Gamang

779 Kata
Luna berbaring di atas ranjang. Dia tengah memikirkan kembali tawaran Arya tadi. Nikah. Dia juga pengen banget nikah. Saya sekali jodohnya belum tampak hari ini. Bahkan dia sampai curiga jodohnya itu belum lahir. Menikah dengan Arya sama sekali tak terlintas dalam benaknya. Arya adalah tetangga dan sahabat yang baik. Hanya itu. Tidak lebih. Luna bahkan tak pernah merasakan deg-degan di dekat cowok itu. Baiknya bagaimana? Haruskah dia menerima tawaran itu? Tapi kalau dipikir-pikir sekali lagi, Arya sangat mencurigakan. Kenapa dia tiba-tiba punya ide gila seperti itu? Memikirkan hal ini sendirian membuat kepala Luna terasa pusing. Mungkin seharusnya dia membicarakan hal ini dengan orang lain, tapi siapa? Luna baru sadar bahwa dirinya tak punya orang untuk diajak curhat. Semenjak dia resign dari pekerjaannya dan mengurung diri di kamar tiga tahun lalu, dia sudah terisolasi dari segala interaksi sosial. Dia hampir tak pernah mengobrol dengan siapa pun. Kecuali dengan Arya tentunya. Cowok itu selalu bersedia mendengarkan keluh kesahnya. Bahkan sampai terkantuk-kantuk di beranda. Masalahnya sekarang dia butuh curhat tentang Arya, lantas pada siapa dia bisa minta pendapat? Luna berguling-guling di kasur dengan kesal. Apa sebaiknya dia terima saja ya? Toh Arya sudah bilang kalau mereka hanya teman satu kontrakan. Selagi menunggu jodohnya lahir, dia tak perlu mendengar omelan mamanya karena menjadi perawan tua. Tapi menikah dengan Arya? Apa itu nggak terlalu aneh? Siapapun tahu mereka cuman berteman. Dilanda rasa kalutnya, Luna akhirnya memutuskan menggunakan jurus andalannya dalam memilih sejak masih sekolah dulu yaitu menghitung kancing bajunya. "Nikah, nggak, nikah, nggak, nikah...." Satu pesan di ponsel Luna membuatnya terkejut. Ternyata itu pesan dari Arya. Arya_ Ngapain ngitung kancing begitu? Luna terkesiap. Matanya langsung tertuju pada jendela kamarnya terbuka. Arya berdiri di sana, sedang merokok di beranda. Dia langsung bangkit dan menghampiri jendela. "Nggak sopan! Ngintipin kamar cewek!" geramnya berpura-pura kesal. "Siapa yang ngintip, orang kelihatan juga," dalih cowok berkacamata itu. "Gimana? Kamu sudah punya keputusan buat tawaranku kemarin?" Luna memoyongkan bibir. "Kalau semisal aku nolak gimana?" tanya Luna. "Ya, nanti aku cari yang lain," jawab Arya enteng. Luna terdiam sejenak. Jelas bahwa Arya hanya ingin menikah pura-pura saja. Tak peduli siapa pasangannya. Luna mendapatkan tawaran pertama karena dia yang paling dekat. "Kamu punya kandidat lain yang bakal terima ide absurdmu ini?" kejar Luna. "Nggak ada sih, kan aku sudah bilang peluangnya kamu menerima tawaran ini tuh 90%," ucap Arya yakin. "Kenapa presentasenya jadi nambah! Kemarin katanya 80%!" amuk Luna. "Karena kamu sudah mulai bingung, itu artinya sebagian dari dirimu ingin menerima tawaranku, kan?" kata Arya. Luna tertegun. Sulit memang berurusan dengan Arya yang bisa membaca pikirannya itu. "Jangan sotoy!" tegas Luna. Arya mengembangkan senyum separuhnya. "Kenapa kamu mikir sampai segitunya sih? Biasa juga otakmu itu nggak pernah dipakai buat mikir susah-susah, kan? Sudahlah langsung terima aja," ucap Arya memprovokasi. "Apa kamu nggak merasa aneh sih, kita udah sahabatan puluhan tahun kok tahu-tahu kamu kepikiran nikah sih?" tegur Luna "Justru karena kita udah temenan lama, kita udah tahu luar dalam, jadi nggak ada yang perlu ditutupi dan jaim lagi," kata Arya. Luna berpikir sejenak. Semua perkataan Arya itu ada benarnya, tapi kenapa hatinya ini rasanya masih bimbang. "Jadi gimana? Kamu mau nikah sama aku nggak?" tegur Arya lagi. "Mau dong!" Tiba-tiba muncul suara dari pintu masuk. Ternyata Mama Luna berdiri di sana dengan raut wajah berbinar. "Mau banget!" seru ibu-ibu itu semangat. Luna melotot. Sejak kapan Mamanya berdiri di situ? Sebanyak apa yang dia dengar? Apa dia sempat dengan tentang rencana absurdmu Arya untuk pura-pura nikah juga? Tapi kalau menilai dari ekspresinya itu sih kayaknya nggak. "Jadi kalian mau nikah? Kapan?" kejar wanita itu penuh semangat. Luna ternganga sementara Arya juga tampak kebingungan. "Saya sudah melamar, Tan, tapi belum dijawab sama dia," aku Arya. Netra Luna membelalak. Mamanya meliriknya dengan tajam. Seolah meminta penjelasan. Luna tahu bahwa sejak dulu Arya adalah tipe menantu idaman bagi sang Mama. Anak yang penurut, manis dan berprestasi. "Kenapa nggak segera kamu jawab, Lun? Ada cowok seganteng ini ngajakin kamu nikah lho! Kapan lagi kamu dapat rejeki nomplok begini!" tegur Sang Mama. Luna tak berkutik. Dia menoleh pada Arya. Pria itu itu tersenyum kecil. Tampaknya dia malah menikmati situasi ini. Kurang aja! "Ayo Lun, apa jawabanmu?" Mama memelototinya dengan kejam. Luna terpojok. Dia tahu hanya ada satu jawaban yang boleh keluar dari mulutnya kecuali jika dia ingin dipecat jadi anak. "Iya, Ma." "Nah! Begitu dong!" Mamanya langsung semringah. "Jadi kapan kalian bakal nikah?" "Secepatnya, Tan, mungkin bulan depan," terang Arya. "Aduh, harus segera dipersiapkan dari sekarang ya!" keluh Mamanya, mendadak rempong. "Oh, Mama harus kasih tahu Papa dulu!" Wanita paruh baya itu berlari dengan semangat, keluar dari kamar. Meninggalkan Luna yang terbengong-bengong bersama Arya cekikikan. "Sampai jumpa di pelaminan nanti ya, Sayang," kekehnya. "Sialan!" umpat Luna jengkel. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN