Semua berubah menjadi gelap dan kacau. Jam, kompas, semua tanda yang kami buat. Bahkan foto dan data yang kami ambil, kosong entah ke mana. Seharusnya kami lebih peka dengan segala keanehan ini. Seharusnya kami sadar bahwa semua yang indah itu bersifat menjebak.
Celaka! Bagaimana caranya keluar dari tempat ini?
Putaran waktu seolah terhenti dan kami hanya berputar-putar tak tentu arah di tempat antah berantah.
Entah bagaimana caranya, kami harus bisa pulang dengan selamat bersama-sama. Atau mungkin saja, mati bersama pula.
JURNAL 2 (00:13 AM) : PANDJI – KETUA KLUB BOTANI
⠀
“DJi! Pandji!”
“PANDJI …!!! BANGUN, PANDJI …!!!”
Pandji tersentak karena guncangan di pundaknya. Ia menggosok matanya saat netranya hanya bisa menangkap kegelapan. Apa ia tidak salah lihat? Benarkah hari sudah malam?”
“Dji,” suara panik seorang wanita terdengar di sisinya. “Kita tidur berapa lama, sih?”
Ia mulai bisa melihat sedikit sinar dari headlamp^ yang dikenakan sosok wanita di hadapannya.
“Dji? Kita di mana ini? Bukannya kita masih di bebatuan tepi telaga? Kenapa kita bisa di tengah hutan gini?” suara wanita yang satunya. “Tadi hari masih siang, Dji!” Wanita itu mulai menangis ketakutan.
“Bel, tenang dulu. Jangan panik.”
Panji mencek ponsel dari dalam waist bag-nya. Alarm yang ia pasang bahkan belum berbunyi. Yang lebih aneh, sekarang jam di ponselnya menunjukkan pukul 00:13 am.
“Kompas nggak jalan, bro. Jarumnya muter nggak tentu arah,” lapor Marco mendekati Pandji. Memperlihatkan kompas di tangannya.
Pandji ikut mencek kompas miliknya.
Sama.
“Coba lihat jam tangan kalian dan jam ponsel. Sekarang jam berapa?” ucap Panji.
Mereka berdelapan saling membandingkan jam di tangan dan ponsel mereka masing-masing. Semuanya berbeda, tetapi tetap berkisar pukul 00 tengah malam.
Bagaimana bisa begitu? Sebelum mereka tidur, matahari masih teramat terang. Lalu bagaimana bisa mereka terlelap hingga malam dan berada di tempat yang sangat berbeda dengan yang mereka lihat sebelumnya? Air terjun dan telaga tadi bahkan raib begitu saja.
⠀
“Kalian semua, ayo ngumpul.” Pandji bertepuk tangan, meminta semua temannya untuk kembali ke dekatnya.
“Menurut kalian, apa sebaiknya kita bikin tenda dadakan di sini? Nggak mungkin kita lanjutkan perjalanan dalam kondisi seperti ini.”
“Nggak mau …! Gue mau balik ke Villa aja. Jangan-jangan kita udah di alam gaib ini …,” rengek seorang pria gemulai berbadan kurus ketakutan.
“Heh, jantina! Loe nggak lihat semuanya gelap ini. Gimana bisa kita jalan dalam kondisi kayak gini!”
“Loe, cowok siluman! Jangan ngatain gue, ya!”
“Heh, gue cewek, ya!”
“Nggak ada cewek kayak loe!”
“GUYS! JANGAN BERANTEM DAN JANGAN PANIK!” bentak Panji. “Kita harus tenang. Dan loe, Gi, jangan ngomong yang nggak-nggak. Sekarang kita harus jaga omongan kita. Kita ada di hutan dan kita nggak tahu sedang ada di mana. Yang kita butuhkan sekarang adalah ketenangan. Jadi kita bisa mutusin langkah kita nantinya gimana.”
Panji mengarahkan pandangannya pada ke tujuh teman-temannya. Syukurnya sudah ada salah seorang temannya yang menyalakan lampu emergency petromak sehingga ia bisa cukup jelas melihat mereka semua.
“Nah, sekarang kita sama-sama nggak tahu apa yang terjadi. Kita juga nggak tahu seberapa bahayanya menempuh perjalanan di malam seperti ini. Jadi menurut kalian gimana?
Kita kemah menunggu subuh dan matahari muncul atau kita lanjutkan perjalanan, tapi harus siap dengan entah apapun resiko yang menanti di perjalanan nanti?”
Wajah teman-temannya tampak begitu tegang. Pandji membiarkan mereka berpikir sejenak.
“Siapa yang setuju kalau kita kemah?”
Hanya dua tangan yang tidak mengacung.
“Kenapa?” tanya Pandji pada Togi dan Arlan.
