Waktu itu Diaz berumur sembilan tahun ...
“Diaz, jangan lari-lari!”
Tidak Diaz hiraukan, dia justru makin mempercepat langkah dan dalam hitungan detik sudah berhasil meraih handle pintu. Ngomong-ngomong, Mbak Tari tidak ada di mejanya. Itu berarti Diaz tidak perlu mampir untuk berbasa-basi. Dia malas setiap kali diminta untuk menyapa sekertaris daddy-nya, tetapi selalu dipaksa mommy untuk beramah-tamah. Meski enggan, pada akhirnya Diaz menuruti juga.
Katanya Mbak Tari itu ibu tunggal dari satu anak. Dia memiliki suara yang lembut, mudah tersenyum, dan penuh kesopanan. Namun, entah kenapa Diaz tidak suka. Anak-anak mudah menyadari sesuatu yang palsu, terutama sikap seseorang. Mbak Tari seperti berpura-pura. Diaz selalu memperhatikan gerak-geriknya saat berbicara dengan mommy, lalu menyadari sesuatu yang sulit dia definisikan. Mungkin Diaz terlalu muda untuk mengartikan makna firasatnya.
“Nak, ketuk dulu pintunya. Jangan langsung dibuka.”
Terlambat, Diaz sudah memutar kenop pintu lalu mendorongnya sepelan mungkin sampai tidak menimbulkan suara. Sebelum memutuskan masuk, Diaz menoleh ke belakang. Tersenyum tipis saat melihat mommy kerepotan membawa paper bag berisi bekal makan siang mereka. Titik keringat terlihat di pelipis, Diaz jadi merasa bersalah, tetapi tidak terlalu besar saat dia kembali merasakan lapar yang tak tertahankan.
“Ke depannya nggak boleh kayak gini lagi. Nggak sopan, Az. Gimana kalau ternyata di dalam ada tamu penting?”
“Di jam istirahat, Mom?”
Kuping Diaz mendapat jeweran. Alih-alih meringis, dia justru nyengir lebar. Membuat Asmaya geleng-geleng kepala melihatnya. “Kamu tuh pinter banget kalau jawab pertanyaan Mommy. Belajar dari mana sih, Az?”
“Aku lapar.”
“Tuh, kan!”
Diaz nyengir lagi saat mendapat jeweran kedua. Namun, kali ini Asmaya tidak memperpanjang masalah. Dia memilih merapikan penampilan sebelum bertemu Dennis. Makan siang kali ini akan jadi kejutan mengingat mereka tidak mengirim pesan atau menelpon. Artinya, Dennis tidak tahu kalau mereka datang ke kantor.
“Yuk, Az!”
Sebelum mommy melingkarkan lengannya di lengan Diaz, Diaz maju selangkah memimpin jalan. Dia melebarkan cela pintu supaya mereka bisa masuk, sayangnya di langkah kedua tubuh Diaz mendadak kaku seiring dengan bunyi dentuman benda jatuh tepat di belakang. Seakan lupa berkedip, tatapan Diaz tertuju lurus pada pemandangan di mana dua orang tertangkap basah hampir berciuman. Itu daddy dan ... Mbak Tari.
“Dennis?!”
Teriakan mommy terdengar begitu syok sekaligus gemetar. Tidak lama setelah itu, Diaz merasa bahunya ditarik berikut tubuhnya dibalikkan. Yang Diaz lihat sekarang hanya warna dress mommy sekaligus tercium aromanya yang menenangkan. Namun, gagal memberi ketenangan di situasi sekarang.
“A-apa yang–”
“Asma, Honey, aku bisa jelasin!” Suara bernada panik tersebut diiringi bunyi langkah yang begitu tergesa-gesa. “Ini tidak seperti yang kamu lihat. Aku dan Tari–”
“Lalu apa yang benar? Kalian?” Mendengar tawa sumbang bercampur isakan membuat tangan Diaz mengepal. Dia marah pada daddy, tetapi lebih marah lagi saat mendapati mommy menangis. Dan dia benci dengan fakta kalau daddy-lah yang membuat mommy menangis. “Puas sekarang? Puas udah hancurin kepercayaanku sama Diaz?!”
“Asma ...” Dennis pucat pasi. Dia ingin meraih lengan istrinya. Namun, Asmaya menghindar. “Tolong dengarkan aku.”
“Nggak bisa. Ini sakit banget, Den. Saking sakitnya aku sampai kesulitan bernapas.” Sambil terengah-engah Asmaya mengusap pipinya dengan punggung tangan, lalu tersenyum hampa dan terluka. “Kami pergi. Lanjutkan tindakan menjijikan kalian. Jangan coba-coba u mengejar atau seumur hidup aku akan membencimu!”
Dalam sekejab Diaz diangkat ke dalam gendongan mommy, kemudian mereka menjauh pergi dari ruangan daddy. Sepanjang jalan, sepanjang jarak yang kian membentang, Diaz menatap tajam pria yang paling dia idolakan–atau setidaknya sekarang, pria yang pernah dia idolakan. Diaz akan mengingat apa pun yang dia saksikan hari ini dan bersumpah akan membenci semua hal yang menyakiti mommy-nya. Tanpa terkecuali.
***
Jakarta, 2003
“Az, tolong anterin cokelat hangat buat adekmu.”
Diaz diam, menatap bergantian antara wajah Mommy dan mug yang beliau sodorkan. Tidak berniat menyambut, sama sekali. “Siapa adekku?” tanyanya tanpa ekspresi. Terdengar begituu malas dan marah di saat yang bersamaan. “Sejak kapan aku punya?”
“Hei, jangan ngomong gitu. Kalau Aura dengar, dia pasti sedih.”
“Aku benar, kan? Dia pantas disebut adek kalau berasal dari rahim yang sama. Sementara aku tidak pernah lihat Mom hamil! Pertanyaannya, siapa dia? Dari mana asal-usulnya?!”
“Diaz, dengerin Mom,” pinta Asmaya penuh kelembutan. Dia memegang kedua bahu putranya untuk meminta perhatian, kemudian menatap dengan sorot teduh berharap bisa membuat Ardiaz tenang. “Ikatan terbentuk nggak harus di satu rahim yang sama, Nak. Detik di mana Aura menginjakkan kaki untuk pertama kali di rumah kita, detik itu juga dia sudah jadi bagian dari keluarga kita. Sama sepertimu, Mom dan dad menyayanginya.”
“Tapi dia berbeda denganku! Dia bukan–”
“Mau berjanji satu satu hal sama, Mom?”
“Aku belum selesai bicara!”
“Mau berjanji satu hal?” ulang Asmaya.
Tidak ada jawaban. Diaz bungkam dengan ekspresi kian mengeras. Kedua tangan di sisi tubuh mengepal secara bersamaan karena emosi mulai menggelayuti. Andai dia tidak punya memori kelam tentang pengkhianatan daddy, mungkin sekarang Diaz tidak akan semarah ini perihal keberadaan orang baru di rumah mereka. Orang baru dengan nama belakang yang sama. Orang baru yang otomatis jadi adik Diaz karena perbedaan usia mereka yang lumayan jauh. Orang baru yang kemungkinan anak dari selingkuhan daddy-nya.
Diaz tidak mengerti, kenapa mommy masih bertahan dengan pria seperti ini? Kenapa selalu mudah memaafkan kesalahan fatal pria ini? Kalau alasannya Diaz, demi Tuhan dia tidak merasa berterimakasih sama sekali.
“Mom anggap kamu mau.” Asmaya mengangguk sekali, lalu pegangannya perlahan turun pada kedua tangan Diaz. Menguraikan kepalan, menggantinya dengan genggaman tidak erat. “Apa pun yang terjadi, jangan sampai pembicaraan seperti ini didengar oleh Aura. Tolong ya, Nak? Satu hal lagi, Mom nggak maksa kalian langsung akrab, tetapi pelan-pelan coba terima dia. Aura nggak punya siapa pun selain kita. Jadi, kita harus baik ke dia. Ngerti, Az?”
Apa pelakor itu sudah mati? Tadinya, Diaz ingin menanyakan itu, tetapi dia tidak ingin membuat mommy terperangah kaget mendengarnya. “Apa kedatangannya buat Mom bahagia?”
“Iya.”
“Mom suka anak itu?”
“Banget, Az. Dari dulu Mom pengin punya anak perempuan, tetapi Tuhan berkata lain dan mengirim Aura sebagai ganti.”
“Terlepas dari mana pun asalnya, Mom senang dengan keberadaan anak itu di keluarga kita?”
“Senang. Rasanya jadi rame. Kamu ngerasa juga nggak, Nak? Sekarang Mom nggak jadi satu-satunya perempuan di rumah ini. Mom juga punya temen curhat, terus temen masak bareng, nanam bunga bareng. Seru banget pasti. Kalau ngajak kamu beda cerita. Sering ditolak ketimbang setujunya.”
Diaz membenarkan dalam hati. Betapa pun dia ingin jadi teman rumah yang menyenangkan untuk mommy-nya, dia tetap tidak bisa. Seiring bertambahnya usia, Diaz jadi sosok remaja yang banyak mengikuti kegiatan di luar jam sekolah. Seperti futsal, bela diri, dan pramuka. Hampir sebagian besar waktu dihabiskan di luar, sedangkan mommy-nya sendirian di rumah kalau sedang tidak ada acara di luar. Itu pasti membosankan. Menghabiskan waktu seharian dengan hanya menonton atau membaca buku, adalah rutinitas yang benar-benar membosankan.
“Mom nggak maksa. Karena ini pertemuan pertama, wajar merasa aneh dan nggak nyaman. Hanya saja kalian akan tinggal dan tumbuh bersama dalam jangka waktu yang lama, Mom berharap banget kamu bisa membuka diri pada Aura. Dimulai dari berteman dulu, setelah terbiasa, baru anggap dia adik sebagaimana mestinya.”
Ada hening yang panjang sebelum Diaz menjawab. Tarikan napasnya terdengar berat. Diaz mengerti betul kalau memberi jawaban pada mommy membutuhkan waktu yang cukup untuk berpikir dan mempertimbangkan. Karena ini tidak mudah, terlebih sebanyak apa pun penjelasan yang diberikan, pandangan Diaz tidak berubah. Aura bukan siapa-siapa dan Diaz tidak menyukainya. Sampai kapan pun.
Namun, apa dia tega menghancurkan harapan mommy-nya? Karena beliau bilang sangat senang sejak anak itu datang, Diaz jadi tidak sampai hati memberi jawaban yang mengecewakan.
Tapi demi mommy-nya, Diaz memilih menekan ego dengan memberi keputusan yang dia yakini tidak akan dia tepati ke depannya nanti. “Karena Mom menyukainya, karena Mom terlalu antusias dengan keberadaannya, maka aku akan berusaha. Namun ingat satu hal, jangan paksa aku. Karena aku yang menentukan seperti apa aku bersikap pada anak itu.”
Saking terlalu bersemangatnya, Asmaya langsung memeluk Diaz erat-erat. Sampai tubuh anaknya terguncang. “Terima kasih, Az. Terima kasih.”
Reaksi mommy terlalu berlebihan. Diaz jadi makin tidak menyukai anak itu.
***
Aura tersenyum senang, berlari menuruni tangga demi tangga sembari memegang ponsel. Dia memanggil Asmaya dengan suara kelewat antusias, “Mom! Mom di mana?!” Dua anak tangga terakhir, Aura lompati dengan mantap. Dia mendarat dengan pijakan kokoh, suara sendal rumahan berbentuk kepala micky mouse menggema di ruangan yang luas. “Aku mau kasih lihat sesuatu! Penting banget!”
Tidak ada sahutan, jelas saja. Di mansion yang besar, ada beberapa ruangan yang kedap suara, sementara Asmaya kemungkinan besar berada di dapur. Jarak antara dapur dan ruang tengah bisa dikatakan lumayan jauh. Untuk sampai di sana butuh sepuluh menit lebih kalau berjalan santai dan butuh lima sampai enam menit kalau berlari. Dalam situasi sekarang, Aura menghemat tiga sampai empat menit untuk bisa segera bertatapan dengan Asmaya.
Kakinya begitu cekatan mengayun. Rambut Aura bergoyang dari sisi kanan ke sisi kiri, dengan jejak keringat mulai terlihat di pelipis. Napas Aura terengah-engah, tetapi dia tidak begitu perduli. Apa yang Aura sampaikan, sanggup membuat moodnya baik selama tiga hari ke depan–kalau tidak ada gangguan. Pasalnya ini sesuatu yang Aura tunggu-tunggu, dia telah memohon empat kali dalam satu minggu pada Dennis dan Asmaya untuk menyetujui sesuatu ini.
“Kali ini Mom harus tepatin janji. Harus, harus, harus!”
Di dua langkah mendekati tikungan, Aura mendadak terhuyung lalu jatuh terduduk dengan kedua lutut setengah ditekuk. Mulutnya ternganga setelah melepaskan pekikan refleks, cukup keras hingga sanggup menimbulkan kerutan kening bagi siapa pun yang mendengar. Dalam sepersekian detik, Aura berkedip sekali untuk menyadari situasi. Dia meringis pelan usai menyadari apa penyebab dia duduk konyol di lantai.
Ardiaz berdiri menjulang di depan Aura. Begitu kokoh, tinggi, dan sama sekali tidak bergeming dari tempatnya berpijak. Tatapan setajam elang menghunus Aura begitu kejam. Tanpa bicara, diamnya lebih dari sanggup membuat Aura menggigil di tempat. Kakak angkatnya yang tampan, tetapi tidak begitu angkuh dan tidak tersentuh. Belasan tahun tinggal bersama, Aura merasa keberadaannya masih belum bisa diterima oleh pria itu.
Perlahan Aura bangkit. Dia mendesis lirih meratapi bokongnya yang sakit, tetapi tidak punya banyak kesempatan untuk meratap. Kemalangan menghampiri, harusnya Aura tidak seceroboh ini. Harusnya dia tahu kalau hari ini Diaz datang. Harusnya dia bisa menjaga sikap. Dan harusnya, harusnya, harusnya lainnya ...
“Kakak,” cicit Aura, “Sejak kapan–”
Kalimatnya tidak selesai, lebih lagi ... tidak ada sahutan yang berarti. Bulu di tengkuk Aura meremang. Aura tahu dia tidak aman. Diaz tidak membiarkan Aura lepas begitu saja. Kakak angkatnya tidak semurah dan sepemaaf itu. Minimal dia mencerca dengan kata-kata sarkas, kalau sedang tidak ingin meluapkan amarah panjang. Yang patut disyukuri adalah, dari dulu sampai sekarang Ardiaz tidak pernah melakukan kekerasan fisik, walaupun kesinisan verbal sudah tidak terhitung lagi.
“Tadi, a-aku nyari mom. Ada ya–”
“Mana permintaan maafmu?” tembak Diaz dengan intonasi dingin menusuk. Netra keduanya bertemu, tetapi dengan konteks berbeda. Diaz menghakimi, Aura menciut ketakukan. Dia tertekan dengan segala situas yang Diaz ciptakan. Lagi pula ini tidak sederhana. Kembronoan Aura melahirkan keecerobohan. Diaz tidak senang disentuh tanpa izin, apa lagi sampai ditabrak. “Kau kira rumah ini taman bermain dan usiamu masih lima tahun? Lucu sekali.”
“Aku nggak–”
“Minggir!”
“Maaf,” lirihnya lunglai. Aura berjuang keras mengucapkan kata itu, karena entah kenapa untuk sesaat dia sempat blank. Diaz menghakimi, memerintah, sampai Aura tidak bisa berpikir. Syukurnya sekarang kesadarannya telah kembali. “Ma-maafin aku. Ke depannya a-aku pasti hati-hati. Janji nggak akan kayak gini lag–”
“Jangan menghalangi jalan! Kau membuat tenagaku makin terkuras.”
Kelopak mata Aura sedikit melebar, tetapi sedetik kemudian dia menyingkir dari hadapan Diaz. Saat pria itu berlalu, Aura menunduk bahkan menahan napas saking gugupnya. Wangi parfum Diaz memenuhi indera penciuman Aura. Sangat maskulin, juga sedikit memabukkan. Diam-diam kedua tangan Aura saling bertaut, menopang satu sama lain karena untuk sesaat dia gemetar.
Entah itu karena takut, atau karena rasa gugup, Aura tidak tahu mana yang benarnya. Intinya sekarang perasaannya mendadak campur aduk. Mungkin seminggu tidak bertemu dikarenakan perjalanan dinas Diaz, membuat Aura sedikit rindu pada kakak angkatnya. Sedikit. Ya, hanya sedikit. Tidak lebih.
***