Selama 20 tahun hidup di dunia ini Anika merasa bersyukur hidup ditengah-tengah keluarga yang sangat-sangat menyayanginya. Anika bersyukur memiliki orang tua seperti Devano dan Diandra yang mendidiknya dengan baik hingga Anika tumbuh menjadi gadis dewasa seperti ini.
Tapi entah mengapa rasa bersyukur Anika seketika lenyap ketika melihat keluarga yang duduk dihadapannya. Disinilah Anika disebuah ruang VVIP yang berada di restoran ternama di Jakarta dan Anika pun dibuat kehabisan kata-kata ketika melihat orang yang tadi memarahinya di kampus padahal orang itulah yang bersalah.
Alvino Hartasanjaya, CEO Hartasanjaya Grup yang baru tadi pagi hadir dalam seminar di kampusnya kini duduk dengan angkuhnya dihadapan Anika. Alvin menatap Anika tajam tepat dikedua manik matanya membuat Anika sedikit bergidik dengan cara Alvin menatap tajam dirinya.
Anika sendiri sedikit bingung dengan pertemuan kali ini, pertemuan malam ini tidak nampak seperti pertemuan dua pasang teman lama. Anika duduk ditengah-tengah kedua orang tuanya dan begitu juga pria yang berada disebrangnya itu duduk diapit oleh kedua orang tuanya. Pertemuan ini persis dengan acara…. Perjodohan?
Anika segera mengeleng-gelengkan kepalanya menepis semua pemikiran-pemikiran buruk dikepalanya. Sudah jelas tadi siang Mamanya bilang kalau ini adalah pertemuan dengan teman lama mereka maka tidak mungkin kan kalau pertemuan teman lama berubah menjadi ajang perjodohan anak-anak mereka?
“Anika sekarang sudah kuliah ya?” tanya Binar, Bunda kesayangan Alvin.
Anika mengangguk sambal menjawab, “Iya Tante,”
“Semester berapa nak?” tanya William, Ayah kesayangan Alvin.
“Semester enam Om. semester depan sudah bisa ambil skripsi,” ucap Anika dengan nada sopan.
Anika sebenarnya merasa tidak nyaman dalam pertemuan ini. Sebelum pergi kedua orang tuanya bilang ingin bertemu dengan teman lama mereka ini bukannya berbincang dengan kedua orang tua Anika tapi justru sibuk bertanya-tanya mengenai diri Anika.
“Alvin, kenapa kok diam saja?” tanya Diandra pada Alvin yang sedari tadi hanya diam menatap Anika.
“Nggak apa-apa kok Tante,”
“Ika masih ingat Alvin?” tanya Diandra sambil menatap putri bungsunya.
Anika menatap horror Diandra sambil menggelengkan kepalanya. Entah apa maksud Mamanya bertanya seperti itu pada Anika. Apa mungkin Anika pernah mengenal Alvin sebelumnya? Tapi rasanya Anika tidak mengingatnya.
“Alvin ini dulu sering temenin kamu main, waktu kecil kamu selalu ikut kemanapun Alvin pergi. Alvin dulu risih banget kamu ikutin terus. Sampe-sampe Alvin nangis kenceng bilang sama tante minta pindah rumah karena nggak mau ketemu sama kamu,”
Anika membulatkan matanya mendengar cerita Bunda Alvin. Masa iya dulu dia seperti itu. Mengikuti pria miskin ekspresi di hadapannya ini? Betapa bodohnya dirinya dulu kalau itu sampai benar terjadi. Anika menatap Mamanya untuk mencari jawaban dan sialnya Mamanya mengangguk membenarkan ucapan Bunda Alvin.
“Itu kan dulu Mbak. Sekarang Anika sudah besar. Dia sudah tidak ngejar-ngejar cowok lagi tapi dikejar-kejar cowok,” ucap Devano menggoda putri bungsunya itu.
Wajah Anika memerah karena malu. “Papaa…” ucap Anika dengan nada memperingatkan.
Devano tertawa kecil melihat tingkah putri bungsunya itu.
Setelah berbincang-bincang mereka semua makan bersama. Anika makan dengan tidak nyaman karena merasa Alvin terus menatapnya dengan tatapan tajam seolah mengawasi setiap gerak-geriknya dan tidak ingin terlewat satu detik pun.
Tingkah Alvin dan Anika pun tidak luput dari penglihatan kedua orang tua mereka masing-masing. Binar dan Diandra pun tersenyum lebar karena sepertinya rencana mereka bisa mereka laksanakan. Sementara William dan Devano hanya bisa menggelengkan kepala mereka melihat tingkah istri mereka masing-masing.
Selesai makan mereka semua kembali berbincang mulai dari mengenang masa lalu hingga mengomentari makanan yang mereka makan barusan.
“Alvin pulang duluan sama Ika ya, Ayah sama Bunda masih ada yang mau dibicarakan dengan Om Devan dan Tante Dian, Kamu anterin Ika ya,” ucap William sambil menatap Alvin anak sulung kesayangannya.
Alvin hanya mengangguk menjawab ucapan William.
“Ka, pulang bareng Alvin gak apa-apa ya?” tanya Devano dengan nada pelan.
Anika mengangguk sambil memberikan senyum tipis. Anika pun ikut berdiri melihat Alvin yang sudah berdiri dan mengancingkan jasnya. Alvin masih dengan wajah datarnya walau sedang berpamitan dengan para orang tua disana.
“Om dan Tante titip Anika ya, Alvin. Tolong dijaga baik-baik,” ucap Devano dengan mata lurus menatap Alvin tepat dikedua matanya.
Anika mengerutkan alisnya. Ini cuma nganterin pulang kan? Kok kayak mau ngelepas gue nikah?
Alvin mengangguk dan kemudian menjawab, “Baik Om, kami pamit dulu.”
Setelah pamit dengan orang tua masing-masing Anika pun pergi bersama Alvin dan keduanya pun menuju mobil Alvin yang berada di parkiran. Awalnya Alvin dan Anika sama-sama diam selama perjalanan. Hingga akhirnya Anika membuka suara memberitahukan alamat rumahnya.
“Pak, ngomong-ngomong rumah saya di Clover Residence,” ucap Anika memecah keheningan.
“Saya sudah tau,” jawab Alvin singkat dengan nada datar.
Anika menghela nafas kesal kemudian mengerutu dalam hati Ya kali aja loe lupa Bambang! Gue ngomong baik-baik jawabannya datar amat. Perlu di ajarin berekspresi emang nih orang!
Ketika Anika sibuk mengerutu, Alvin sudah berhenti disebuah taman tidak jauh dari rumah Anika. Alvin memandang Anika yang jelas sedang menggerutu sampai-sampai tidak sadar kalau mobil yang mereka tumpangi sudah berhenti disebuah taman.
“Turun!” ucap Alvin dengan nada ketus.
Anika yang memang sedang sibuk menggerutu dengan pikirannya sendiri pun tersentak kaget dan mendapati Alvin sudah beranjak keluar dari mobil.
“Loh kok berhenti ditaman,” ucap Anika dengan nada bingung.
Anika segera turun dari mobil Alvin dan menyusul Alvin yang sudah duduk di bangku taman.
“Pak! Kok malah ke taman? Bapak kan diminta anterin saya pulang ke rumah,” ucap Anika dengan nada sedikit ketus.
Bukannya menjawab pertanyaan Anika, Alvin justru menyuruh Anika duduk disebelahnya, “Duduk?!”
Ngomong baik-baik kan bisa?! Anika pun duduk disebelah Alvin namun ada jarak kosong diantara mereka. Anika menghela nafas kesal.
“Saya harap kamu nggak bodoh untuk mengartikan pertemuan keluarga kita tadi,” ucap Alvin dengan nada datar namun terdengar ketus bagi Anika.
Anika menatap Alvin sambil mengerutkan alisnya. Mau ngomong apa sih nih orang?
“Kita dijodohkan,” ucap Alvin tanpa basa-basi.
Anika membulatkan matanya kaget dan spontan berdiri sambil berteriak karena kaget. “APA?!” Anika menatap Alvin dengan tatapan horror.
“Ternyata kamu memang bodoh,” ucap Alvin dengan nada sinis.
Anika menatap Alvin dengan tatapan permusuhan yang jelas. “Orang tua saya bilang ini hanya pertemuan orang tua saya dengan teman lama mereka,” ucap Anika dengan nada kesal. “Dan sialnya teman lama orang tua gue adalah orang tua dia,” lanjut Anika dengan suara pelan tapi sayangnya masih terdengar oleh Alvin.
