Ben terkejut saat mendapati beberapa panggilan tak terjawab dari Nayla. Ben melihat jam sudah menunjukkan pukul 09:00 pagi. Sinar matahari menerobos celah ventilasi kamar.
Ben segera menghubungi Nayla, sayangnya sambungan telepon tak dijawab. Sampai akhirnya Ben meletakkan kembali ponsel miliknya di atas nakas samping ranjang dan berlalu menuju kamar mandi.
Pagi ini Ben berencana untuk menemui Nayla, ia belum selesai mengorek informasi lebih lanjut tentang hubungannya dengan Aris. Atau ia mulai terjebak pesona gadis itu.
"Ini konyol!" rutuk Ben di bawah guyuran shower. Ia bahkan masih memikirkan Nayla saat sibuk di kamar mandi. Beberapa kali Ben menjejali pikirannya dengan mengatakan bahwa Nayla hanya gadis biasa, Nayla tak ada hubungannya dengan Aris, dan dirinya tidak ditugaskan apapun mengenai gadis itu. Ben sudah menolak tawaran untuk menghabisinya. Sayangnya otak Ben tidak bekerja dengan baik.
***
"Dave!"
Seru Nayla tampak bersemangat melihat siapa yang datang. Ben menyambangi rumahnya untuk kedua kalinya. Namun kali ini ia mengejutkan Nayla dengan membawakannya sebuket bunga mawar merah dan sekotak cokelat.
"Kok tau sih, kalo aku suka mawar merah?" Nayla meletakkan buket mawar dan kotak cokelat itu di atas meja.
"Kebanyakan para gadis menyukai bunga. Saya rasa kau juga begitu, Nay." Akhirnya Ben berhasil memberikan jawaban yang pas.
"Oh, jadi kamu banyak pacarnya?" mendadak wajah Nayla berubah masam. Dave tahu Nayla mencoba menggodanya.
Ben pura-pura kebingungan. Sementara Nayla sudah menghilang menuju dapur untuk menyiapkan minuman.
"Nay, tadi kau bilang apa?" tanya Ben sekembalinya Nayla dengan membawa dua cangkir kopi dan sepiring kue kering.
"Pacar!" sungut Nayla kesal.
"Mana ada gadis yang menyukai pria jelek seperti saya?" Ben mengangkat kedua bahunya.
Melihat tingkah Ben, Nayla terkikik geli. "Kalo gitu, aku mau daftar jadi pacarnya orang jelek!"
Secara bersamaan kedua tergelak.
Ben belum pernah merasakan sensasi tertawa seperti ini. Nayla bukan gadis humoris, tapi ia mampu membawa suasana menjadi hangat. Nayla seakan memiliki daya tarik yang kuat bagi Ben, bahkan sejak pertama kali ia melihat foto gadis itu.
"Kau mau jadi kekasih saya?" Tiba-tiba Ben bertanya, menciptakan senyap di antara ia dan Nayla.
Nayla seakan mati kutu ditanya Ben soal itu. Ia tak menyangka Ben menganggapnya serius.
"Nay?"
"Dave, kamu lagi kenapa, sih? Aku lagi males becanda, mending kita jalan-jalan aja, yuk!" kilah Nayla mengalihkan pembicaraan. Tapi ia tak bisa menyembunyikan rona merah di pipinya.
Ben menatap wajah Nayla lekat. Ia mengamati hidung bangir Nayla, bibir sensualnya, leher jenjang di balik uraian rambut panjang gadis itu dan tatapan sendu yang banyak menyimpan rahasia. Ben mengamati semuanya.
"Dave?"
"Hmm."
"Udah, dooong. Jangan kayak gitu liatnya. Ntar aku GR beneran gimana?" Nayla mengerucutkan bibirnya.
"Iya, maaf, saya becanda." Ben mengacak rambut Nayla. Ben agak kesulitan untuk tidak bersikap kaku dan dingin.
