Jakarta, 2010
Jam pelajaran pertama dimulai. Saat membuka tas, Diaz mengerutkan kening melihat lunch bag di atas tumpukan bukunya. Dari motif, warna dan bordiran nama, Diaz tahu siapa pemiliknya tanpa menghabiskan banyak waktu untuk berpikir. Yang jadi pertanyaan, kenapa benda ini sampai nyasar di sini? Mustaihil mommy salah memasukkan mengingat tas Diaz dan anak itu jauh berbeda. Lagi pula sejak kelas satu SMP sampai berada di kelas dua SMA, Diaz tidak pernah lagi membawa bekal ke sekolah.
Suasana hati Diaz mendadak buruk. Dengan tampang kesal dia mengeluarkan lunch bag kemudian meletakkannya di atas meja. Tadinya Diaz ingin menaruh di loker yang terletak di paling belakang barisan tempat duduk mereka, tetapi niat itu tertunda kala Diaz menyadari ada catatan kecil menempel di bagian depan lunch bag.
Diaz menarik catatan tersebut, membacanya dengan kening ditekuk.
Az, bekal punya Aura ketinggalan. Tolong anterin ke sekolahnya pas istirahat.
Makasih, Sayang.
Mommy.
Permintaan yang menyebalkan! Harusnya mommy atau sopir yang mengantar, bukan menitipnya pada Diaz. Meski dari sekolahnya ke sekolah anak itu hanya memakan waktu tujuh menit, tetap saja Diaz keberatan. Dia tidak ingin menginjakkan kaki di sana. Dia tidak ingin anak-anak sana tahu apa hubungan mereka, karena sampai detik ini Diaz tidak mau mengakui anak itu sebagai adiknya.
“Aura? Siapa, tuh? Cewek lo, ya?” tanya Azil tiba-tiba, membuat Diaz menoleh, memberi tatapan memperingati pada teman sebangkunya. “Wesss ... santai, Az. Gue cuma asal ngomong,” cengirnya.
“Mending lo tutup mulut sebelum gue tonjok.”
“Sensi amat. Kayak cewek yang lagi datang bulan.”
Diaz melempar tipe-x tepat mengenai kepala Azil, bunyinya terdengar jelas dan tentu saja Azil memekik kesakitan. Kegaduhan yang mereka buat mengundang perhatian guru dan beberapa teman, tetapi keduanya belum sadar. Perdebatan malah berlanjut, kali ini Azil kesal karena Diaz sudah kelewatan. Azil menendang kursi Diaz sampai tergeser sedikit ke samping.
“Anjing lo, Az!”
“Azil Alghifari, mulutnya tolong dikondisikan,” tegur Bu Inayah sembari memperbaiki letak kacamatanya. “Apa yang kalian perdebatkan? Kalau masih belum selesai, coba maju ke depan biar Ibu dan teman-teman kalian menyaksikan bersama. Atau bisa kita jadikan topik diskusi hari ini kalau alasan perdebatannya menarik.”
Sontak mereka diam meski masih memendam kekesalan. Napas Diaz dan Azil sama-sama memburu. Mereka melempar tatapan menuduh dan saling menyalahkan satu sama lain. Padahal sudah jelas dua-duanya salah, tetapi masih tidak ada yang mau mengaku. Di bawah meja Diaz menendang kaki Azil, Azil balik menendang kaki Diaz. Membuat Bu Inayah geleng-geleng kepala melihat kelakuan mereka.
“Kalau tidak mau berhenti, dua-duanya Ibu keluarkan dan tidak bisa mengikuti kelas sampai ulangan semester ganjil. Mau?”
Sontak Diaz berdiri, membawa serta lunch bag dan tasnya. “Maaf sudah membuat suasana belajar-mengajar jadi terganggu. Untuk sementara saya pindah tempat duduk ke sebelah Bian. Saya janji ke depannya hal seperti ini tidak akan terjadi lagi. Sekali lagi saya minta maaf, Bu.” Mengangguk sekali, Diaz kemudian menoleh pada Azil. Menonjok ringan bahunya. “Maaf, Zil. Soalnya lo bikin gue jengkel.”
“Gue juga minta maaf, meski gue nggak salah-salah amat.”
Diaz mendengkus pelan, setelahnya menyambut ajakan tos dari Azil. Mereka resmi damai dan seisi kelas jadi ramai oleh suara tepuk tangan. Kalau saja Bu Inayah tidak menginterupsi, mungkin tepukan masih terdengar sampai beberapa detik ke depan.
“Masalahnya sudah beres, kan?”