“Gue takut, Dji …,” pria gemulai bernama Togi itu merengek kembali, bergelayut di lengan Pandji. “Hutan itu banyak setannya ….”
“Sssttt!” Kendra menjentik dahi Togi. “Dibilang jangan ngoceh sembarangan, masih ngeyel!”
Togi cuma bisa meringis mengusap dahinya.
“Loe punya pertimbangan apa, Lan?” tanya Pandji pada Arlan.
“Gue yang bangun duluan di antara kita semua. Awalnya gue pikir gue mimpi, tapi gue cek suasana di sekitar kita, jam, kompas, angin pun, coba kalian rasakan udara di sini. Nggak ada angin sepoi-sepoi. Semuanya datar gitu aja.
Jangan kira suasana gelap ini baru terjadi. Gue sudah hitung waktu. Dan gue rasa dua jam setelah gue bangun, Marco bangun. Jarum jam masih tetap pukul 00 am. Kalian semua sama sekali nggak bisa dibangunin dan kami nggak mungkin meninggalkan kalian semua lebih jauh untuk mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi. Lalu satu per satu kalian bangun beberapa jam kemudian. Loe yang terakhir, Dji. Harusnya sekarang sudah subuh.”
Pandji tercengang. “Bener, Co?” Ia mencoba memastikan pada Marco.
Marco mengangguk. Begitu pula Sirra, gadis tomboy di sisi Marco.
“Loe bangun satu jam setelah Diana.”
Pandji menarik napasnya dalam-dalam.
“Kalau kita kemah di sini, kita cuma punya tenda darurat karena kita nggak berencana untuk kemah di mana pun malam ini. Tenda ini cuma muat buat 3 cewek. Gimana kalau hari hujan?” Kendra menunjuk langit gelap tanpa bulan dan bintang. Di kejauhan terdengar gemuruh dan kilat petir. “Semua nggak muat di satu tenda.”
“Ya. Tapi kita nggak bisa berpedoman pada kompas. Kita nggak tentu arah. Aliran sungai juga nggak kedengeran,” ucap Sirra.
“Tanda yang kita ikat di pohon, gimana?”
Arlan menggeleng. “Lenyap. Tempat ini bahkan bukan rute yang sudah kita tempuh sebelumnya. Kita sudah di sesatkan, bro.”
Dua wanita dan satu pria merengek kembali.
“Ssttt …,” Sirra menenangkan dua temannya. Sementara Kendra menepuk-nepuk pundak Togi.
“Gue cek semua foto-foto kita, tanaman dan hewan-hewan eksotis itu, semuanya lenyap dari gallery. Pemandangan di dalam foto kita semua cuma gelap dan berkabut,” tukas Diana.
Penasaran, Pandji membuka ponselnya. Benar yang diucapkan Diana. Harusnya di salah satu foto, ada dirinya yang tengah berenang bersama Marco. Di tangan Marco tadinya ada ikan besar yang mereka panggang sebelum tidur siang. Jantung Pandji semakin berdetak tak enak seiring ia menggulir semua foto-foto dalam gallery.
Belum yakin betul, ia mengambil buku jurnalnya dari dalam ransel. Ada foto polaroid yang mereka ambil tadi.
Ya Tuhan! Hasilnya sungguh mengerikan. Bahkan foto itu pun seolah terbakar. Wajah teman-temannya semakin terlihat tegang.
“Dari awal, sejujurnya gue udah curiga. Mana mungkin ada tempat sebagus itu dengan flora dan fauna yang menarik, tapi belum pernah ditemukan dan diteliti. Mana bentuknya cantik …, juga nggak kalah ajaib.”
Pandji membenarkan ucapan Kendra dalam hati.
“Ada yang lebih mengerikan, bro,” Arlan menghentikan ucapannya. Terlihat ragu-ragu.
“Apa?” Pandji menatap Arlan lekat-lekat.
“Pas pertama kali gue bangun tadi, gue lihat ada dua cewek cantik yang berada di dekat loe. Yang satu berbaju seputih salju dengan aura keperakan sedang merangkul tubuh loe, yang satunya berkain keemasan, berusaha narik tangan loe. Trus pas mereka tahu gue ngelihat mereka, mereka lenyap dari pandangan gue.”
Semua teman-temannya menatap Pandji tegang.
“Gue belum pernah dengar hal sekonyol ini.”
“Gue serius, Dji. Demi Tuhan!” Arlan mendesah kesal.
“Okay. Anggap aja gue percaya. Jadi sekarang gimana? Kemah atau lanjutkan perjalanan?”
“Kembali mereka saling pandang.”
“Jalan.”
Panji menggigit bibir. Ia kembali melirik arloji di pergelangan tangannya dan jam di ponselnya. Sama. Keduanya benar-benar tidak bergerak dan tidak ada tanda matahari akan segera muncul.
