Forget It

982 Kata
"Aku-" "Teruskan saja." Ucapan Max terpotong oleh Gwen yang masih memejamkan mata menahan rasa perih di kewanitaannya. Dan Max kembali mengikuti insting lelakinya dengan izin secara tak langsung dari Gwen meski wanita itu menolak pun Max tak akan berhenti. Max benar-benar menikmati dirinya yang berada didalam gadis ah tidak wanita ini. "Yahh.. yahh... disitu..." Gwen tidak bisa lagi menahan desahannya, ia akui ini sangat nikmat. Ia memeluk leher Max karena tak punya pegangan lain, ia sudah dibutakan dan tidak bisa berpikir jernih lagi. Bahkan kedua kakinya sudah melingkar di pinggang Max tanpa tahu malu mengikuti irama yang pria itu buat. Mereka terus bergerak hingga pelepasan itu datang, Max mengeluarkannya didalam dan Gwen menghela nafas lega karena akhirnya pelepasan itu datang juga. Gwen berusaha bangkit dan melepaskan penyatuan mereka. "Mau kemana kau?" "Pulang. Kita sudah selesaikan?" Gwen berusaha bangun dan mendorong tubuh Max agar menjauh, tetapi pria ini malah menatapnya marah seperti sebelumnya disertai dorongan kembali hingga Gwen kembali terdampar ditempat tidur. "Tidak ada yang mengizinkan dirimu untuk pergi. Aku masih belum puas." Lalu tubuh Gwen dimiringkan dengan Max yang memeluknya dibelakang, menyatukan lagi tubuh mereka dan kembali lagi bergerak. Satu tangan Max bertengger di leher Gwen seakan mencekik wanita muda itu, "aku tidak akan pernah melepaskan dirimu Gwen." Max bergerak dan menekan miliknya lebih dalam pada Gwen seolah menegaskan bahwa wanita muda itu hanya milik Max. "Ahh.. sempit sekali Gwenhh.." "Ahh.. ahh.. shh.." Gwen hanya bisa menerima Max saat satu tangan dan kakinya dipegangi oleh pria itu. Sudah tak terhitung berapa banyak gaya yang mereka coba dan berapa pelepasan yang sudah mereka lalui, Max pun merasa lelah dan membawa Gwen kedalam pelukannya. Aroma percintaan begitu kuat menguar di kamar tersebut, tubuh mereka begitu lengket karena Max mengeluarkan banyak sekali s****a. Dalam kantuknya Gwen merasa bersyukur ini bukanlah masa suburnya, ia akan datang bulan dua atau tiga hari lagi. Gwen yakin itu. Gwen merasa tubuhnya remuk redam, ia membuka matanya dan melihat ada cahaya masuk disela-sela gorden. Saat mengecek disisi kasur tak ada siapapun, ia juga tidak mendengar suara air dari kamar mandi. Matanya mengedar mencari jam dinding, sekarang sudah pukul dua siang pasti Tasya mencarinya. Dengan menahan perih Gwen bangkit dan berjalan menuju kamar mandi, seusai mandi ia mendapati pakaian untuknya dan sebuah surat dimana ia diperintahkan untuk makan dan tidak pergi kemanapun. Tetapi Gwen sama sekali tidak peduli, mengambil barang-barangnya ia segera pergi dari apartemen tersebut mengabaikan pelayan disana yang melarangnya. Beruntungnya pria itu tidak menempatkan bodyguard disana jadi Gwen bisa pergi tanpa halangan. Gwen pergi ke salah satu tempat spa untuk menghilangkan pegal-pegal ditubuhnya, lalu menghubungi Tasya untuk menjemput dirinya. Tasya begitu banyak tanya saat melihat banyaknya kissmark yang ada dilehernya. "Lo ngapain aja sih Gwen, Bokap Nyokap lo semalem dateng ke apartemen kita. Untung gue gak mabok banget jadi masih bisa jawab pertanyaan mereka. Sekarang mereka minta lo untuk pulang kerumah." Menghela nafasnya Gwen setuju untuk diantarkan kerumah, ia juga tadi melihat begitu banyak panggilan tak