“Apa kamu bilang?” ucap Alvin dengan nada kesal.
“Never mind,” jawab Anika dengan nada cuek.
“Saya tidak mau dijodohkan sama kamu, saya gak cinta sama kamu. Saya harap kamu menolak perjodohan ini karena saya tidak bisa menolak perjodohan ini. Saya tidak ingin mengecewakan Bunda saya,” jelas Alvin panjang lebar namun dengan wajah tanpa ekspresi dan nada datar.
Anika membulatkan matanya mendengar setiap penuturan Alvin. Anika pun dengan amarah meluap-luap membalas setiap kata-kata yang keluar dari mulut Alvin. “BAPAK PIKIR SAYA MAU DIJODOHKAN DENGAN BAPAK?! KALAU BAPAK NGGAK MAU NGECEWAIN IBU BAPAK TERUS BAPAK SURUH SAYA NGECEWAIN ORANG TUA SAYA?!”
Alvin tersentak kaget dengan amarah yang dikeluarkan Anika barusan. Wajah Anika sudah merah semerah tomat dan rona merah karena marah itu masih terlihat jelas walau cahaya lampu di taman tidak begitu terang. Alvin menyimpulkan Anika benar-benar marah.
“Kamu gadis bar-bar ternyata,” ucap Alvin dengan nada sinis dan seringai sinis dibibirnya.
Ini orang baru kenal udah ngajak berantem yah?!
“Gadis bar-bar itu bagus untuk menghadapi laki-laki miskin ekspresi kayak Bapak. Kalau pasangan Bapak nanti gadis pendiam yang nurut aja, saya jamin dia mati berdiri menghadapi sikap bapak,” ucap Anika santai namun dengan seringai sinis.
Alvin menghela nafas panjang. Kalau sampai pernikahannya dan Anika benar terjadi maka bisa dipastikan rumah tangganya akan ramai sepanjang waktu dengan pertikaian seperti hari ini dan bagaimana nasib keturunannya nanti? Alvin tidak bisa membayangkan kalau anak-anaknya nanti diasuh oleh Wanita yang bar-bar seperti Anika.
“Terserah. Saya harap kamu yang menolak perjodohan ini,”
“Saya tidak tau apa benar dijodohkan dengan Bapak atau tidak karena kedua orang tua saya tidak pernah mengatakan bahwa saya dijodohkan. Tapiiiii… Saya rasa dijodohkan dengan pria miskin ekspresi seperti Bapak tidak masalah buat saya. Saya tidak akan menolak. Kalau Bapak tidak suka silahkan Bapak menolak perjodohan ini pada kedua orang tua Bapak,”
“Jangan main-main dengan saya Anika,” ucap Alvin dengan nada peringatan.
Anika hanya mengendikan bahunya mendengar ucapan Alvin. Anika memutuskan untuk pulang karena jarak taman tempat mereka sekarang bicara dengan rumahnya tidaklah jauh. Anika menatap Alvin sambil bersedekap.
“Saya tidak akan menjalankan apa yang Bapak bilang karena saya hanya menurut kata kedua orang tua saya dan hati saya sendiri. Kalau Bapak mau menolak silahkan itu urusan Bapak. Saya rasa omong kosong hari ini cukup. Saya permisi pulang. Bapak tidak perlu mengantar saya lagi. Rumah saya sudah dekat dan saya rasa Bapak tau itu. Terima kasih atas sudah mengantar saya sampai kesini,” ucap Anika dengan nada datar dan tanpa menunggu jawaban Alvin, Anika pun pergi meninggalkan Alvin untuk pulang kerumahnya.
Alvin masih duduk di bangku taman sambil mengusap wajah dengan kedua tangannya kasar. Semua nggak akan berjalan dengan mudah. Selamat tinggal ketenangan.
Sementara itu Anika berjalan pulang dengan langkah gontai. Berkali-kali Anika menghela nafas kasar. Banyak pertanyaan muncul dikepalanya membuatnya ingin langsung bertanya pada kedua orang tuanya. Sesampainya dirumah pun Anika masuk ke dalam rumahnya dan langsung menuju kamarnya. Kedua orang tuanya belum sampai dirumah. Anika duduk di depan cermin menatap pantulan dirinya dicermin. Kalau sampai bener dijodohin terus nikah sama manusia miskin ekspresi itu sisa hidup gue apa jadinya?