Tawaran demi tawaran terus berdatangan memerintah Ben untuk menjalankan misi. Namun dalam beberapa pekan terakhir hingga hari ini Ben malas menerima tawaran apapun. Tiba-tiba ia rindu tanah kelahirannya, kota Chicago, Amerika Serikat. Entah mengapa perasaannya kembali remuk jika mengingat masa lalu. Tapi Ben tak pernah berpikir untuk kembali ke sana.
Harusnya Ben merayakan perayaan ulang tahunnya hari ini yang ke-40 tahun, bersama beberapa teman atau menghabiskan waktu dengan para gadis di sebuah bar seperti tahun-tahun sebelumnya. Kali ini Ben memilih mendekam di markasnya. Menumpuk puntung rokok, dan menghabiskan beberapa botol minuman beralkohol. Ben tidak tahu bagaimana caranya merasa bahagia di hari yang bahagia.
Sinis Ben mencemooh dirinya sendiri. Betapa tololnya ia menjalani hidup. Semua bermula di hari itu, di mana ia harus menyaksikan anggota keluarganya mati dalam keadaan mengerikan.
Tubuh Ben menggigil hebat. Betapa pemandangan itu seperti runtuhan planet luar angkasa menghantam tubuhnya dan membuat bagian-bagian dalam dirinya hancur. Terbakar. Terurai. Ia ikut mati dalam penderitaan berkepanjangan.
"k*****t!" Ben menendang kursi di hadapannya gusar.
Ingatan itu terus menghantui, menyiksanya bertubi-tubi. Di mana Ben kecil mengguncang-guncangkan tubuh ibunya yang bersimbah darah. Ben melihat penuh kengerian, kepala dan badan wanita yang sudah melahirkannya itu sudah tercerai berai.
Dalam waktu yang sama, di tempat yang sama pula, mereka yang Ben cintai harus meregang nyawa tak kalah mengenaskannya.
"Ikut aku, lupakan semua penderitaan ini." Seseorang meraih tangan kecil Ben, memegang pergelangan tangannya dengan erat.
Mulut Ben terkunci rapat-rapat. Ia sudah mati bersama anggota keluarganya. Ia lupa caranya tersenyum, bicara dengan riang, ia lupa bagaimana semestinya menjalani hari, menghabiskan waktu, menatap masa depan yang ia impikan.
"Aku mau jadi pembalap seperti Ayah!" seru Ben kecil, tangan mungilnya menunjukkan mobil balap mainannya berwarna hijau.
Ayah Ben tersenyum lebar, lalu mengangkat tubuh jagoan kecilnya tinggi-tinggi.
"Ayo, Jagoan! Jadilah pembalap mobil kebanggaan Ayah!"
Ben berteriak senang, berkali-kali ia mengatakan ia akan menjadi pembalap ternama dan dapat mengharumkan nama bangsa.
Sehari setelah hari itu, di usia Ben yang ke-5 tahun, ia harus mengubur mimpinya. Mengubur semua harapan dan kegembiraan.
***
Kota Chicago adalah tempat kelahiran sekaligus tempat paling menyedihkan baginya.
Ben harus meninggalkan Chicago, ia terbang sangat jauh dari kota itu menuju harapan baru, bersama seseorang yang kerap ia panggil Paman Andreas.
Tidak mudah bagi Ben beradaptasi di lingkungan baru. Orang-orang yang berbahasa aneh dan terdengar asing di telinganya. Adat dan budaya yang kerap membuatnya pening. Ben kerap meraung, menjerit, melengkungkan suara demi melonggarkan sesak dalam d**a. Ia tak tahu harus bagaimana berbuat untuk membuatnya lebih baik.
Ben terus menangis di atas ranjangnya hampir setiap malam. Lalu tertidur dengan mata basah.
"Selamat pagi, Ben," sapa Paman Andreas setiap kali Ben bangun tidur.
Ben tidak menyahut. Dia terdiam. Dan seterusnya begitu. Ben seperti anak tuli dan bisu.
"Ben, jadilah laki-laki yang kuat. Raihlah masa depan yang cerah. Jika tidak, maka terjunlah dari gedung ini dan segera mati!" pesan Paman Andreas suatu hari di usia Ben yang ke-10 tahun.
Ben sudah cukup mengerti saat itu, ia mulai berpikir dan bertindak. Hanya saja, gambaran tentang kematian, darah, dan kebrutalan masih tertanam dalam ingatan.
Beberapa tahun Ben tinggal di Jakarta bersama Paman Andreas, ia tumbuh menjadi remaja yang berkepribadian aneh.
Sampai saat ini Ben masih merasakan bagaimana pedihnya sering di-bully oleh teman-temannya di sekolah. Saat itu, Ben berhenti melanjutkan sekolah.
"Homeschooling," kata Paman Andreas, "tidak ada alasan untuk tidak belajar."
Ben merasa muak dengan sikap keras kepala Pamannya dalam mendidik. Tidak hanya itu, Ben didaftarkan mengikuti sekolah bela diri, berkuda, dan memanah. Ben juga bergabung dalam tim pendaki gunung. Seakan si Paman tak ingin ada yang terlewatkan untuk Ben pelajari.
***
Pukul 01:12 malam, Ben masih membuka lembar ingatannya pada masa lalu. Dadanya seperti terhimpit batu raksasa saat mengingat bagaimana kematian pamannya.
