“Ada yang kamu perlukan?” tanya Hasan.
“Tidak Pak. Tidak ada yang perlu disiapkan oleh Bapak. Cukup.”
“Terlebih uang dari Bapak sangat berlebih. Cukup Pak, cukup,” kata Wahyudi dengan terbata. Sejak dulu Wahyudi tahu karakter lembut dan welas asih pemilik kantornya. Banyak karyawan yang dia tolong dengan berbagai kemudahan. Tapi sekarang dia merasakan sendiri kebaikan pemilik perusahaan tempat kerjanya. Wahyudi bertekad akan bekerja sebaik mungkin. Tak ingin mengecewakan orang sebaik pak Hasan.
Hasan juga belum berpengalaman soal baby, tapi dia ingin bertemu dengan Kemala melalui bayi yang Wahyudi miliki. Itu alasan yang masuk akal. Babynya Wahyudi sebagai alibi.
“Apa selama ini istrimu bekerja? Jadi nanti bayimu itu ditinggal di rumah?” tanya Hasan lagi.
“Iya istri saya kerja di swalayan kecil dekat rumah. Entahlah nanti sehabis punya anak apakah dia mau melanjutkan kerja atau tidak Pak.”
“Saya sih sudah bilang tidak usah tapi dia bilang ingin terus bekerja tidak mau menggantungkan uang dari saya. Sama juga kalau dia tidak bekerja pun sebenarnya cukup. Hanya kalau tidak bekerja itu akan membuat istri saya menjadi tertekan jiwanya.”
“Hidup hanya dengan anak tentu bahagia tapi ada tekanan yang melelahkan atau merasa terkukung di rumah saja. Jadi saya mau membiarkan dia memiliki pilihan sesuai hatinya saja.”
“Tidak mau saya arahkan atau tekankan. Biar dia memutuskan sendiri sesuai dengan kebijakan otaknya,” Wahyudi sadar, istri yang ditekan akan tak bahagia, dan istri yang tak bahagia akan berdampak pada pengasuhan anak mereka.
≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈
“Terima kasih,” jawab Hasan pada administrasi rumah sakit yang dia hubungi by phone.
“Loh? Ada perlu apa Kak? Kok ke sini?” tanya Kemala. Dia kaget Hasan menantinya di depan ruang kerjanya membawa satu kotak kue kecil entah isinya apa dan tas plastik juice yang spesial untuk berisi gelas juice, sehingga tidak tumpah-tumpah seperti kalau dimasukan asal kresek saja, Hasan membawa dengan santai dan diberikan pada Kemala.
“Sudah kamu ganjel dulu. Ini ada juice dan snack. Semoga kamu suka,” Hasan mengulurkan kotak kue dan juice yang dia bawa.
“Maaf aku belum tahu snack kesukaanmu apa, apalagi juice kesukaanmu. Ini aku bawa saja yang biasanya tidak dibenci orang. Alpukat. Tapi ini no sugar. Biasanya seperti itu. Aku jarang minum juice pakai gula. Tapi tentu ada SKM nya sih cuma no sugar sih,” kata Hasan.
“Iya aku juga jarang minum juice pakai gula, tapi ya sesekali sering juga sih. Ya pokoknya sesekali no sugar, begitulah, tidak selalu. Tergantung mood,” kata Kemala. Dia memang sedang lapar sehabis bekerja jadi langsung dia seruput juice yang diberikan oleh Hasan.
“Aku sudah lihat sih pasien terakhir, aku pikir sudah tenang nih ternyata ada Kakak. Ada apa Kak?” Kemala mengambil risol mayones yang dibawakan oleh Hasan.
“Bagaimana kondisi bayinya Wahyudi?” tanya Hasan.
“Kakak perhatian karena dia anak pegawai atau karena apa? Aku kok curiga ya,” kata Kemala to the point.
