdengar, Catherine yang berbicara menggunakan nomor Erra.
‘Ada apa?’
‘Ayahmu menanyakanmu sejak kemarin. Pulang lah dulu dan temui dia. Sudah dua hari ini ayahmu tidak bangun dari tempat tidurnya.’
‘Lalu apa gunanya ayahku menikahimu? Bukankah kamu yang harus merawatnya?’ Kesopanan yang dulunya Ben tunjukkan untuk Catherine sudah hilang bagai ditelan bumi, tak ada lagi kelembutan yang ia tunjukkan, semenjak setahun yang lalu Ben tahu bahwa Catherine bukan Ibu kandungnya, semua kesopanan dan tatapan penuh cinta menghilang seketika.
‘Ben, apa salah Mom padamu? Apa mom pernah tidak menyayangimu? Kenapa kamu terus mengabaikan telpon Mommy?’
‘Mommy? Aku menyesal telah menyebutmu seperti itu.’
‘Ben, semenjak aku menikah dengan ayahmu, aku yang merawat dan mendidikmu, namun ini balasannya?’
‘Aku tidak punya waktu untuk pulang ke rumah,’ jawab Ben.
‘Ayahmu menanyakanmu, Ben. Kasihan jika kamu mengabaikannya.’
‘Aku tidak mengabaikannya. Aku akan datang besok.’
‘Bisakah kamu temui dia malam ini? Bisa saja dengan menemuinya membuat semangatnya kembali.’
‘Jadwalku full hari ini.’
‘YA sudah. Sia-sia menelponmu.’ Catherine mengakhiri telpon dan mengembalikan ponsel Erra padanya.
Ben menaruh ponselnya diatas meja sofa dan kembali memejamkan matanya. Ia tidak ingin mendengar apa pun sekarang, kepercayaan dan kasih sayang yang dulunya ia tunjukkan untuk Catherine adalah yang terbaik yang bisa ia lakukan sebagai seorang anak pada ibunya, namun yang terjadi adalah … ia mengetahui hubungan gelap ayahnya dengan Catherine yang menyebabkan Ibu kandungnya meninggal dunia.
Ben sangat menyesal telah bersikap mesra dan harmonis pada Catherine.
Suara ketukan pintu terdengar, membuat Ben menghela napas halus dan berkata, “Taruh saja kopinya di atas meja. AKu akan meminumnya sebentar lagi,” kata Ben menaruh tangan kanannya diatas jidatnya.
“Ini seorang CEO lakukan di jam kerja?” Sebuah suara membuatnya membuka pejaman matanya.
“Apa yang kamu lakukan di sini?” tanya Ben melihat seorang lelaki duduk dihadapanya. Ben pun bangun dari pembaringannya dan memperbaiki posisi duduknya.
“Aku kemari hanya mau melihat-lihat,” jawab Julionad—sang Adik tiri.
“Untuk apa melihat-lihat?”
“Aku hanya ingin melihat keadaan kantor. Aku mendapatkan izin Daddy untuk menjadi salah satu direktur di perusahaan ini.”
“Kamu yakin bisa menjadi direktur di perusahaan ini? Apa kamu lupa sikap kekanak-kanakanmu?”
“Kenapa membahas masa lalu? Dulu aku masih kecil.”
“Aku tidak yakin kamu bisa membantuku mengurus perusahaan.”
“Apa sekarang … kamu berusaha menjadi lebih serakah atas semua yang kamu lakukan? Kamu memang CEO di perusahaan ini, tapi Dad tetap ketua di perusahaan ini, jadi Dad yang berhak untuk mempekerjakanku.”
“Aku tahu. Tapi CEO berada dibawah Ketua yang bisa melakukan apa pun.”
“Hei, Bro, kenapa kamu tegang seperti itu? Just kidding,” kekeh Julionad.
“Katakan apa yang kau lakukan di sini?”
“Aku sudah katakan tadi, aku kemari mau melihat pekerjaan yang akan aku kerjakan mulai bulan depan.”
“Lalu mengapa kamu mampir ke ruanganku?”
“Aku sudah katakan hanya untuk melihat-lihat,” jawab Julionad. “Sebenarnya … ada apa denganmu? KEnapa kamu banyak berubah? Apa kamu pikir aku sedang mencari cara untuk merebut posisimu? Aku bukan lelaki atau pun saudara seperti itu, Bro,” jawab Julionad membuat Ben menatapnya penuh waspada.
“Sulit mempercayai seseorang sepertimu,” ucap Ben.
“Itu semua masa lalu. Mengapa kamu membahas masa lalu? Bukankah yang kekanak-kanakan adalah dirimu sekarang? Kita sudah dewasa sekarang.”
Ben dan Julionad pernah terjebak di sebuah sumur tua, mereka jatuh ketika hendak menangkap burung dihutan waktu itu, Ben dan Julionad saat itu berusia 8 tahun. Ben berusaha menyelamatkan dirinya dan Julionad. Ben terus berusaha melakukan banyak cara untuk membantu Julionad naik duluan, ketika Julionad naik duluan, Ben pun berharap di selamatkan adiknya itu. Julionad mengatakan akan datang membawa bantuan. Namun … yang terjadi Julionad tidak pernah kembali membawa bantuan. Julionad meninggalkannya dan tidak pernah memberitahu siapa pun bahwa ia terjebak disumur tua itu.
Lelaki tua yang hendak mencari sayur-sayuran yang menyelamatkan Ben. Saat itu pula kepercayaan Ben menghilang dan memilih membenci Julionad hingga saat ini juga.
“Lebih baik kamu pergi dari sini. Jika kamu ingin bekerja di perusahaan ini, lakukan saja dan jangan mengusikku,” kata Ben membuat Julionad terkekeh mendengarnya.
“Aku juga berhak atas perusahaan ini, bahkan ayah lebih berhak karena ia ketua di perusahaan ini dan kamu hanya bekerja, jadi jangan mengusirku seperti itu,” kata Julionad.
“Meski ini bukan hanya hakku, tapi kamu harus tahu, kamu berada di ruangan siapa,” geleng Ben dan bangkit dari duduknya. “Pergilah, jangan membuat moodku hancur.”
Julionad bangkit dari duduknya dan melangkah ke arah pintu, ketika ia hendak membuka pintu ruangan itu, ia berbalik dan menoleh menatap punggung saudaranya. “Aku berharap kamu tidak terus membenciku, Ben.”
Kebahagiaan Ben yang selama ini menganggap bahwa keluarganya adalah keluarga yang sangat bahagia, membuat Ben menyesal pernah percaya dan mengatakan hal itu, Ben adalah pria yang dingin, ia tidak pernah merasakan cinta yang ia inginkan. Satu-satunya cinta yang pernah memberikannya bahagia sesaat adalah Stela—cinta pertamanya.