Nayla tersenyum getir. Entah kenapa kata 'becanda' yang keluar dari mulut Ben membuat perasaannya mencelos.
***
Nayla dan Ben memasang tenda camping di halaman rumah dan mereka mulai sibuk memanggang daging di atas alat pemanggang.
Nayla tampak bersemangat, ia mengatakan tak pandai memasak, tapi kali ini ia akan mencobanya.
Ben yang sejak tadi memperhatikan Nayla sibuk dengan ayam panggangnya tak tahan untuk tidak berkomentar.
"Wanita tak harus bisa masak, yang penting bisa hamil." Kata Ben datar, satu buah umpan untuk Nayla.
Tubuh Nayla bergeming. Ia melirik Ben dengan sudut matanya.
"Ish! Kenapa jadi ngomongin hamil coba?"
"Kenapa?" Ben mendekati Nayla hingga tubuh keduanya sangat dekat.
Tidak ada jawaban dari Nayla, bibir gadis itu terkatup rapat-rapat. Tetapi punggung tangannya diam-diam mengusap sudut mata.
"Kau menangis, Nay?" tanya Ben, ia baru menyadari sesuatu telah terjadi pada Nayla.
Nayla menggeleng pelan.
Ben merasa canggung dengan kesenyapan secara tiba-tiba di antara mereka. Naylah mendadak jadi sensitif Ben singgung soa kehamilan yang baru saja ia lontarkan.
"Maaf," ucap Ben penuh penyesalan.
Jauh di lubuk hati, Ben semakin penasaran. Ada apa dengan Nayla?
"Gak apa-apa, Dave. Santai aja. Maaf udah bikin kamu bingung." Wajah Nayla terangkat, ia berusaha menyembunyikan kesedihannya dan menatap Ben dengan senyum dipaksakan.
Ben memiringkan kepalanya, menatap lekat kedua mata Nayla.
"Jangan menipu diri sendiri, Nay. Saya akan jadi pendengar yang baik jika kau mau." Kedua tangan Ben memegang bahu Nayla, gadis itu berdiri kaku di hadapannya. Dalam jarak sedekat itu, Ben dapat melihat jelas garis wajah Nayla. Aroma tubuh, dan setiap embusan napasnya.
Sikap bersahabat Ben pada Nayla membuat gadis itu merasa lebih baik. Ia merasa Ben sangat peduli.
"Makasih, Dave." Suara Nayla bergetar. Hingga akhirnya ia terisak-isak di depan Ben.
"Jangan menangis," pinta Ben. Kemudian dengan cepat kedua tangannya menarik tubuh Nayla dalam dekapan.
Angin sore berembus kencang, suara daun dan ranting-ranting pohon saling bergesekan terdengar seperti nyanyian kematian.
Tangan Ben mengusap rambut Nayla perlahan. Ia tak ingin berpikir buruk tentang gadis itu. Tidak sekarang.
***
Aroma kopi begitu nikmat mengusik indera penciuman Ben, hidungnya mengendus dan seketika kelopak matanya terbuka.
Saat tersadar, Ben terhenyak mendapati dirinya berada di atas ranjang dalam kamar yang tampak asing baginya. Kepalanya terasa berat dan sedikit berdenyut.
"Udah bangun? Nih, aku buatin kopi dan sarapan buat kamu."
Nayla muncul dari balik pintu kamar dengan membawa nampan di tangannya. Secangkir kopi hitam dan semangkuk bubur untuk sarapan ia letakkan di atas meja samping ranjang.
"Dimakan, ya," kata Nayla lagi, "sampe habis!" Kini ia duduk di tepi ranjang di samping Ben yang masih bertelanjang d**a.
Ben menyipitkan mata, kesadarannya belum sepenuhnya normal. Tetapi Ben sudah menyadari ia berada di kamar tidur Nayla sekarang.