"AAARRGG!" Ben membuka mulutnya lebar-lebar berteriak sekuat tenaga. Himpitan batu raksasa itu masih menekannya kuat-kuat.
Paman Andreas, laki-laki berdarah Jawa dan Jakarta. Ia seorang pengusaha yang sukses dan ternama, ada 12 cabang perusahaannya menyebar di berbagai negara, salah satunya ada di kota Chicago. Di sanalah ia menemukan Ben dan membawanya ke Jakarta.
Dunia bisnis adalah dunia persaingan. Ben tahu Paman Andreas memiliki banyak musuh dalam selimut. Yang Ben ingat, seseorang kepercayaan Paman Andreas telah berkhianat. Paman Andreas mati di tangan orang yang selama ini terus ia bantu. Tidak hanya itu, Paman Andreas mengatakan, bahwa ia mencintai semua orang yang bekerja padanya.
Ben terpukul untuk yang kedua kalinya. Ia kehilangan dan kembali putus harapan. Namun di sanalah awal dari semua misi yang ia lakukan. Ben membenci orang-orang yang dianggapnya jahat dan licik.
Paman Andreas orang yang Ben kagumi setelah ayahnya. Ben tidak pernah melihat pamannya itu menghambur-hamburkan uang untuk kesenangan sendiri. Tak juga ia melihat banyak wanita dalam pelukan si Paman.
Ben kembali mengerang.
"Berani berkhianat, mati!" desis Ben, sebelum akhirnya ia keluar dari markas dan membanting apapun yang membuatnya gusar.
Ben menendang kaleng minuman bersoda ke arah pohon di dekat pagar. Suaranya membuat beberapa burung yang hinggap terkejut dan mengepakkan sayapnya berpindah dahan.
Dalam ruang sunyi menjelang pagi. Ben merebahkan tubuhnya di atas rumput, merentangkan tangan dengan tatapan lurus menatap langit luas di atas sana. Bulan tertutup awan tebal, dan tak ada kerlip bintang menarik perhatiannya. Semesta seakan enggan menunjukkan diri bahkan di hari ulang tahunnya sekalipun.
Ben menutup matanya perlahan, ia ingin berdoa di hari kelahirannya meski Tuhan enggan mengabulkan.
***
Ben tidak terkejut saat Sam datang menemuinya pagi ini. Tentu saja ia tidak sendiri, Nessa selalu ada ke manapun Sam pergi.
"Selamat ulang tahun, Ben. Smoga makin kece." Nessa terkikik, kemudian memberikan Ben kue tart mini dengan satu lilin kecil di atasnya. Sedangkan Sam sudah menghempaskan diri di sofa.
Ben menyunggingkan senyum pada Nessa, dan terpaksa meniup lilin kecil konyol itu. Jika bukan kekasih Sam yang memberikannya, sudah pasti Ben memindahkan kue beserta lilin itu ke tong sampah.
"Apa rencanamu, Sam?" tanya Ben setelah meniup lilin dan mengucapkan terima kasih pada Nessa. Gadis manis itu tahu Ben membenci kue ulang tahun, tapi Sam mengatakan ingin melihat Ben menjadi normal.
"Gue sama Nessa sebentar lagi mau menikah, Ben. Sorry, kalau beberapa hari ke depan kami nggak sempat ke sini. Maklum, ngurusin persiapan nikah," jelas Sam, kemudian tertawa di akhir kalimatnya.
Ben sangat bahagia mendengar kabar bahwa Sam dan Nessa akan menikah. Ya, seharusnya memang begitu. Keduanya sudah lama menjalin hubungan menjadi sepasang kekasih sudah hampir 5 tahun. Putus-nyambung kerap terjadi, bahkan Sam sempat berpacaran dengan gadis lain, namun pada akhirnya ia kembali dalam pelukan Nessa.
"Saya turut bahagia, Sam." Ben berkata tulus, "katakan saja jika kau perlu bantuan, Kawan."
"Pokoknya nanti kamu kondangan bawa pasangan. Itu aja," timpal Nessa bersemangat.
Semenjak kenal Ben, Nessa memang belum pernah melihat pria itu mengencani satu gadispun. Sebagai seorang gadis, Nessa menilai Ben memiliki paket komplit dalam dirinya. Selain otaknya yang cerdas, Ben berpostur tubuh tinggi tegap dan kekar. Tatapan matanya tajam, bibir s*****l, dan berdagu belah. Ia semakin macho dengan brewok dan kumisnya yang tipis.
Sekiranya Ben layaknya para bule lain yang suka tebar pesona dan mengagungkan ketampanan, Nessa berani bertaruh akan banyak gadis yang rela melakukan apapun demi bisa mengencani Ben.
Nessa lihat, Ben hanya tersenyum kecil mendengar ucapannya barusan soal pasangan.
"Kalo mau, gue ntar kenalin dah, sama temen kantor. Gue yakin, lo gak bakal nolak. Hahahaa." Sam kembali tergelak. Menjodoh-jodohkan Ben dengan teman-temannya seakan ia mendapat mainan baru. Sam sungguh bersemangat, sementara Ben menatapnya tajam.
"Lupakan soal gadis, Sam. Ada hal penting yang ingin saya ceritakan." Ben berkata serius.
Ekspresi wajah Sam seketika berubah, ia tahu Ben memang tidak tertarik membahas sesuatu yang tak penting menurutnya, tapi kali ini Ben memang terlihat banyak tekanan.