“Sudah, Bu!” jawab mereka serentak.
“Kalau begitu kita lanjut belajar. Buka halaman 84, dengarkan dengan baik penjelasan dari Ibu. Nanti kalau ada yang tidak dimengerti jangan sungkan untuk bertanya. Buat Diaz dan Azril, jangan diulangi lagi kejadian hari ini. Beruntung Ibu tidak mengusir kalian, sekalipun kalian murid terpandai di kelas.”
“Terima kasih, Bu,” ucap keduanya.
“Ya, sama-sama. Istirahat nanti harus sudah akur dan Diaz kembali ke tempat duduk asalnya.”
“Baik, Bu.”
Suasana kelas kembali tertib seperti biasa dan Bu Inayah memulai pembelajarannya. Sementara itu Diaz tidak sepenuhnya konsentrasi karena tatapannya kini tertuju pada lunch bag milik anak itu. Sungguh sangat merepotkan dan sialnya Diaz merasa bertanggungjawab mengingat ini permintaan dari mommy-nya.
***
Diaz memasuki lingkungan Sekolah Dasar Mandala, kemudian bertanya pada guru piket di mana letak kelas 4B seusai menjelaskan siapa dia dan apa tujuannya datang ke sini. Setelah mendapat informasi, Diaz segera melintasi lapangan dikarenakan kelas 4B berada tepat di seberangnya.
Dari kejauhan anak-anak terlihat lalu-lalang di koridor mengingat ini jam istirahat, tetapi Diaz tidak menemukan wajah yang dicarinya di antara kerumunan itu.
Diaz menadapat banyak tatapan rasa ingin tahu saat tiba di depan kelas 4B. Mereka mengerumuni, bahkan kentara terlihat penasaran dengan keberadaan anak SMA di sekolah mereka. Diaz segera memenuhi rasa penasaran mereka dengan bertanya, “Apa di kelas ini ada yang bernama Aururana Auristela?”
“Aura, ya?” tanya anak satu.
“Bukannya nama Aura panjang banget?” gumam anak kedua.
“Tapi yang dibilang kakak itu sama persis nama Aura,” kata anak ketiga.
Anak keempat menimpali, “Jangan jawab! Bisa jadi dia orang jahat!”
“Mana ada orang jahat pakai baju SMA. Orang jahat ‘kan nggak sekolah,” sergah anak kedua.
“Kita lapor bu guru aja!” Anak keempat ngotot.
Anak satu garuk-garuk kepala. “Cara bilang ke bu gurunya gimana?”
Diaz mendengkus mendengar perdebatan mereka. Sebelum emosinya tersulut, Diaz kembali bicara, “Gue kakaknya. Nama Aura emang panjang, gue cuma malas nyebut semuanya. Jadi, ini benar ‘kan kelas Aura?”
“Oooohhhh ...” Mereka manggut-manggut.
“Tadi Aura keluar bareng anak kelas enam, Kak. Katanya mereka mau ngobrol empat mata di dekat kolam belakang sekolah.”
“Geng Monica, ya? Ih, mereka jahat tau!”
“Aku nggak berani deh sama mereka.”
“Oke, makasih informasinya. Sekarang tunjukin ke gue di mana letak kolam belakang sekolah,” pinta Diaz dengan kekesalan yang ditahan. Anak-anak ini malah sibuk mengobrol lagi. Kalau saja Diaz orang yang tidak sabar, mungkin sejak tadi kepala mereka disentil satu per satu.
“Ikut aku, Kak.”
Kemudian anak nomor tiga memimpin jalan, sedang Diaz membuntut di belakang. Dalam hati dia mengumpat karena mau-maunya bertindak sampai sejauh ini. Padahal lunch bag bisa saja dititip pada teman sekelas atau bahkan guru piket. Diaz bodohh karena mau merepotkan diri sendiri.
“Aku anternya di sini aja. Kakak tinggal jalan lurus, terus belok kanan dan sampai,” beritahunya saat tiba-tiba berbalik. Nyaris saja Diaz menabrak tubuhnya kalau tidak segera menahan pijakan. “Bilang Aura, jangan mau lagi diajak anak kelas enam.”
Setelah itu, dia melambai pergi sambil lari-lari kecil. Diaz hanya melihat sekilas sebelum kemudian melanjutkan perjalanan mengikuti instruksi yang anak itu berikan. Tiga menit kemudian Diaz sudah tiba di tempat yang dimaksud, keningnya otomatis mengernyit mendapati tidak ada satu pun anak yang bermain di area sini. Diaz kira kolam belakang termasuk salah satu tempat bermain, nyatanya tidak sama sekali.