"Saya harus pulang, terima kasih atas tumpangannya." Ben gegas beranjak dari ranjang, cepat ia raih bajunya yang berserak di lantai dan mengenakan.
Nayla memasang tampang cemberut melihat Ben terburu-buru ingin keluar dari kamarnya. Gadis itu menghampiri Ben dengan tatapan setengah memohon.
"Dave, bisa nggak kamu tinggal beberapa hari di sini?" Nayla meraba d**a bidang Ben dengan lembut. Tapi Ben segera menepisnya cepat.
"Tidak, Nayla. Banyak hal yang harus saya kerjakan." Ben menatap tajap. "Ingat, jangan pernah bermain-main dengan saya!" ancam Ben, didorongnya tubuh Nayla dan ia bergerak cepat keluar kamar.
Nayla menghentakkan kaki, kesal. Diburunya Ben yang sudah keluar rumah menuju mobilnya.
"Dave, kamu kerja apa, sih?" tanya Nayla setengah berseru di belakang Ben.
Langkah Ben terhenti, ia memutar badannya.
"Dengar," kata Ben penuh penekanan, "Saya seorang pembunuh."
Di tempatnya, Nayla terbahak. Ia merasa geli saat mendengar perkataan Ben yang menurutnya gurauan.
"Dih, masa ganteng-ganteng pembunuh, sih? Bunuh aku dong dengan cintamu." Nayla terkikik, wajahnya memerah saat menggoda Ben dengan gombalan konyolnya.
Ben mengembuskan napas berat. Nayla sudah tak waras. Ben melangkah mendekati Nayla dengan langkah panjangnya, semakin dekat sampai gadis itu terkejut, tawanya terhenti seketika.
"Dave?" gumam Nayla.
Ben terus mendorong tubuh Nayla dengan badan besarnya, hingga kaki Nayla terus melangkah mundur. Gadis itu mulai merasa cemas dan ketakutan.
"Katakan, apa yang telah terjadi semalaman!" Ben menggertak. Rahangnya mengeras, menatap tajam di kedua mata Nayla.
"Da-dave, berenti dulu. Iya, ya aku ceritain. Tapi berentiii." Nayla menyilangkan tangannya di depan wajah.
Ben menghentikan aksi mendorongnya. Ia memberikan kesempatan untuk Nayla bicara.
"Cepat!"
"A-aku nggak ngapa-ngapain kok, Dave. Sumpah! Pas kamu lagi jagain aku tidur, kamu ketiduran pas akunya kebangun," jelas Nayla bersuara pelan.
"Soal baju kamu itu, masa kamu lupa, kan kamu sendiri yang buka karena kegerahan. Di kamarku kan emang nggak punya AC. Kamu tidur di kamar, aku pindah tidur di sofa di ruang tamu. Pagi-pagi pas aku masuk kamar bawain sarapan eh jamunya udah bangun. Terus salah aku apa coba?" Nayla memutar bola matanya.
"Jadi ...."
"Yeee, Ge-er! Jangan bilang kalo aku udah memperkosa kamu, ya. Amit-amit!" Nayla bergidik. Kemudian mendesis kesal. "m***m juga nih orang pikirannya."
"Maaf," kata Ben. Tatapannya meredup, tapi masih belum ada senyum di bibirnya.
"Udah gitu aja? Cuma maaf? Kamu tau nggak sih, jantungku hampir copot tauk kamu dorong-dorong, mana ngeliatinnya serem lagi."
Tanpa menghiraukan ocehan Nayla, Ben segera berbalik badan. Melangkah cepat menuju mobilnya.
Perlahan mobil mewah itu bergerak, meninggalkan pekarangan rumah Nayla, meninggalkan tanda tanya di benak gadis itu.
"Dave, cowok aneh!" gerutu Nayla sepeninggal Ben. Ia baru bertemu dengan pria dewasa seperti Ben. Seperti memiliki dua kepribadian, terkadang bersikap baik dan hangat, sisi lain Ben sangat dingin dan misterius.