“Bagus. Instingmu kuat. Aku suka itu. Aku sebenarnya perhatian pada baby itu bukan karena dia anak pegawaiku. Tapi karena aku merasa punya andil untuk anak itu. Jadi bukan karena Wahyudi atau istrinya, tapi karena anak itu,” ucap Hasan.
“Aku merasa senang saja bisa melihat dia ‘bisa hidup’ dalam tanda petik karena aku.”
“Aku merasa terharu aku berperan dalam kehidupan orang. Itu suatu hal yang enggak bisa aku bayangkan. Benar-benar aku sangat bahagia, bangga, terharu, pokoknya apa ya?”
“Perasaan yang campur aduk saat melihat bayi itu ada di ruangan waktu dia baru lahir itu loh. Cuma saat itu kan aku nggak bisa lama karena jenazah uwak mau dibawa pulang. Jadi aku langsung pulang,” jelas Hasan.
“Nah aku kemarin sudah tanya sama Wahyudi katanya istrinya sudah keluar dari rumah sakit, tapi tetap berada di rumah sakit untuk memberi ASI. Aku tanya juga dong ke Wahyudi nanti selepas mereka pulang dari rumah sakit bagaimana. Apakah istri Wahyudi ingin memberi ASI atau dia tetap bekerja karena katanya dia kerja di swalayan.”
“Dari situ aku ingin memberi sedikit hadiah apabila dia tetap bekerja.”
“Kakak nggak suka perempuan kerja? Jadi nanti istrimu nggak boleh kerja begitu atau bagaimana? Aku nggak ngerti konsep pemikiranmu nih,” tanya Kemala.
“Oh bukan begitu. Bukan begitu. Aku malah memberi dia kesempatan kerja kan? Bukan suruh berhenti. Malah aku ingin memberi dia hadiah yaitu berupa kantong ASIP kalau dia kerja. Entah siapa yang memberikan ASIP, tapi di rumah kan pasti ada orang yang merawat bayi mereka.”
“Nah aku ingin bayi itu tidak menggunakan sufor ( su5u formula ) tapi menggunakan ASIP, jadi aku ingin memberinya kantong ASIP begitu loh. Maksud aku, aku mau tanya sama kamu bagaimana, apa rekomendasimu soal kantong ASIP?”
Kemala akhirnya mengerti pokok dasar pemikiran Hasan. Dia sangat bangga ada lelaki yang begitu pemikirannya.
Benar memang mungkin keterkaitan Hasan dengan bayinya, bukan dengan si ibu apalagi dengan Wahyudi. Kemala mengerti Hasan merasa punya andil dalam hidup anak itu. Mungkin seperti yang Hasan katakan tadi.
“Kalau kantong ASIP standar sih Kak. Cari saja yang di apotek tersedia. Nggak usah merek minded. Merk apa pun bagus. Pasti pabriknya sudah buat yang terbaik. Nggak ada merek tertentu yang aku rekomendasikan karena memang aku juga nggak kenal dengan merek itu. Tapi ya tergantung ketersediaan saja lah Kak,” kata Kemala.
“Eh ini kuenya kebanyakan loh Kak. Makan dong,” kata Kemala mengambil lemper yang tersedia di kotak. Aku sudah dua nih. Berarti yang dua Kakak yang makan. Nanti aku ambilkan air putih atau mau teh atau kopi?”
“Eh air putih saja deh. Oke aku habiskan dua. Tapi bagaimana kalau kita makan siang?” ajak Hasan.
“Aku takut Kakak keganggu loh. Aku biasa makan siang sama Kayshilla. Tapi nggak tahu sih dia hari ini belum chat aku. Apa dia makan siang bareng aku atau tidak.”
“Semalam dia bilang dia punya janji dengan Kak Badai. Katanya kemarin ada orang mau beli rumah dia yang dihadiahi oleh Keenan.”
“Dia sih nggak butuh rumah itu, baik dijual mau pun tidak. Itu sebabnya dia jual. Tapi sebelum diberikan sebagai hadiah, dia sudah beli tanah dan sedang bangun dengan developer dari Kak Badai.”