Hampir saja dia berbalik pergi karena berpikir sudah dibohongi anak tadi, tetapi langkah Diaz mendadak terhenti saat mendengar suara gelak tawa dibarengi dengan bunyi air yang seperti dipukul-pukul. Ini aneh sekali. Tidak mungkin ada beberapa anak bermain air, mengingat kedalamannya tidak sebanding dengan tubuh rata-rata mereka.
Untuk memenuhi rasa penasaran, Diaz lanjut berjalan ke area kolam ujung yang cukup tersembunyi. Saat melewati pohon mangga yang cukup besar, tatapan Diaz tertuju pada empat anak yang berdiri di sisi kolam seolah menertawakan sesuatu yang lucu.
“Lihat mukanya mirip ikan lohan!”
“Iya, jelekk banget!”
“Iiiih mulutnya mangap-mangap, pasti makan lumut.”
Diaz beralih menatap objek yang mereka maksud. Satu detik tanpa berkedip, Diaz terpaku tidak bisa mencerna situasi macam apa yang terjadi di depannya sekarang. Namun, ringikkan yang terdengar payah seolah memukul dadaa dan belakang kepalanya. Membuat Diaz sadar kalau ini bukan sebatas ejekkan biasa. Ini ... sudah kelewatan.
“Berengsek!” teriaknya seperti orang kesetanan. Diaz melempar lunch bag, lalu tanpa pikir panjang menceburkan diri ke dalam kolam. Seakan lupa cara berenang, Diaz berjalan di sepanjang air yang tingginya mencapai d**a. Napas Diaz seolah berada di ujung tenggorokan. Dia mengutuk langkah yang terasa lambat, sementara di ujung sana adiknya ... berjuang untuk mendapat pegangan. “Berengsek! Berengsek! Kubunuh kalian!”
Napas Diaz terdengar gemetar saat dia berhasil memegang tangan Aura. Sekuat tenaga dia meraih kepala adiknya, menepuk pelan berusaha menyadarkan, namun kelopak matanya telah tertutup. Bibirnya hampir sepucat kertas dan kulitnya terasa dingin.
“A-Aura ...” Untuk pertama kalinya Diaz menyebut nama adiknya, dan nadanya penuh keputusasaan.
Saat membawa ke tepian, Diaz langsung melakukan semua pertolongan yang dia tahu. Bahkan tanpa berpikir dua kali untuk memberi napas buatan. Semuanya terasa kosong. Yang ada di pikiran Diaz sekarang hanya Aura dan bagaimana cara menyelamatkannya.
Saat Aura terbatuk-batuk mengeluarkan semua air yang dia hirup, detik itu juga Diaz mendekap seerat yang dia bisa. “Syukurlah ... syukurlah ...” Suaranya serak, Diaz baru sadar kalau matanya berair. “Terima kasih ... Terima kasih ...”
Dengan susah payah Diaz mengangkat Aura ke dalam gendongan, kemudian bangkit untuk membawanya pergi dari tempat ini. Meskipun Aura masih terpejam, setidaknya Diaz tahu kalau dia bernapas sekarang.
Empat anak tadi sudah pergi, mereka ketakutan melihat Diaz seperti dirasuki setann saat menceburkan diri. Namun, sejauh apa pun mereka sembunyi, semuda apa pun usia mereka, Diaz tidak akan pernah mengampuni. Detik ini juga Diaz bersumpah akan membuat mereka ke luar dari sekolah dan tidak ada satu pun sekolah lain yang mau menerima mereka.
***
Aura terbangun dari tidurnya kemudian mematikan alarm yang sengaja diatur pada pukul 23.45. Setelah itu Aura bergegas mengenakan sendal kemudian keluar kamar menuju kamar Dennis dan Asmaya, mengetuk bertubi-tubi berharap mereka segera membuka. Ini detik-detik yang menegangkan, perut Aura mulas setiap memikirkannya.
Setelah pintu terbuka, Aura langsung menarik tangan Asmaya. Terlihat jelas kalau mommy-nya sedang mengantuk, tetapi Aura tidak perduli itu. “Cepetan jalannya. Nanti keburu lewat waktu.”
“Enggak. Lagi pula dia pasti nggak akan suka.”
“Jangan buat aku pesimis, Mom,” omelnya kesal.
“Faktanya tahun-tahun belakangan juga gitu.”
“Tauk, ah!” Aura ngambek, tetapi masih menyeret Asmaya ke arah dapur. Mereka menuju lemari tempat menyimpan kue yang tadi siang mereka buat. Aura kena bagian menghias, meskipun hasilnya tidak memuaskan. Dia senang turut andil dan lebih senang lagi seandainya nanti kue ini dicicipi.
Saat persiapan sudah selesai, Aura membawa kue dengan kedua tangannya. Sementara Asmaya memegang pemantik, pisau pemotong kue, serta garpu kecil. Mereka kembali menuju lorong kamar, kali ini melewati kamar Asmaya, kemudian berhenti di kamar selanjutnya.
“Nyalain lilinnya, baru ketuk pintu.”
“Mom tau. Aura tiap ulang tahun kakak jadi cerewet, ya?”
Dia nyengir mendengar itu. Selagi Asmaya menyalakan satu-satunya lilin yang berada di tengah kue, diam-diam Aura menarik napas kemudian mengembuskannya perlahan. Mendadak dia gugup, tetapi sebagian lagi antusias. Hanya Aura yang selalu perduli hal ini, sementara Asmaya dan yang lain tidak sama sekali.
Setelah siap, Asmaya mengetuk pintu beberapa kali. Tidak perlu heboh karena pemiliknya selalu peka dengan suara-suara. Berbeda dengan Aura yang tidur seperti orang mati. Sebesar apa pun gangguan, dia tidak akan bangun kecuali kalau dari awal memang tidak tidur.
Terlihat kalau handle mulai ditekan kemudian ditarik ke dalam. Setelah itu pemiliknya muncul di cela yang terbuka, lalu Aura segera menyanyi untuknya, “Happy birthday to you ... happy birthday to you ...”
Ekspresi Diaz sudah bisa ditebak, datar tanpa ekspresi. Kentara dia benci dengan hal ini, tetapi memilih bungkam alih-alih menyuarakan.
“Semangat dong, Az. Adeknya udah siapin kejutan, tapi responnya gitu mulu.”
Aura dengan polosnya menggeleng, seolah mengatakan itu bukan apa-apa. “Buat permohonan dulu sebelum tiup lilin, Kak.”
Diaz tidak bergeming, dia hanya menatap Aura tanpa berkedip. Untuk sedetik Aura seakan melihat ekspresi yang begitu lembut di wajah Diaz. Namun, detik berikutnya semua kembali normal seperti sedia kala. Terlalu singkat untuk menyimpulkan, itu sebabnya alih-alih percaya apa yang dia lihat, Aura memilih mengaggapnya sebatas khayalan dan imajinasinya saja.
Kemudian lilin ditiup pelan sampai padam. Setelahnya Diaz menyudahi kejutan ulang tahun dengan bersiap menutup pintu, tetapi Asmaya segera mencegahnya. “Kalau nggak mau makan kue, minimal izinin Mom sama Aura ucapin selamat dulu.”
“Tidak lebih satu menit,” jawab Diaz akhirnya, terlalu malas kalau berdebat.
Asmaya memanfaatkan waktu itu. Segera dia mendekati Diaz, kemudian mengecup pipi kanannya. “Selamat ulang tahun, Az. Kamu makin tua makin nyebelin, tapi Mom tetap sayang.”
Diaz mendengkus mendengarnya, tetapi tidak menyangkal.
“Sekarang giliran Aura. Ayo cium pipi kakak.”
“Eh, a-aku juga?” tanyanya terbata.
“Iya, cepetan! Nanti keburu kabur.”
Setelah kue ulang tahun diambil alih Asmaya, Aura menelan ludah karena kembali merasa gugup yang luar biasa. Lagi dan lagi dia bertatapan dengan Diaz, tetapi kali ini Aura memilih mengabaikan semuanya dan fokus pada apa yang diminta Asmaya.
Ini hanya ... ciuman adik dan kakak, jadi harusnya tidak apa-apa. Gugup hanya bagian dari canggung, mengingat selama ini Aura belum pernah melakukannya.
Setelah sedikit demi sedikit memangkas jarak, Aura memutuskan berjinjit dan membuang semua kecamuk dikepala, menggantinya dengan keberanian yang berusaha dia kumpulkan. Makin dekat mereka, makin kuat aroma Diaz tercium indranya. Saat bibir Aura sedikit lagi mendarat di rahang kakaknya, sentakan tak terduga mengakhiri usahanya dalam memberi hadiah sentuhan bibir untuk pertama kalinya.
“Tidak perlu,” ucap Diaz, entah kenapa terdengar serak. “Kembali ke kamarmu.”
Selanjutnya pintu ditutup, tepat di depan muka Aura yang masih terpaku mencerna situasi.
***