“Okay, perlengkapan tali temali, senter, headlamp dan lainnya, tolong pegang. Kita nggak boleh panik atau mencar apapun yang terjadi!”
⠀
Mereka dengan cepat mempersiapkan diri untuk mulai menempuh perjalanan kembali. Menelusuri hutan dan lereng. Hanya terdengar suara langkah kaki mereka di antara ranting dan dedaunan yang berserakan di tanah. Beberapa kali terdengar suara burung hantu dan koak gagak entah dari mana. Suasana semakin mencekam. Hutan yang mereka masuki seakan tak ada habisnya malah, semakin bertambah rapat.
“Loe nandain pohonnya tadi, ‘kan?” tanya Pandji pada Kendra yang ada di barisan paling belakang.
“Ada. Itu barusan dua meter ke belakang, gue tandai pohonnya.”
“Coba cek ulang,” ucap Pandji lagi. Sebenarnya ia mencurigai sesuatu.
Mereka berhenti sejenak. Mengatur napas karena rasanya mereka sudah berjalan lebih dari satu jam.
Kendra berbalik menatap teman-temannya. Menggelengkan kepala. Lalu berlari cepat ke arah teman-temanya.
“Gue udah sayat kulit pohonnya. Tapi sayatan tadi hilang. Bener-bener raib gitu aja.”
Arlan berjengit lalu menghampiri pohon yang dicek Kendra tadi. Benar. Tidak ada bekas sayatan sama sekali. Padahal sebelumnya ia jelas melihat Kendra menyayat pohon itu. Ia menggelengkan kepala saat kembali berhadapan dengan Pandji.
Suara raungan Togi kembali terdengar.
“Mamaaa … Gi nggak mau mati di sini. Gi masih pengen hidup. Gi mau pulang ….”
“Kita istirahat dulu,” putus Pandji.
Ia menulis notes di jurnalnya. Sesuatu yang ia rasa harus ia lakukan. Kemudian ia mengumpulkan kembali teman-temannya. Mengatakan pertimbangannya dengan sejujur-jujurnya. Ia pernah mendengar hal ini dari Abinya dan sama sekali tidak menyangka akan mengalami tragedi mengerikan ini pula.
⠀
“Guys. Kalian mungkin sudah sama-sama pernah mendengar kejadian seperti ini ketika seseorang atau sekelompok orang berada di hutan. Sekarang, kita sepertinya memang sudah masuk ke dalam dimensi gaib.”
Pandji membuka telapak tangannya, menahan suara tangis panik Togi dan tiga wanita yang tampak menggigil meneteskan air mata.
“Sekarang harapan kita cuma satu. Tuhan. Mari kita berdoa menurut kepercayaan masing-masing, memohon keselamatan pada Yang Maha Kuasa.”
Belum sempat mereka berucap ‘Aamiin’, terdengar suara mendesau di antara pepohonan.
⠀
‘Hihihihihi.’
⠀
Mereka sama-sama tercengang mendengar suara kikik halus yang sepertinya berada di atas pepohonan. Menatap nanar kelebatan putih yang melintas dari pohon yang satu ke yang lain.
⠀
‘Hihihihihi.’
⠀
“Jangan disenter!” tukas Pandji saat Marco hendak mengarahkan cahaya ke atas. “Mereka akan mengikuti arah senter kita kalau ….”
“Mereka?!” Bella tersentak.
“Mereka siapa maksudnya, Dji?” Diana mengalungkan lengannya ke tangan Pandji.
Pandji menelan ludah. “Udah kita lanjut jalan. Acuhkan.”
⠀
‘Hihihihihi.’
⠀
Sosok putih di atas sana mulai bermunculan serentak, mengepung mereka. Sosok-sosok itu memperlihatkan diri dengan kulit yang teramat pucat, kumuh, juga bola mata dan rambut putih panjang yang kusut. Wajah mereka begitu seram. Taring mencuat dari ujung bibir mereka, sementara mereka tertawa cekikikan. Kuku-kuku mereka yang panjang, runcing dan kotor tampak sangat berbahaya.
Arlan menelan ludah. “Pandji, kita harus gimana?”
“Gue lawan aja kali, ya,” Marco yang seorang anak taekwondo mulai membuat ancang-ancang melawan. “Jangan mendekat, jurig sialan!”
“Guys! Baca doa!” Pandji merapal doanya dalam hati.
“Gue lupa, Ndji. Gue lupa!” ucap Kendra saking paniknya melihat kelebatan sosok-sosok buruk rupa tadi melayang cepat di sekitar mereka.
Mau tidak mau Pandji membaca ayat suci lebih keras, sementara itu rombongan bergaun putih kumuh itu mulai merangkak menuruni tanah dan pepohonan. Membuat mereka terkepung. Mereka semakin mendekat. Fokus Pandji sedikit terganggu karena jerit dan tangis ketakutan teman-temannya.
⠀
“Hihihihi.”
⠀
Sontak Pandji melirik pada siapa yang tertawa di antara mereka.
“Anjir! Si jantina pakai kerasukan segala lagi!” Marco mengumpat, menampar pipi Togi. Tapi pria kemayu itu malah menyanyikan tembang Jawa kuno entah apa yang tidak akan mungkin dia nyanyikan jika sadar.
Diana dan Bella memeluk tubuh Pandji ketakutan. Kepanikan semakin menjadi, meski Pandji terus melafalkan doa-doa yang diikuti oleh teman-temannya. Hanya saja rasa takut dan panik, membuat energi positif mereka semakin melemah. Makhluk-makhluk astral itu semakin kuat.
“Co! Ada yang narik kaki gue!” Arlan berusaha menendang selendang putih yang menyeret kakinya, membuatnya tertelungkup di tanah. Selendang itu berasal dari salah satu sosok berambut putih panjang di atas pohon dengan wajah dan senyum mengerikan. Tubuh Arlan terseret. Marco dengan cepat mengejar sahabatnya itu. Panji melempar pisau serba guna dari dalam legpack^^-nya pada Marco.
“Nggak bisa dipotong, Dji!” sorak Marco.
“Sambil doa motongnya, Co!”
Semetara itu Pandji makin disibukkkan menjaga dua wanita yang menjerit panik ketakutan. Sedangkan Sirra dan Kendra berusaha menyadarkan Togi yang kerasukan dan mencekik dirinya sendiri.
Makhluk-makhluk hitam berbulu lainnya ikut berdatangan.
Sial!
Bagaimana bisa semua jadi begini?!
Pandji berusaha memukul makhluk-makhluk itu dengan tasbih yang ia kenakan di pergelangan tangannya. Beberapa makhluk yang terkena pukulannya menjerit kesakitan. Tetapi karena dua teman wanita yang menempelinya, gerakan Pandji jadi terbatas.
⠀
“Pergi kalian Kuntilanak b*****t!” Marco berteriak marah melihat tubuh Arlan telah terbalut kain sepenuhnya dan terangkat naik ke salah satu pohon. Marco menendang murka salah satu dari mereka. Namun pergelangan tangannya di tarik dan terdengar bunyi derak di kaki dan tangannya. Marco meraung kesakitan, sedangkan Kuntilanak itu tertawa melengking.
Pandji meringis dengan mata berkaca-kaca melihat pemandangan menyahat hati itu. Sementara teman-temannya yang lain menjerit melihat Marco meregang nyawa karena sabetan kuku tajam Kuntilanak buruk rupa tadi pada lehernya. Situasi semakin gawat karena sosok-sosok besar serupa Genderuwo turut muncul hingga membuat Bella pingsan. Diana menjerit histeris. Apalagi ketika wanita itu ditarik paksa oleh dua sosok hitam tadi. Penuh amarah Pandji mengejar sosok hitam itu.
Namun tiba-tiba muncul sinar putih menyilaukan berkelebat cepat menuju ke arahnya laksana roket. Jantungnya berdebar kencang, merasa sepertinya inilah akhir hidupnya. Pandji memejamkan mata sambil terus berdoa dalam hati.
⠀
“Pandji. Aku akan menyelamatkanmu. Jangan takut. Pegang tanganku.”
⠀
Suara lembut itu menggema dalam kepalanya. Ia membuka mata. Di hadapannya berdiri wanita yang luar biasa cantik dari balik cadar putih transparan di wajahnya. Di kepalanya bertengger tiara dari mutiara. Wanita itu menunggu Pandji menerima uluran tangannya.
Pandji menoleh ke belakang. Menatap teman-temannya yang semakin tampak mengenaskan.
“Teman-temanku?” ucap Pandji dengan air mata berderai. Ia sungguh tak kuasa melihat kondisi teman-temannya. Mereka datang ke sini penuh perjuangan, harapan, juga kegembiraan. Mana mungkin ia meninggalkan mereka semua. Mereka sahabatnya.
⠀
“Maafkan aku, Pandji. Aku tak bisa menyelamatkan mereka. Sudah tak ada waktu lagi.”
⠀
Wanita serupa Dewi dari Kayangan tadi mengibaskan selenang putihnya ke wajah Pandji. Seketika Pandji mencium aroma anggrek merpati yang begitu pekat dan wangi. Tubuhnya seolah melayang terbang dan matanya melihat kabut putih sebelum akhirnya tenggelam dalam cahaya terang benderang. Samar-sama masih terdengar teriakan memanggil namanya dari jarak yang teramat jauh.
⠀
“PANDJIIIIII .......!!!!”