terjawab dari kedua orangtuanya. "Thanks ya Sya, lo gak usah masuk kali ini." Dengan langkah kaki mantap Gwen memasuki rumahnya, diruang tamu sudah ada kedua orangtuanya juga kakak laki-laki dan kakak perempuannya. "Darimana saja kamu Gwen?" Gwen menggaruk pipinya yang tak gatal. "Dari rumah teman, ada apa Papa sampai telfon Gwen suruh pulang? Tumben." "Jaga sikap kamu Gwen, kamu semakin dibiarkan semakin kurang ajar dan tidak tahu aturan." Gwen memutar kedua matanya malas, tak tahu apa salahnya intinya semua hal yang salah dan jelek dirumah ini hanya berasal dari dirinya. Gwen benar-benar muak, dirumah ini yang benar-benar menyayangi dirinya hanya sang Mama. "Kamu semalam menginap dirumah siapa? Jawab Papa." Hans mendekati anak perempuannya itu dengan perasaan semakin murka apalagi melihat tanda yang ada dileher Gwen. "Apa ini Gwen? Apa yang sudah kamu lakukan semalam? Jawab Papa." Anggun terkejut melihat hal tersebut begitu Angga dan Hana. "Kamu menjual diri iya?? Apa semua uang yang Papa berikan tidak cukup untuk kamu?" Gwen berusaha untuk melepaskan cengkraman dari ayahnya dibahunya. "Sakit Pa." 'Plak' Sebuah tamparan secara tak terduga diberikan oleh Anggun. "Gwen, jawab Papamu. Apa yang kamu lakukan tadi malam?" Mata Gwen berkaca-kaca ia sungguh tidak menyangka Mama menampar dirinya, padahal ia pikir hanya sang Mama yang sayang padanya dirumah ini. "Gwen, kamu sudah sangat mengecewakan kepercayaan Mama dan Papa. Mama selama ini memberi kelonggaran untuk kamu supaya kamu tidak tertekan, Mama tahu Papa begitu keras dengan kamu hanya karena kamu berbeda dengan kedua kakakmu. Tapi apa yang Mama dapatkan? Kamu mengecewakan Mama Gwen." Mamanya menangis dan itu semakin membuat hati Gwen sakit, Gwen akui ia adalah anak yang sangat nakal tak tahu aturan tidak seperti kedua kakaknya yang disiplin dan hidup terjadwal. Gwen akui ia tidak sejenius kedua kakaknya, tetapi Gwen tidak bodoh juga, ia masih masuk lima besar dan seharusnya itu tidak jadi tolak ukur diskriminasi oleh Papanya yang serba perfeksionis. "Maafin Gwen Ma, Gwen tahu Gwen salah." Tangis Gwen luruh, ia tidak bisa membela diri lagi sekarang. Nyatanya hidupnya memang sudah tidak ada yang benar. "Masuk ke kamar kamu sekarang dan renungkan kesalahanmu. Nanti malam kita bicarakan lagi." Hans langsung memeluk istrinya dan membiarkan Gwen meninggalkan ruang tamu tak memperdulikan tatapan dari kedua kakaknya sama sekali. Gwen dan kedua kakaknya memang tidak sedekat itu. Sesampainya dikamar, Gwen terus menangis. Ia menyesal telah membuat Mamanya menangis, ia tidak tahu jika Mamanya begitu perhatian dan mengerti dirinya tetapi Gwen malah mengecewakan Mamanya. Gwen tidak tahu apakah kedepannya sang Mama akan ikut membencinya juga? Dering ponsel sedikit mengentikan Gwen dalam tangisnya. Disana tertera nomor asing, seketika Gwen ketakutan dan langsung memblokir nomor tersebut. Ia tidak mengenal lelaki yang sudah menjadi pria pertamanya itu dan Gwen tak ingin tahu, ia ingin melupakan hal itu. Saat nomor asing itu muncul Gwen terpikir mungkin saja Pria itu tahu nomor ponselnya. Langsung saja Gwen mencabut simcard di ponselnya dan membuangnya. Gwen sedang kacau sekarang dan tak tahu rencana apa yang akan Papanya siapkan untuk masa depannya. Vote and Comment guys!!!
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN