PROLOG

1771 Kata
Aura kecil menangis di dalam kamarnya, menutup kuping sembari menggelengkan kepala. Keributan di luar membuatnya takut, terlebih Aura masih dalam kondisi berduka karena baru saja pulang dari pemakaman papa dan mama. Tidak ada yang menghibur atau menenangkan, om dan tante justru meributkan perkara harta peninggalan serta saling lempar tanggung jawab karena tidak ingin mengasuh Aura. Mereka tertarik dengan semua peninggalan mama dan papa, tapi tidak mau membawa Aura ikut serta karena dirasa akan menyusahkan. Dia hanya anak yang nyaris berulangtahun ke tujuh. Tidak mengerti apa-apa, tetapi harus menelan pil pahit karena kehilangan orang tua. Harusnya orang terdekat merangkul, alih-alih memperdengarkan perdebatan dengan suara yang keras. Namun, perasaan anak kecil tidak pernah mereka pikirkan, karena hanya fokus pada keegoisan dan keinginan untuk menguasai. Tubuh ringkihnya mengkerut ke punggung ranjang, dengan mata basah dan bibir kian terisak lirih. Mengingat papa dan mama ditimbun tanah membuat tangis Aura makin menjadi-jadi. Dia sedih karena tidak bisa bertemu, bahkan menyentuh mereka lagi. Tidak ada lagi yang membacakan cerita sebelum tidur. Tidak ada lagi yang mengajarinya bersepeda, karena mulai hari ini sampai seterusnya mama dan papa memutuskan tinggal di surga tanpa membawa Aura ikut serta. Kecelakaan besar yang mereka alami adalah hal terakhir yang Aura dengar selepas mengantarnya ke sekolah. Senyum dan lambaian tangan, pelukan serta ciuman, rupanya itu yang terakhir kali dia terima dari mama dan papa. Dia tidak tahu harus apa selain menangis. Bingung dengan keadaan, terlebih pertengkaran om dan tante membuat Aura takut untuk menampakkan diri. Sejak kembali dari melepas papa dan mama untuk dimakamkan, Aura langsung masuk ke dalam kamarnya, menangis lirih sembari membekap kedua telinga supaya tidak mendengar keributan di luar. Perutnya lapar, tetapi tidak berani mencari makan, karena bisa jadi om dan tante akan membentak saat melihat keberadaan Aura. Di tengah kesedihan yang menggelayuti, tiba-tiba bunyi pintu dibuka mengambil alih perhatiannya. Aura lantas bangun, mencoba menghentikan isakan di samping matanya yang memburam. Mengerjap bingung, dia mendapati kehadiran pria dewasa sepantaran papa berjalan mendekat, menampilkan raut yang hangat. Tanpa bicara, pria itu memeluk Aura erat. Mengusap belakang kepalanya, menyalurkan ketenangan yang mana refleks membuat Aura mencengkeram erat kemejanya. “Anak cantik, Om teman papamu,” bisik orang itu pelan, mengantarkan rasa tenang. Kemudian perlahan tapi pasti, Aura dilepas lalu kedua bahunya dipegang. “Kita pernah bertemu, tetapi saat itu kamu masih bayi. Om dan papamu sudah berteman sejak kuliah, kami berada di jurusan dan kelas yang sama.” Kemudian dia memperlihatkan foto di ponsel, yang mana membuat Aura berkedip sambil memanggil lirih, “Papa ...” “Iya, Nak, ini papamu saat masih muda.” Tepukan ringan terasa di puncak kepala. Aura mendongak setelah mengusap air mata dengan punggung tangan, menatap pria itu dengan saksama. Benar, dia dan papa persis orang di foto ini. Berarti dia tidak bohong, dia memang teman papa. Walaupun Aura tidak mengerti, tetapi jujur saja dia tidak takut sama sekali. Dari kemunculnya di balik pintu, tidak sedikit pun Aura gentar dengan kehadirannya. “Mau ikut tinggal di rumah Om? Di sana ada anak laki-laki, dia akan jadi teman bermain sekaligus kakak yang akan melindungimu dari orang-orang jahat. Umurnya 13 tahun, mengikuti taekwondo, silat, dan sudah kelas satu SMP.” “Aura ... nggak tahu, Om. Mama sama papa–“ Lagi, dia terisak dalam kebingungan mengingat orang tuanya sudah tidak ada. Aura kembali meremas kemeja yang pria itu kenakan, meminta bantuan menjelaskan situasi, bagaimana bisa keadaan ini menimpanya. “Mau ketemu mama ... mau ketemu papa ... Aura kangen mereka ...” Dennis Van Dwight kembali mendekap, mengusap, serta mengecup lembut puncak kepala Aura. Berusaha menenangkan meski tahu pasti kalau tindakan ini tidak memberi pengaruh banyak. Dia sendiri kaget saat mendengar kabar kalau Ferdian Efendi–ayah Aura–kecelakaan dan meninggal di rumah sakit bersama sang istri. Dennis sedang meeting dengan klien dari luar negeri, langsung pergi detik itu juga untuk memastikan kebenaran kabar yang baru saja dia terima. Satu-satunya pesan yang Ferdian tinggalkan sebelum mengembuskan napas terakhir, yaitu menitipkan Aura pada Dennis. Sepertinya Ferdian tahu kalau saudaranya tidak ada yang mau merawat Aura. Dan Dennis menemukan fakta bahwa baik dari pihak keluarga Ferdian maupun istrinya, sibuk berebut harta peninggalan tanpa memperdulikan kondisi psikis anak mendiang. Sulit dipercaya, tetapi benar adanya. “Mulai sekarang Om akan jadi papa barumu. Tidak hanya itu, kamu juga punya mama yang dengan senang hati menerima. Jadi jangan takut lagi, Aura,” bisiknya lembut setelah membiarkan keheningan melingkupi selama beberapa menit. *** Dennis sudah memenuhi syarat pengadopsian, yaitu pertama dia berusia 37 tahun dan istrinya 34 tahun. Kedua, dengan usia pernikahan lebih dari lima tahun. Mereka mengajukan dokumen tertulis, berisikan keterangan memiliki satu anak kandung berusia 13 tahun. Ketiga, memiliki kondisi keuangan dan sosial yang mapan. Keempat, mendapat surat surat keterangan kelakuan baik dari kepolisian. Surat keterangan dokter yang menyatakan Dennis dan istrinya sehat secara jasmani dan rohani. Untuk syarat kelima, akan direalisasikan dengan membawa Aura ke kediamannya hari ini untuk merawat dan memelihara anak yang akan diadopsi tersebut sekurang-kurangnya enam bulan. Keenam sekaligus yang terakhir, Dennis membuat surat pernyataan secara tertulis yang menyatakan bahwa pengangkatan tersebut memang semata-mata untuk kepentingan dan kesejahteraan anak yang bersangkutan. Keluarga kedua mendiang turut membantu mempermudah segala urusan Dennis dalam proses menjadi wali baru untuk Aura. Selama pemenuhan syarat-syarat tersebut, tidak sedikit pun mereka terlihat keberatan. Malah dengan senang hati mempersilakan Dennis membawa pergi Aura, berdalih dengan kalimat; berusaha ikhlas menerima keputusan karena semua itu semata-mata untuk melaksanakan wasiat terakhir Ferdian dan demi kebaikan Aura sendiri. Setelah semua syarat terpenuhi, baru ke tahapan prosedur resmi. Dennis sudah mengajukan surat permohonan ke pengadilan di wilayah tempat tinggal Aura. Sudah juga melewati pengecekan dari Dinas Sosial, mulai dari kondisi ekonomi dan tempat tinggal. Pengecekan keuangan dilakukan untuk mengetahui pekerjaan tetap dan penghasilan memadai. Calon orang tua dan anak angkat diberi waktu untuk saling mengenal dan berinteraksi. Pengadilan mengizinkan Dennis membawa Aura untuk tinggal selama 6-12 bulan bersama di kediaman keluarganya, di bawah pantauan langsung oleh Dinas Sosial. Mobil perlahan melaju meninggalkan rumah tempat di mana Aura dibesarkan. Tatapan anak itu menyorot lewat kaca jendela, seolah enggan pergi namun keadaan yang memaksa. Keluarga dari pihak Ferdian sudah mengambil alih kediaman, mengantar kepergian keponakan mereka dengan lambaian dan senyum terpatri indah di bibir. Tidak memiliki sedikit pun simpati, karena hati nurani berkabut tertutupi keserakahan. Dennis mendapati kemurungan di wajah Aura. Dia menatap sayang pada anak itu, meraih tubuh kecil dan ringkihnya ke dalam pelukan, mengusap punggungnya dengan sayang untuk memberi ketenangan. “Mama dan papa selalu hidup di dalam hatimu. Om tidak pernah bisa menggantikan, hanya saja mengambil alih tanggung jawab yang belum sempat mereka jalankan lebih lama. Sebagaimana mereka menyayangimu, Om, tante dan kakak nanti akan seperti itu. Jadi, jangan khawatir." Dia mengangguk pelan, tangannya yang mungil menggenggam telunjuk Dennis berharap tidak kehilangan lagi. Aura merasa hangat. Seperti papa, Om Dennis memiliki aroma yang sama. Postur mereka hampir serupa, hanya saja papa memiliki kulit lebih gelap karena dia orang Indonesia asli. Sedangkan Om Dennis mungkin bule. Aura pernah melihat di televisi kalau orang-orang di negara lain bisa berkunjung bahkan ada yang tinggal menetap di kota ini. Menit demi menit berlalu, akhirnya mereka tiba di area kediaman Dennis. Satpam yang berjaga, lekas membuka gerbang mempersilakan mobil sang tuan memasuki halaman. Sementara sopir kembali melajukan setelah membunyikan klakson satu kali. Membuat Aura yang tadinya tertidur, bangung sembari mengucek mata dengan punggung tangannya. Tatapan Aura beralih ke jendela samping, sedikit terpana melihat rumah besar dengan halaman yang teramat luas. Tanaman terpangkas begitu rapi, kemudian ada satu sisi tempat yang khusus berisi jejeran bunga mawar merah. Cantik sekali. Aura kagum, bahkan dia berpikir mulai sekarang memutuskan untuk menyukai bunga mawar juga. Setelah mobil berhenti, pintu tepat di samping Dennis kemudian terbuka. Dia ke luar lebih dulu, mengulur tangan untuk mengajak Aura ikut serta. Saat sudah menapaki tanah, Dennis langsung meraih anak itu ke dalam gendongan. Menyerahkan urusan koper dan barang lain pada sopir, lalu melangkah masuk karena istrinya sudah menunggu di ruang tamu. Di perjalanan tadi mereka sempat bertukar pesan. Asmaya mengatakan sedang menemani Ardiaz belajar. Ini akan jadi kejutan tak terduga untuk Diaz karena sudah lama dia menginginkan seorang adik, tetapi tidak bisa terpenuhi karena Asmaya memiliki kandungan yang lemah. Menghindari resiko, mereka dulu sepakat untuk tidak memiliki anak lagi. Rupanya Tuhan merealisasikan hal tersebut, karena terbukti sampai sekarang Asmaya tidak pernah mengandung. Padahal pencegahan mereka terlampau sederhana, kadang Dennis menggunakan kondom saat berhubungan, atau Asmaya meminum pil kalau ingat. Selebihnya selalu di luar karena dia konsisten menepati janji. Seiring tungkai kaki terayun lebar memangkas jarak, Aura mengeratkan tautan tangannya di leher Om Dennis. Tidak ada ekspresi yang berarti di wajah, dia diam dengan bibir mengatup rapat. Anak sekecil Aura tidak mengerti, tetapi alam bawah sadar secara tidak langsung memberitahu kalau Aura tengah cemas. “Dad pulang!” Aura tersentak kaget mendengar Om Dennis berseru. Dia menatap kebingungan, kemudian menoleh ke belakang dan mendapati dua orang berdiri bersamaan. Dua jenis ekspresi berbeda terpatri di wajah masing-masing. Satu wanita yang cantik seperti mama, tersenyum teduh melihat Aura. Sementara anak laki-laki, memandang datar dengan tatapan penuh tanya. “Diaz, kita kedatangan keluarga baru. Namanya Aururana Auristela Van Dwight. Dia anak dad dan mom, sekaligus adikmu. Mulai sekarang sayangi, lindungi dan jadilah kakak yang baik untuknya.” Hening melingkupi selama beberapa saat, tetapi Aura tidak terganggu. Dia hanya menatap anak laki-laki Om Dennis. Namanya Ardiaz, mulai sekarang Aura berjanji akan memanggilnya Kak Diaz. “Sapa dia langsung, Nak,” pinta Dennis setelah menurunkan Aura. “juga peluk mommy-mu. Kami keluargamu mulai hari ini.” Perlahan Aura mendekat. Dia sempat menoleh pada Om Dennis, setelah mendapat anggukan satu kali, dia mantap maju menuju Tante Asmaya. “Ha-halo ...” “Hai, Sayang. Sini peluk Mom.” Aura mengangguk kemudian merelakan dirinya direngkuh. Rasanya hangat sekali. Tanpa sadar Aura makin merapat, karena rasa rindu pada mama mendadak menggelayuti. Namun, cukup terobati oleh kehangatan yang Tante Asmaya salurkan. “Selamat datang anak bungsu kami. Semoga saat ini sampai seterusnya kamu betah tinggal di sini.” Kemudian pelukan terlepas, berganti dengan melabuhkan ciuman di kedua pipi Aura. “Cantiknya Mommy ...” Beralih pada Kak Diaz, Aura memberanikan diri menatap, tetapi karena pandangannya begitu lekat, entah kenapa dia mendadak malu. Tak kuasa membalas lebih lama, Aura menunduk dengan kedua tangan saling bertaut. “Kakak ... namaku Aura ...” Dia mengulurkan tangan, dengan rasa gugup menguasai. “Salam kenal ...” Ardiaz tidak menjawab, tetapi dia nyambut. Dengan ekspresi yang keras, Ardiaz menekan tangannya lebih kuat. Menyalurkan rasa tidak senang atas keberadaan gadis kecil itu. Apa tadi kata daddy-nya? Keluarga baru sekaligus adik bungsu? Tidak masuk akal sama sekali! Mommy tidak pernah hamil dan Ardiaz tidak sudi menerima orang asing! ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN