“Mom, lucu nggak?” tanya Aura tiba-tiba. Posisinya tepat di belakang Asmaya, memeluk kemudian memperlihatkan layar ponsel yang menampilkan foto costum case dino couple. “Aku mau beli, satunya buat Mom. Mom dino besar, aku yang kecil.”
“Lucu banget, Sayang! Ngomong-ngomong, kenapa dikasih ke Mom? Nggak ke temen or someone special?”
“Temenku ‘kan Mbak Sisil, terus yang spesial itu ada tiga. Dad, Mom, sama kakak.”
“Waduh, apa nggak ada yang lain? Di kampus Aura gimana? Masa dua tahun kuliah nggak deket sama satu pun?” Asmaya menoleh dengan ekspresi penuh tanya. Aura memang jarang membahas seperti apa kegiatannya di luar, dengan siapa saja dia berinteraksi, dan berapa banyak teman dekat yang dia miliki. Karena setiap kali Asmaya atau Dennis bertanya, Aura selalu menjawab; “Semuanya baik, lancar, nyenengin!”
“Ya ... ada sih, beberapa.”
Melihat Aura menjawab ragu-ragu, Asmaya langsung mengubah posisi duduknya. Ponsel yang Aura pegang langsung Asmaya letakkan di atas meja. Kini Asmaya menggenggam kedua tangan Aura sebagai gantinya, lalu menatap serius tepat di mata anaknya. “Jujur sama Mom, apa Aura dikucilkan di kelas?”
“Hah? Enggak sama sekali! Memangnya kami anak-anak,” gerutunya.
“Dengar, Nak, pertemanan di masa dewasa lebih sulit dari pada masa kanak-kanak. Mencari teman di usia dewasa merupakan usaha yang penuh perjuangan, sementara di masa kecil lebih mudah mendapatkan teman. Kamu tau alasannya kenapa? Karena saat dewasa, kita sulit merasa nyaman dan beraptasi dengan orang baru. Pada akhirnya hanya bersahabat dengan teman lama atau lebih nyaman nggak bergaul dengan siapa pun.”
“Aku udah merasa cukup dengan punya kalian, tapi bukan berarti aku dikucilkan. Temen sekelasku baik semua, jadi nggak ada masalah sama mereka. Letak masalahnya ada di aku. Aku yang canggung saat didekati, khawatir salah jawab atau nggak nyambung saat diajak bicara. Karena alasan-alasan itu, aku memilih untuk nggak membaur. Namun, sekali lagi bukan berarti aku dikucilkan. Mereka mengerti dan nggak mempermasalahkan hal ini. Aku terbantu oleh rasa pengertian mereka, serta berterimakasih karena mau memaklumi ketidakmampuanku.”
“Tapi ini akan sulit untuk Aura. Seandainya Mom, Mbak Sisil, dad, kakak nggak ada, bagaimana Aura mengatasi itu? Seintrovert apa pun seseorang, ada kalanya dia membutuhkan orang lain untuk mendengarkan keluh-kesahnya. Kita hidup saling bergantung satu sama lain dan nggak bisa melakukan semuanya sendirian.”
“Aku nggak introvert, Mom. Aku cerewet banget dan bisa mengatasinya. Nggak berteman dengan banyak orang bukan berarti aku menutup diri. Nggak nyaman bukan berarti membuatku takut untuk memulai interaksi. Percayalah, aku lebih dari sekadar berani bicara dengan orang asing. Semuanya nggak semengkhawatirkan yang Mom pikirkan.”
Asmaya menarik napas, diam sejenak seraya membelai rambut Aura. Tidak mengherankan kenapa bisa putri bungsunya tumbuh jadi perempuan yang sulit memulai hubungan dengan orang lain. Dia banyak melewati masa yang sulit. Atas dasar rasa takut dan kenangan-kenangan pahit itu, dia jadi berpikir tidak memiliki teman pasti jauh lebih baik.
Seharusnya Asmaya membiarkan Aura didampingi psikolog sampai dia remaja, tetapi saat itu Asmaya pikir perkembangan Aura dari hari ke hari makin bagus, jadi dia menyudahi sesi konsultasi jangka panjang anaknya atas dasar persetujuan semua pihak. Namun, nyatanya cara itu salah. Telat menyadari, sekarang Asmaya menyesal.
“Sepertinya susah membuat Aura mengerti keresahan Mom, dan susah buat Mom menerima jawaban Aura. Kita punya pandangan beda, yang mana dua-duanya kita pikir yang terbaik untukmu.” Melihat Aura mengangguk kuat, Asmaya kembali melanjutkan, “Begini saja, gimana kalau kita temuin solusi di tempat yang tepat? Mom yakin itu bisa jadi jalan tengah untuk kita.”
“Memang ada? Semacam pegadaian, ya? Mengatasi masalah tanpa masalah.”
Seketika suasana mencair. Asmaya tertawa kecil, sedang Aura nyengir memperlihatkan deretan giginya. Berawal dari case couple, berakhir dengan pembahasan berat. Kalau tidak menanyakan teman dan seseorang yang spesial, sampai sekarang pun Asmaya mungkin tidak akan tahu seperti apa anaknya ketika di kampus.
Mbak Sisil sendiri tidak pernah melaporkan hal-hal di luar konteks, karena hubungan Aura dengan orang lain termasuk privasi dan itu di luar tugasnya. Asmaya dan Dennis sangat menghormati privasi anak-anaknya. Mereka tidak akan bertanya kecuali kalau anak tersebut membicarakannya.
“Masih ingat nggak kapan terakhir Aura konsul ke psikolog? Apa rasanya setelah mengungkapkan hal-hal yang nggak bisa Aura bagi ke Mom, dad, dan kakak?”
“Pas udah mau masuk SMP kayaknya. Saat itu aku merasa punya teman bicara yang menyenangkan. Setiap pertemuan, Dokter Juniar selalu menanyakan tentang keseharianku. Setelah itu dia bertanya terkait masalah yang kuhadapi.” Aura bicara sambil melamun, karena untuk sejenak dia berusaha menggali ingatan tentang dokter cantik kesukaannya. “Dokter Juniar apa kabar, ya, Mom? Udah lama nggak ketemu.”
“Mau ketemu nanti? Sekalian minta rekomendasi psikolog umum buat Aura. Tentunya kalau Aura setuju untuk konsultasi lagi. Tolong jangan salah mengartikan, Mom nggak maksa Aura buat setuju. Semuanya tergantung jawabanmu.”
“Kalau setelah tesis selesai, gimana, Mom? Mungkin terdengar beralasan, tapi aku beneran kesulitan bagi waktu antara riset, kerjain, bimbingan, revisi, dan konsultasi. Pasti ada yang terbengkalai kalau dua-duanya barengan.”
“Tentu saja boleh. Kapan pun Aura siap, Mom juga siap. Karena yang punya waktu itu Aura, tugas Mom hanya menemani, mensupport, dan mendoakan.”
“Kalau begitu udah deal, ya. Dalam waktu satu atau satu setengah bulan lagi.”
“Deal,” angguk Asmaya. Keduanya sontak berpelukan, tersenyum satu sama lain dengan pipi saling melekat. Sebelum menarik diri, Aura mengecup pipi mommy-nya sampai menimbulkan suara, setelah itu dia nyengir karena Asmaya pura-pura kesal saat menyadari jejak saliva Aura tertinggal di sana.
“Jadi, soal case hapenya ...”
“Mom dino yang besar, kan?”
“Iya. Kalau gitu langsung aku pesan. Makasih banyak, Mommy Dino.”
“Sama-sama, Anak Dino.”
Aura langsung tergelak mendengarnya.
***
Rabu tiba dan jadwal Aura kosong seharian ini. Untuk mengisi waktu Aura memulai paginya dengan jogging di taman komplek pada pukul tujuh. Bersama Mbak Sisil tentunya. Dia mengenakan crop top lengan panjang dan celana yoga warna hitam. Terlalu ketat membalut tubuh, membuat Mbak Sisil geleng-geleng kepala melihatnya.
“Apa nggak pengin ganti? Mbak agak khawatir lihatnya. Depan-belakang kayak sesek banget. Itu udel juga dipamerin. Awas masuk angin.”
“Enggak, ini enak kok dipake. Aku suka.”
“Mbak nggak mau bantu kalau adek kena masalah.”
Aura mengerucutkan bibir, tetapi masih ngeyel, “Aku yang bantu diri sendiri. Yuk, mulai! Entar makin banyak orang di sana dan bubur ayam kedai Pak Habibi habis. Tujuan jogging ‘kan selain nyari keringat ya nyari makanan.”
“Nggak heran. Olahraga cuma alasan ya, Dek. Awas gendut.”
“Jangan doain macem-macem, Mbak!”
Mendapat pelototan dari Aura membuat Mbak Sisil melipat bibir lalu bertindak seolah-olah menarik resleting. Setelah mereka melewati dua rumah tetangga, Aura kembali meminta, “Buka aja, Mbak! Udah boleh bicara.” Yang mana masih dikatakan dengan nada ketus. Namun, aktingnya tidak berlangsung lama karena segera saja Aura tertawa-tawa.
Keduanya berlari kecil sambil mengobrol. Membahas hal-hal random, mulai dari tanaman bunga mawar Asmaya sampai pada anjing pudel berbulu putih milik Nyonya Samantha–tetangga yang rumahnya tepat di seberang rumah Aura. Aura mengatakan pada Mbak Sisil, setiap melihat anjing itu dia selalu berpikiran untuk menculiknya. Sayang niat jahat Aura tidak akan terlaksana sebab Asmaya alergi hewan berbulu. Jadi secinta apa pun Aura pada anjing, Aura tidak akan mau memeliharanya.
Tiga puluh menit kemudian, Aura dan Mbak Sisil telah kembali dari taman komplek. Dia menjinjing kresek berisi empat styrofoam bubur ayam di tangan kanan, tetapi kresek tersebut segera berpindah ke tangan Mbak Sisil saat Aura menyadari ada makhluk menggemaskan sedang berupaya melarikan diri. Suatu kebetulan sekaligus keberuntungan. Aura langsung berbinar-binar melihatnya.
“Bayi nakal!” teriak Aura tiba-tiba, membuat Mbak Sisil kaget sekaligus bertanya-tanya lewat tatapannya. “Nyonya Samantha lengah, dia pasti nggak sadar kalau kamu menyelinap ke luar. Tapi sayang sekali kita harus bertemu di sini. Rencana kaburmu jadi gagal.”
Seolah mengerti apa yang Aura katakan, Jolly–nama anjingnya–segera memutar arah untuk lepas dari cegatan Aura. Malangnya kaki-kaki mungil tersebut tidak terlalu lincah menapaki aspal. Aura berhasil menangkapnya, kemudian dengan gemas menggendong serta menciuminya.
“Mau Tante culik, hah? Kata Nyonya Samantha ini bukan kali pertama kamu berencana kabur, tapi ini mungkin kali pertama keberhasilanmu keluar dari rumah besar itu. Dasar, Jolly! Kalau ketemu orang jahat gimana? Memangnya mau dijual, atau dilecehin? Di luar bahaya. Banyak anjing jalanan yang otaknya kotor!”
Nyaris saja Mbak Sisil menepuk kening saat melihat kelakuan Aura. Seolah-olah percakapan itu dilakukan oleh sesama manusia, tapi mau gimana lagi? Aura sesuka itu dengan anjing. Di benar-benar hilang akal kalau berhadapan dengan anjing. Makin kekanakan kalau berinteraksi dengan anjing.
“Mbak antar bubur dulu. Jangan ke mana-mana, kalau bisa segera kembaliin Jolly ke Nyonya Samantha. Sarapan sebentar lagi dimulai, jangan sampai telat apa lagi melewatkan. Kakak nggak akan suka.”
“Oke!” Sesingkat itu responnya. Berhadapan dengan anjing membuat Aura lupa sekitar, bahkan lupa pada manusia.
Setelah Mbak Sisil pergi, Aura membawa Jolly ke halaman samping Nyonya Samantha. Dia duduk di atas rumput yang lembab, kemudian bermain-main dengan Jolly. Rupanya Jolly sudah lupa pada acara kaburnya, sekarang justru aktif memanjat-manjat di pangkuan Aura. Saat diangkat, Jolly berusaha untuk menjilat bibir Aura. Namun, Aura segera menjauhkannya.
“Nggak boleh! Jangan ambil ciuman pertamaku, lagi pula kamu masih anak-anak.”
Yang tidak Aura sadari, sejak dua menit yang lalu Diaz berdiri di depan gerbang rumah mereka. Menyaksikan semua kekonyolan Aura tanpa berkedip sedikit pun. Seolah kalau berkedip sedetik, Aura akan menghilang ditelan tanah.
“Udah ya, Jolly, aku laper.” Kemudian Aura berdiri, berjalan sambil menimang-nimang Jolly. Saat akan berbelok ke rumah Nyonya Samantha, suara batuk seseorang mengambil alih perhatiannya. Aura segera menoleh ke seberang, lalu melebarkan mata saat mendapati Diaz berdiri bak patung. “Kok?” tunjuknya penuh keheranan.
Segera Aura berlari menghampiri, penasaran sekaligus senang. “Kakak ngapain?”
Sebelum menjawab, tatapan Diaz seperti biasa menjelajah semaunya. Kemudian terhenti pada pagian perut Aura, memelototinya lama-lama seolah marah, sewot, marah, sewot, dan seperti itu seterusnya.
“Udah mau sarapan, ya?”
“Pakaianmu ... berengsek!”
Aura terperanjat mendengarnya. Tanpa sadar Aura memeluk Jolly terlalu erat, membuat anjing tersebut meringik protes, tapi Aura tidak sadar. “Ini ... aku habis–”
“Masuk rumah sekarang atau semua pakaianmu kubakar?!”
“Jo-jolly–”
“Masuk!”
Seperti dikejar waktu, Aura memaksa kakinya melangkah secepat yang dia bisa. Tenggorokan Aura tercekat, dia merasa sesak saat Diaz menyebutnya ... berengsek. Padahal Aura tidak tahu di mana letak kesalahannya.
***